Part 1. Lamaran

1578 Words
    “Dengarkan ibu, Jimin. Mau sampai kapan kau membuat ibu dan ayahmu mengemis soal pernikahan. Kau tunjuk saja wanitanya dan kami akan segera berangkat untuk melamarnya.”     Jimin meletakkan koran yang tengah ia baca, menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap. Hawa panas kopi itu tak mampu meredam rasa dingin yang tercipta saat musim dingin melanda Jepang. Sesaat setelah cairan kental hitam itu menyusup melewati tenggorokan Jimin pun bangkit dari duduk, memeluk ibunya dengan hangat dan mencium pipi sang ibu. “Akan kubawakan menantu yang terbaik buat ibu jadi jangan berpikir yang aneh-aneh. Sekarang aku pergi dulu, Bu, aku harus kencan.”     Sang ibu pun menghela napas, jika sudah seperti itu tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Pria itu hanya akan kembali bergelut dengan berkas-berkas di kantornya. Kekesalan sang ibu dan ayahnya hanya akan menguap sirna tanpa ada kejelasan. Jimin selalu bisa menghindar. Sementara mereka tak punya cara untuk mengubah pendirian anaknya.     Jimin melangkah cepat setelah turun dari mobil mewahnya. Takeda sang supir pun kembali ke rumah menggunakan taksi sesuai perintah pria berwajah tampan itu. Beberapa orang menyapa kehadirang sang bos, yang dibalas anggukan ramah olehnya. Segera setelah bicara dengan sekretarisnya, Jimin pun masuk ke ruangan. Mengambil telepon lalu menghubungi sahabatnya.     “Meeting akan ditunda selama satu jam, aku ingin kau datang ke sini. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan,” ucapnya di telepon kantor. Temannya memang bekerja di di sana. Namanya Matsuya Mashimoto, pria berdarah Jepang yang sudah menjadi teman baiknya dari sejak mereka berumur lima tahun.     Keluarga Matsuya pernah hidup berdampingan dengan keluarga Venien di Australia. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Jimin ikut dengan Matsuya ke Jepang dan memulai karier di sana. Didukung oleh keluarga, setelah mendapatkan pengalaman kerja selama tiga tahun, Jimin pun mendirikan perusahaannya sendiri.     Sejak saat itu Matsuya sudah mengikutinya. Jatuh bangun mengukuhkan bisnis ottomotif yang mereka geluti. Karena Jimin memang memiliki kehidupan yang lebih berada, Matsuya pun harus puas hanya menjadi tangan kanan sang sahabat, sedangkan Jimin menjadi pemilik modal utama, dan sekaligus CEOnya.     “Baiklah, kawan. Katakan apa yang bisa kulakukan untukmu?” tanya Matsuya begitu masuk ke ruangan Jimin. Pria itu tersenyum, menurunkan kacamata yang bertengger di pangkal hidung, bangkit dari kursi, dan mendekati sahabatnya.     “Hari ini mereka memaksaku lagi,” tuturnya, sembari menghempaskan badan di atas sofa. Tanpa sungkan Matsuya mendekati kulkas mini di ruangan itu. Mengambil minuman dingin dan meneguknya sebelum mendudukkan dirinya menyusul Jimin yang sudah terlebih dulu ada di sana.     Jimin meminta minuman dingin yang baru diminum setengah oleh Matsuya, kemudian meneguknya hingga tandas.     “Harusnya kau senang karena orang tuamu masih memberikan perhatian seperti itu padamu. Lihatlah diriku. Orang tuaku bahkan sudah tak peduli. Bukannya memintaku menikah, mereka malah sama-sama mencari pasangan hidupnya sendiri,” gerutu Matsuya.     “Tapi dengan siapa aku harus menikah, aku tak mungkin menikah dengan wanita sembarangan. Ah, ini semakin menyebalkan.”     “Hei, bagaimana kalau kau mencari istri palsu, istri kontrak.”     “Usulmu keterlaluan, apa kau pikir kita hidup dalam buku fiksi, yang akan menikah dengan kontrak, ais tidak membantu sama sekali,” keluh Jimin.     Matsuya pun terkekeh pelan. Ia mengambil sejumput camilan yang baru saja dibawa masuk oleh Himawari sekretaris pribadi Jimin. “Aku punya ide, kau pergilah ke Indonesia. Orang-orang Indonesia terkenal lugu dan ramah. Mungkin kau bisa menemukan cinta di sana. Atau kalau kau benar-benar tak mendapatkannya, maka kau bisa memikirkan apa yang kukatakan tadi. Kawin kontrak.”     “Apa kau yakin aku akan mendapatkan seseorang di sana?”     “Kalau pun kau tak mendapatkannya, paling tidak kau bisa menghindari orang tuamu sementara waktu, ‘kan? Kau harus bersenang-senang. Lagi pula kau belum pernah mengunjungi cabang perusahaan di Indonesia, 'kan? Manfaatkan kesempatan ini dengan baik. Melihat situasi di sana, juga mencari cinta.”     Jimin tampak menimbang sesaat setiap ucapan Matsuya. Setelahnya ia pun bangkit, dan menelepon seseorang. Matsuya masih setia menemani sang sahabat. Setelah menelepon, Jimin mendekati sahabatnya.     “Matsuya, kau urus semua hal yang ada di sini. Aku akan berangkat ke Indonesia secepatnya. Aku sudah meminta Himawari mengurus keberangkatanku.”     “Wah, hebat sekali, kau langsung menyetujuinya begitu saja. Saranku sepertinya sangat mengagumkan. Hei, Bos kau harus berikan aku bonus setelah mendaptkan istri nanti.”     “Iya, ya, akan kubawakan bonus seorang istri untukmu.”     Matsuya pun tertawa, begitu juga Jimin. Jimin pun tak lagi mengurusi soal meeting yang akan segera berlangsung. Ia memilih untuk pulang dan mengemasi barang-barangnya untuk segera berangkat ke Indonesia.     Semua pekerjaan di Jepang telah diambil alih oleh Matsuya. Sementara kedua orang tua Jimin makin kebingungan melihat putranya.     “Jimin, ibu memintamu menikah, bukannya mengembangkan usahamu di Indonseia, bukankah perusahaan di sana baik-baik saja.” Ibu dan ayah Jimin hanya bisa menatap putranya yang sudah masuk ke dalam mobil. Sementara Takeda sudah duduk di belakang setir kemudi.     “Justru karena itulah ibu aku harus ke Indonesia untuk menyampaikan rasa terima kasihku pada pekerja di sana. Dari sejak usaha itu berdiri aku belum pernah menyambangi mereka.”     “Oh, ya, Tuhan, sepertinya aku harus mengadakan upacara besar-besaran kepada dewa bumi agar bisa merubah pemikiranmu itu. Kau tak akan bahagia jika hanya memikirkan uang, Nak.”     Jimin hanya terkekeh melihat ibunya. Ia selalu menganggap lucu semua kata-kata sang mama. Pemuda itu pun meminta supir menjalankan mobilnya dan melambaikan tangan begitu saja pada sang mama yang memegangi kepalanya, merasa pening karena putranya selalu mengabaikan dirinya.     “Ais, anak itu sungguh takt ahu aturan, ap akita tinggalkan saja dia dan kembali ke Australia. Sepertinya di sana Jack lebih membutuhkan kita,” tutur sang ayah.     “Ah, entahlah, Ayah, aku pusing jangan menggangguku,” ketus sang istri lalu meninggalkan suaminya yang mematung seperti orang bodoh.     Sampai di dalam kamar, sang mama pun mematung memandangi foto di mana dua putranya tercetak di sana. Ia membelai keduanya dengan penuh sayang. “Jack, tolong bantu kakakmu. Ia harus menikah kalau tak ingin melajang untuk seumur hidupnya. Sudah cukup baginya memendam luka itu. Bukalah pintu hatinya, Jack.”     Entah kapan sang suami masuk menyusulnya. Tahu-tahu, tangan lembutnya sudah memeluk erat sang istri yang sedang menitikkan air mata. “Kau harus tenang, Sayang. Percaya pada Jimin, Jimin tahu apa yang terbaik untuknya, jadi percayalah padanya, heum.”     Sang istri pun mengangguk meski rasa tak rela masih mengerubungi hatinya. Ia tak rela jika sampai Jimin tak menikah hanya karena luka itu. Semua sudah berakhir sangat lama dan Jimin harus melupakannya. ***     Jimin menggeret kopernya yang tak begitu besar. Seseorang telah menjemputnya di bandara Soekarno-Hatta. Katanya ia bernama Rahmat, salah satu supir kantor dari perusaahaan otomotif milik Jimin Venien. Himawari benar-benar telah mempersiapkan semuanya dengan baik, bahkan Jimin tak perlu bingung mencari tempat tinggal sebab sebuah perumahan elit juga sudah menunggunya.     “Jadi aku akan tinggal di sini seorang diri?” tanya Jimin menggunakan bahasa Indonesia. Sejak memutuskan untuk membangun bisnisnya di Indonesia, Jimin memang sudah mengambil kursus privat bahasa itu, karena ia sangat yakin suatu saat nanti dirinya pasti akan mengunjungi perusahaannya. Jimin tak ingin jika karyawannya nanti merasa canggu berbicara, karena tak bisa menggunakan bahasa Inggris. Jimin, ingin semuanya berjalan lancar ke mana pun ia pergi.     Pemuda itu, di samping pebisnis yang hebat juga seorang pemuda yang sangat cerdas. Itu juga yang membuatnya digandrungi banyak orang. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan wanita yang siap menjadi pendamping hidupnya. Tak hanya dari kalangan putri pengusaha, bahkan sederet artis pun rela merendahkan dirinya hanya untuk mencuri perhatian sang CEO yang luar biasa mempesona. Namun, di balik semua kesuksesan itu tak pernah ada yang tahu luka yang terpendam dalam hati Jimin dan merongrongnya semakin hari semakin dalam, menyeretnya pada rasa sepi tak berujung.     Sampai di rumah barunya, Jimin merebahkan diri di atas sofa. Menatap layar televisi 72 inchi di hadapannya. Sementara seorang wanita tua sibuk memasak di dapur, dan seorang tukang kebun tengah sibuk memotong rumput liar yang tumbuh di taman.     “Apa suasana kota ini selalu panas?” tanya Jimin pada wanita tua yang ia ketahui namanya Bi Inah.     “Iya, Den, kota Jakarta memang selalu seperti itu,” sahut Bi Inah dengan dialek jawanya yang kental.     “Den?” Jimin bergumam tak mengerti dengan panggilan itu.     Pak Rahmat yang masih ada di sana, wara-wiri mengangkat koper Jimin pun tersenyum. “Den itu artinya Tuan Muda, Mr. Jadi mbok Inah memanggil Anda Tuan Muda.”     “Mbok?”     “Iya, Den, untuk wanita yang sudah berumur seperti saya, Aden bisa memanggil, Mbok, bukan Bibi.”     “Ah, I see,” jawan Jimin. Membuat Pak Rahmat dan Bi Inah saling tatap. “Maksudku, aku mengerti, ya, aku mengerti.” Tepat setelah Jimin menjelaskan kata-katanya, sebuah dering telepon mengusik rungunya. Ia pun mengangkat telepon itu dan meninggalkan Pak Rahmat dan Bi Inah, melangkah menuju kolam renang di belakang rumah. Sementara Pak Rahmat dan Bi Inah juga sudah kembali ke pekerjaan masing-masing.     “Jadi, Sobat, kau sudah sampai di Indonesia?” Suara Matsuya terdengar nyaring di telepon. Jimin menghempaskan diri di atas ranjang malas, menyelojorkan kaki, dan merebahkan dirinya di sandaran punggung barulah membalas ucapan sahabatnya.     “Aku baru saja, sampai. Hawa di sini sangat panas, aku terus saja merasa gerah sejak tadi.”     Matsuya terkekeh mendengar penuturan sang sahabat. “Itulah yang kurasakan saat datang ke sana mendirikan perusahan, dan kau tega sekali mengirimku tinggal di sana sampai bertahun-tahun. Kulitku rasanya melepuh.”     “Begitu, ya, jangan katakana sekarang kau sedang balas dendam padaku.”     Pria berdarah Jepang di ujung telepon kembali tertawa terbahak. Rasanya menggoda Jimin sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa ia tinggalkan. Jimin pun hanya bisa menghela napas mendengar guyonan temannya itu.     “Baiklah, teman, sekarang bisakah aku memintamu menyiapkan kontrak pernikahan untukku? Aku akan menemukan seorang wanita dengan cepat dan kembali ke Jepang.”     “Iya, kawan. Sekarang kau istirahat saja dulu, atau berendam di kolam. Bukankah rumah itu ada kolamnya. Dinginkan dirimu di sana, dan nikmati liburanmu. Aku akan siapkan segalanya sesegera mungkin.”     Jimin pun menutup telepon. Menghela napas sejenak, barulah melepas bajunya. Sepertinya saran Matsuya cukup bagus ia harus berendam di kolam untuk mendinginkan dirinya. Mungkin ditemani segelas jus jeruk dingin akan sangat menyenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD