Part 2. Penolakan

1625 Words
    Gadis manis itu berdiri di depan cermin, mengikat rambutnya menggunakan karet gelang. Sekali lagi meneliti penampilan, barulah mengambil tas selempang yang tergeletak di atas meja. Meyakinkan diri sekali lagi, ia pun berderap keluar kamar menuju kamar ibunya.     “Pagi, Ibu,” sapanya dengan senyum manis mengembang di wajah. Sang ibu menatap semringah, membuka lebar kedua tangannya sebagai pertanda ia ingin memeluk buah hatinya. Segera perempuan berparas ayu itu merebahkan diri dalam rangkulan sang ibu terkasih.     “Ibu, sudah makan?”     “Sudah, tadi Tony yang mengambilkan makanannya,” jawab sang bunda sembari mengelus punggung putrinya. “Kau mau berangkat sekarang?”     “Iya, Bu.” Gadis manis itu mengurai pelukannya. “Tony di mana?” Ia mendudukan diri di sebelah sang mama. “Apa Tony sudah berangkat sekolah?”     “Iya, Sayang. Katanya hari ini ada ekstra pagi jadi dia harus berangkat lebih cepat.”     “Oh, begitu,” gumam perempuan cantik berpakaian kemeja putih itu. “Kalau begitu aku juga akan segera berangkat. Akan kuminta bibi Sari untuk menjaga Ibu.”     Sang ibu menatap haru pada buah hatinya. Ada rasa sakit juga sesal yang ia rasakan ketika mengingat keadaannya yang tak bisa diharapkan. Anak gadisnya yang baru saja melepas masa remaja harus membanting tulang untuk menghidupinya juga menanggung sekolah adiknya. Sementara dirinya yang lemah hanya bisa berbaring di atas ranjang seharian.     “Terima kasih, Naira.” Hanya kata itulah yang bisa diucapkannya setiap pagi. Naira pun tersenyum, memeluk ibunya sekali lagi lalu berpamitan dengan mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya.     Naira melangkah dengan ceria menuju tempat kerja. Hanya untuk menghemat uang setiap bulan, Ia memilih untuk berjalan kaki ke mana pun ia pergi. Menempuh perjalanan sejauh dua setengah kilometer itu sudah biasa baginya. Ia hanya harus bangun pagi-pagi dan berangkat lebih awal agar tak terlambat.     Sedikit bersenandung, Naira terus melangkah ketika kemudian rungunya mendengar suara klakson mobil. Gadis manis yang rambutnya terkuncir kuda itu menoleh ke arah jalan raya.     “Naiklah!” seru seorang pria dari dalam mobil. Ia bahkan telah membuka pintu untuknya. Naira menatap ragu. “Ayo cepat naik, Naira,” panggil pria itu sekali lagi. Naira pun mengangguk, berderap melangkah masuk ke mobil.     “Ini ‘kan masih pagi sekali, Pak, Bapak mau ke mana?” tanya Naira setelah mendudukkan dirinya di atas kursi sebelah Samuel, sang bos pemilik restaurant tempat Naira bekerja.     “Sudah seringkali kubilang saat berdua kau jangan memanggilku bapak, Naira. Apa kau selalu lupa?”     “Bukan, begitu, Pak, eh, Mas. Hanya saja, aku merasa canggung.”     Samuel tersenyum ketika mendengar kata Mas dari bibir sensual milik Naira. Sesekali ia melirik bibir yang dipoles liptin warna bibir itu. Hati pria itu selalu meletup-letup ingin segera menikmati bibir manis itu. Akan tetapi ia tak ingin Naira ketakutan, jadi Samuel masih berusaha menahan diri.     “Tapi sungguh aku tak mengukainya, Naira. Kau boleh saja menolakku selama ini, tapi jangan pernah menolak permintaanku yang sederhana itu. Hanya mendengarmu menyebut Mas saja sudah membuat hatiku berbunga.”     Naira menelan ludah mendengar ucapan bosnya. Ada kegugupan yang sempat mampir dalam dirinya. Samuel memang sudah sering mengungkapkan perasaannya pada Naira, tetapi setiap kali melakukannya, Naira akan menolaknya. Bukan tak ada alasan Naira menolak pernyataan cinta pria berwajah oriental itu.     Samuel mungkin tampan, kaya, dan mapan. Hanya saja prilaku pria itu yang playboy membuat Naira menutup hatinya rapat-rapat. Taka da hal yang bisa dipertahankan dan dibanggakan dari seorang pria yang tak setia. Sehebat apa pun dia, tetaplah kesetiaan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang menjadi point utama dari tebinanya sebuah hubungan. Sementara Naira tak melihat itu dari diri Samuel. Bosnya itu justru lebih membanggakan wajah tampan dan kekayaannya. Menjadikan kelebihannya untuk bisa menggaet wanita-wanita muda.     “Sabtu nanti kau libut, ‘kan? Apa kau mau jalan-jalan denganku?” tanya Samuel, kembali melirik Naira sesaat barulah mengalihkan atensi pada pengendara yang melaju pelan di depan mereka.     “Sepertinya tidak bisa, Mas, sudah sering kubilang setiap sabtu aku ada acara pribadi,” tolak Naira halus. Ia tak berbohong, banyak hal yang dikerjakannya di hari sabtu. Salah satunya mengajak adiknya untuk menghabiskan hari. Adik kesayangan yang dicampakkan dunia karena dia terlahir special.     “Kenapa kau selalu menolakku, Naira. Selama ini tak pernah ada yang menolakku sepertimu. Aku terbiasa dikerubungi dan digandrungi wanita. Hanya kau yang bersikap seperti ini, padahal aku bisa memberikanmu segalanya. Seluruh kebahagiaan di dunia ini.” Samuel mendesah kecewa. Mobil pun sudah masuk ke area parkir karyawan.     Naira tersenyum tulus yang justru menggetarkan hati pemuda itu. “Terima kasih, Mas, atas semua perhatian yang Mas berikan, tapi, hidupku bukan milikku. Kebahagiaanku tak terletak pada diriku, Mas. Dan aku sangat yakin Mas tak akan mampu menyentuh duniaku dan membahagiakannya.”     Samuel memaku diri mendengar ucapan Naira. Netranya tak lepas memandangi kepergian gadis itu, masuk ke restaurant lewat pintu belakang.     Tas kecil yang dibawa Naira sudah masuk ke loker. Epron motif kotak hitam merah berenda juga sudah terpasang di tubuh gadis itu menutupi kemeja putih yang dikenakannya. Naira mengangkat rambutnya, bercermin memastikan seluruh rambutnya tergulung sempurna baru menyematkan jepit rambut yang menjadi salah satu atribut wajib restaurant. Jepit bunga sakura yang sangat cantik.     Usai memastikan dirinya siap untuk bekerja barulah Naira melangkah ke luar. Menyapa beberapa rekan yang sudah datang lebih dulu.     “Naira,” panggil salah seorang rekan kerjanya.     “Kak Masya, kupikir kau belum datang.”     Masya tersenyum. “Mulai hari ini aku akan datang lebih awal untuk bisa mengawasimu dan si bos?”     “Eh?” Naira mengerutkan dahi. “Kakak mengawasiku?”     Masya terkekeh, meletakkan lap kain yang baru saja dipakainya membersihkan meja, ia mengambil sapu di Gudang bawah tangga naik. “Aku tak sengaja ngintip. Kalian sepertinya cocok kenapa nggak terima saja, sih.”     “Ngintip, kok, nggak sengaja.” Naira mendengkus menimbulkan tawa pada sahabatnya. “Kakak ‘kan tau sendiri tabiat di bos, aku nggak mau jadi mainannya aja, Kak.” Tangan gadis berkulit kuning langsat itu kembali bergerak mengarahkan alat pelnya ke tempat lain.     Restaurant memang belum buka, masih ada waktu enam puluh menit lagi untuk bersih-bersih sebelum membalik kata  yang tergantung di pintu masuk dari close menjadi open. Sebelum itu terjadi semua karyawan sudah sibuk di pos masing-masing.     “Eh, tapi kalau bos nembak aku, jujur aja aku mau. Itung-itung cari hiburan, terus bisa morotin juga. Manfaatin, Say, jangan terlalu kalem.”     “Iya, habis itu Kakak yang dimanfaatin, mau? Sudah bosan dilempar ke jalanan.”     “Ya, kalau itu janganlah. Kita jaga diri aja.”     Naira kembali mendesah pelan. Memang selama ini berapa orang yang berhasil jaga diri setelah jatuh ke pelukan dia. Yang ada mereka semua nangis di pojokan setelah dicampakkan.”     Maysa pun mematung sejenak. Apa yang dikatakan Naira memang benar adanya. Contohnya Stefania, atau Sarayu, mereka sama-sama jadi korban. Setelah ditiduri beberapa kali dan si bos bosan mereka pun dicampakkan begitu saja. Pada akhirnya mereka berdua memutuskan untuk resign karena tak sanggup melihat sang mantan yang mulai tebar pesona pada wanita lain.     Segera ia menghampiri Naira, merangkul bahunya lalu berbisik pelan. “Kira-kira si bos macam mana, ya?”     “Macam mana apaan?” tanya Naira mengerutkan dahi.     “Macam mana itunya.”     Seketika Naira mendelik menatap rekannya yang paling rese dan suka asal ngomong. Ia melepas rangkulan Masya, mendesis pelan meninggalkannya. “Coba aja, Kak. Siapa tahu ketagihan,” ujarnya menjauh sambil geleng-geleng kepala.     Naira mungkin belum menikah, atau bahkan belum punya pacar, tetapi hal-hal dewasa seperti itu bukan sesuatu yang baru baginya. Bukan rahasia lagi kalau pergaulannya dengan Masya membuat Naira tahu banyak hal mengenai penetrasi dan semacamnya. Namun, bukan berarti Masya memberinya pengaruh yang buruk. Justru berkat Masya, Naira bisa belajar banyak hal tentang bagaimana cara menghindar dari orang-orang yang berniat memerawaninya. Masya juga cukup selektif dan protektif terhadap pergaulan Naira. Menurutnya Naira sudah seperti adiknya sendiri. Jadi ia akan menjaganya dengan sangat baik.     Jam bersih-bersih telah usai. Naira kembali membenahi penampilan baru mendekati pintu guna membalik tulisan CLOSE menjadi OPEN. “Semoga hari ini semakin ramai,” ucap gadis berparas ayu itu. Makin banyak omzet yang didapat restaurant itu makin besar juga uang servise yang akan mereka dapat di pertengahan bulan. Itulah kenapa Naira dan rekannya yang lain selalu berdoa agar restaurant Jepang itu selalu ramai pengunjung.     “Naira.” Suara Bram sang supervisor terdengar memanggil. Gadis manis berperawakan langsing itu berlari kecil mendekati kepala restaurant. “Kau tugas di depan, ya.”     “Baik, Kak,” sahut Naira. Meraih buku menu bersampul hitam yang disodorkan padanya. Sesuai perintah Naira kini berdiri di depan, dekat jalan raya guna menawarkan menu special restaurant yang berganti tiap harinya. Dengan ramah ia menarkan produknya pada orang-orang yang lewat. Beberapa bahkan sudah mulai masuk mengisi kursi kosong di dalam sana. Hati Naira makin senang, ia pun jadi lebih bersemangat lagi mempromosikan jualanya.     Sementara itu seorang pria menatapnya melalui kaca jendela. Senyum manis tercetak di sudut bibirnya memandangi sang waitres yang bertugas di depan restaurantnya. “Bagaimana caraku menaklukkanmu, Manis. Kau sangat menggemaskan,” gumamnya.     Di sisi lain sebuah mobil mewah, warna hitam metalik baru saja berhenti di pertigaan karena lampu merah yang menyala. Letaknya tak begitu jauh dari restaurant.     “Pak Ahmad, bisakah berhenti di restaurant itu sebentar?” tanya seorang pria pada supir pribadinya. Aku baru di negara ini, jadi makanan Indonesia mungkin tak akan cocok buat lidahku. Maukah kau membantuku membeli sarapan.”     “Tentu saja, Den,” sahut Pak Ahmad. Setelah lampu berubah hijau, ia pun memutar setir kemudi kea rah kanan, masuk ke pelataran parkir restaurant itu. Segera ia turun kemudian mendekati pintu belakang bermaksud untuk membuka pintu untuk sang bos. Akan tetapi, gerakannya terhenti ketika bosnya meminta membeli sarapan dan membungkusnya saja karena ia ingin memakannya di kantor.     Ahmad berderao cepat menghilang di balik pintu restaurant. Pria berkulit putih di dalam mobil pun membuka berkas yang dibawanya. Ini pertama kalinya ia akan datang ke perusahaan cabangnya di Indonesia. Jadi sudah sejak semalam dirinya mulai mempelajari semua data tentang perusahaan itu.     Ia membuka lembar berikutnya untuk membaca laporan keuangan ketika rungunya mendengar suara lembut seorang wanita yang tengah menawarkan menu restaurant. Sedikit mengangkat kepala Jimin menoleh pada gadis manis yang tersenyum ramah pada pelanggannya.     Bibir pink cerry dengan senyumnya yang manis seketika menggetarkan hati pemuda itu. Ia mengangkat wajah lebih tinggi. Melupakan berkasnya dan mengawasi gerak-gerik gadis ramping yang berada tak jauh darinya. “Cantik sekali, beginikah rupa gadis-gadis Indonesia? Pantas saja Matsuya menyuruhku datang ke sini. Benar-benar secantik bidadari.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD