Part 8 Pertemuan Pertama

1576 Words
Napas Naira tercekat ditenggorokan menyaksikan pria tampan yang kini berdiri di ruang tamu, saling berhadapan dengan dirinya. Pria dengan wajah tampan sekaligus menggemaskan. Rambut ditata rapi degan poni diarahkan ke belakang. Kulit putih, netra tajam yang mengujam membuat hati berdebar. Balutan busana kantor dengan jas hitam beserta dasi panjang, dan celana bahan hitam membalut tubuh tingginya. "Dengan Naira Amadia?" Baritonnya rendah menggoda. Terdengar aura positif yang menguar keluar bersama ucapan itu. "Kenalkan aku Jimin Venien, adik kembar Jack. Apa Jack sudah pernah bercerita tentangku?" "A ... be-belum," sahut Naira gugup. Bukan karena Jimin yang memukau, hanya saja mendadak ia membayangkan jika saja Jack terlahir dengan mental dan perkembangan yang sempurna dia pasti akan setampan Jimin. "Kau kelihatannya gugup, apa ada masalah?" tanya Jimin semakin menatapnya penuh tanya. Naira pun hanya bisa menelan saliva kelu. Setitik ketakutan tiba-tiba merayap kembali di hatinya. 'Bagaimana jika suatu saat Jimin tahu tentang pengkhianatannya pada Jack.' "Naira," panggil Jimin membuat wanita itu tersentak. "Ti-tidak. Bukan gugup. Hanya saja Jack sedang tak ada di rumah, dia sedang keluar bersama Michael," jawab Naira. "Tak masalah. Lagipula aku kemari bukan untuk menemui Jack, aku darang untuk menemuimu." Jimin memutar badan ke samping kanan. Mengambil sebuah paperbag berwarna cokelat. "Maaf aku tak bisa hadir saat upacara pernikahan kalian." Pria itu menyerahkan paperbag ke tangan Naira. "Tidak apa-apa. Tapi apa ini?" "Buka saja," sahut Jimin. Sembari melempar Senyum. Sedikit melirik Jimin sebelum membuka papar bag itu, Naira mengucap terima kasih. Tangannya pun perlahan mengeluarkan sebuah kotak warna marun berhiaskan pita. "Ini ...." Gaun hitam dengan manik-manik berkilauan tampak indah terlipat apik di kotak itu. Juga sebuah topeng dengan warna dan manik-manik senada dengan warna baju. "Untuk apa semua ini?" "Besok lusa ada peresmian brand baru di perusasahaan. Aku ingin kau dan Jack datang. Bagaimana pun Jack juga salah satu pewaris keluarga Venien. Jadi kedatangannya sangat diharapkan di sana." "Tapi, apa Jack sudah mengetahuinya? Bukankah selama ini Jack sangat takut berinteraksi dengan orang lain. Aku tak ingin membuatnya tersiksa dengan datang ke keramaian seperti itu." "Aku senang kau sangat perhatian pada kakakku." Jimin mengumbar senyum, "tapi, kehadiran kalian benar-benar sangat diharapkan. Ini juga untuk menunjukkan kalau Jack benar-benar layak mendapatkan warisan keluarga. Atau kalau tidak ia tak akan mendapatkan apa-apa." Naira mematung diam. Bukankah peran kedatangannya ke sini sebagai istri juga untuk tujuan yang sama. Melihat wanita di depannya hanya diam, Jimin pun tersenyum dalam hati. "Kau merisaukan kesehatan kakakku? Tenang saja, kakakku cukup hadir sebentar saja. Memperkenalkanmu sebagai istrinya. Setelah itu dia boleh pulang, dan kau bisa menggantikannya menyaksikan peluncuran brand itu." "Jika seperti itu, mungkin kami bisa datang. Aku akan bicarakan ini dulu dengan Michael dan Jack." Naira memasukkan kembali bajunya. Sementara Jimin mengambil paperbag yang lain. "Berikan juga ini pada Jack. Kalian akan datang sebagai couple jadi kenakan pakaian couple juga Naira mengangguk. Menjauhkan paperbag itu dari atas meja ketika Bibi Darsi datang membawa minuman. "Ngomong-ngomong apa aku boleh tahu alasanmu menerima Jack sebagai suami? Bukankah kau tahu kalau Jack bukan pria normal." Jimin meletakkan minuman setelah menyesapnya sebentar. Jus strowbery yang diberikan Bi Darsi kini tinggal setengah. "Aku ...." Naira hendak menjawab, tetapi keraguan menyelimutinya. Jimin pun terkekeh, membuat Naira menoleh. "Jangan ditutupi, aku sangat tahu tipe wanita sepertimu. Aku hanya ingin kau bicara jujur. Berapa banyak uang yang ditawarkan Michael padamu?" Naira menunduk. Merasa teriris dan tertampar kata-kata tajam yang dilontarkan Jimin padanya. Ingin marah pun tak bisa sebab apa yang dikatakan Jimin benar adanya. "Tak masalah berapapun kau dibayar. Aku hanya minta kau membahagiakan adikku. Atau kau akan berurusan denganku setelah ini." Jimin menghabiskan minumannya. "Aku mungkin tak pernah menunjukkan diri di depan kau dan Jack, tapi jiwa kami selalu saling terhubung. Setetes saja air mata kakakku jatuh, kau akan menerima akibat dari itu semua. Camkan baik-baik." Naira tertegun. Suara Jimin yang tadinya ramah tiba-tiba berubah dingin. Kesepuluh jemari tangan wanita itu saling meremat gugup. "Aku tak akan menyakitinya. Percayalah. Adikku juga seorang autis dan aku tahu bagaimana cara menanganinya dengan baik. Jadi aku yakin bisa membuat kakakmu nyaman dan bahagia." "Itu bagus, aku pegang janjimu." Setelah menandaskan minumannya, Jimin pun bangkit dari duduknya. "Aku sudah menyampaikan apa yang ingin kusampaikan. Selamat atas pernikahan kalian. Aku pamit undur diri." Diikuti oleh Naira yang mengantar hingga sampai pintu utama, Jimin sedikit membungkukkan badan. Naira mengikutinya dengan canggung. Sambil mencakupkan tangan di depan d**a. Pria itu pun masuk ke mobilnya. Tiin! Bunyi klakson mobil terdengar sekali, Jimin melambaikan tangan dibalas oleh Naira. Setelah Jimin menghilang di depan pintu gerbang barulah Naira masuk ke rumah dan menutup pintu utama. Menenteng dua paperbag, Naira masuk ke kamar Jack Venien. Ia meletakkan kedua tas itu di sana. Naira yang sendirian di ruangan itu pun menyempatkan diru berkeliling ruangan. Meski sudah mengikat pertemanan dengan Jack, nyatanya pria itu masih saja asing baginya. "Maaf Nyonya, ini sudah jam makan malam, apa kau masih belum ingin makan malam?" Naira menoleh pada Bi Darsi yang berdiri di ambang pintu. "Apa Jack dan Michael belum pulang?" "Belum, Nyonya. Jika sudah malam begini mereka belum pulang, biasanya Tuan Jack akan menginap di rumah Tuan Jimin. Dia akan melakukan itu jika hatinya sedang bahagia atau sedang sangat terluka." "Begitu, ya. Sayang sekali padahal tadi Jimin datang kemari. Apa rumah Jimin jauh dari sini?" "Sepertinya tadi Tuan Jimin langsung singgah kemari setelah pulang dari kantornya. Jadi kemungkinan Tuan Jimin tak tahu kalau Tuan Jack ada di rumahnya." Bi Darsi menjeda ucapannya. "Tuan Jimin tinggal di perumahan Pantai Indah." "Oh, begitu." Naira pun melangkah keluar. "Kalau begitu aku akan makan sekarang. Setelah memastikan Jack benar-benar ada di sana." Sebelum ke meja makan Naira mendekati telepon rumah yang ada di ruang tamu. Ia mulai menghubungi Jack dan berbicara menanyakan keberadaannya. Benar seperti apa yang dikatakan Bi Darsi. Jack ada di rumah Jimin. Pria itu juga mengatakan akan menginap di sana. "Baiklah kalau begitu, selamat bersenang-senang," ucap Naira mengakhiri sambungan teleponnya. Malam ini menjadi malam keduanya sebagai seorang istri. Jika semalam ia bercinta dengan orang yang tak diketahui siapa kejelasannya. Sekarang Naira harus menghabiskan malamnya seorang diri. Sedikit bergidik, saat bayangan semalam menyapa, Naira hampir saja enggan untuk makan malam. Kesetiaan Bi Darsi yang merayunya membuat Naira menghabiskan makan malamnya. Rumah terasa sepi tanpa Michael ataupun Jack. Sungguh nasibnya jadi begitu mengenaskan. Jika sepasang pengantin anyar akan menghabiskan waktunya dengan berbulan madu. Maka sekarang, Naira harus menghabiskan waktunya dengan tergeletak sendirian di atas ranjang. Sesaat Naira menyalakan televisi di ruang tengah. Berusaha mengisi waktu sampai kantuk menyerangnya. "Nyonya Naira belum tidur?" Bi Darsi bediri di sebelahnya. Naira pun menoleh. "Apa aku menyalakan televisi terlalu keras? Apa itu mengganggumu, Bi?" "Tidak," jawab Bi Darsi sambil tersenyum. "Bibi mau keluar sebentar. Tadi mau nitip beli mie ayam sama Mang Ujang, tapi Mang Ujang lagi sakit, jadi bibi beli sendiri aja. Apa Nyonya mau saya belikan juga?" "Tidak, Bi. Aku akan tidur, sudah mengantuk. Lagipula acara terlevisi sangat membosankan." Naira pun mematikan televisi, kemudian berderap menuju kamarnya. Rencananya untuk tidur di kamar Jack pun batal. Padahal ini baru jam setengah sembilan malam, tetapi matanya sudah tak bisa dibuka lagi. Naira begitu cepat terlelap di atas ranjangnya. Bi Darsi mengurungkan niatnya membeli mie ayam sebab itu hanya akal-akalannya saja. Tadi ia hanya ingin memastikan apa obat tidur yang dicampurkannya di minuman Naira tadi sudah bekerja atau belum. Terdengar hening dari kamar Naira, segera Bi Darsi menghubungi seseorang. "Bagus sekali," sahut orang itu di ujung telepon. "Kau boleh kembali ke kamarmu." Menurut pada perintah sang bos, Bi Darsi pun kembali ke kamar pembantu. Merebahkan dirinya di atas ranjang lalu terpejam dengan senyum mengembang sebab misinya kali ini berhasil dengan gemilang. Tiga puluh menit berikutnya, sebuah mobil datang memasuki pelataran parkir rumah itu. Seorang pria turun mengenakan pakaian casual. Memainkan kunci kamar di tangannya. Memasuki pintu rumah utama, ia langsung naik menuju lantai dua. Ia memasukkan kunci ke kamar Naira. "Semalam kau menggeliat dengan indah, Sayang. Itu membuatku gila." Tangannya terulur mengambil dua buah tali di saku celana pendek. Mengikat kedua tangan Naira seperti semalam. Pria itu juga menutup mata Naira yang terlelap dengan napas mengembus teratur. Senyum manis tak pernah hilang dari wajah sang pria. Jemarinya bergerak pelan merapikan rambut Naira yang sedikit acak-acakan. Mengelus pipi wanita itu yang sedikit cubby, membentuk raut wajah menggemaskan. Pria itu pun mengikis jarak, melumat bibir Naira dengan sangat lembut. Tangannya bergerak nakal menyusup di balik baju meraih d**a Naira. Segalanya pun jadi lebih mudah sebab Naira tak memakai bra. Itu memang sudah jadi kebiasaannya. Menurut kesehatan tidur tanpa bra memang sangat dianjurkan untuk memberikan d**a kesempatan bernapas. Tanpa melepaskan pagutannya akan bibir Naira, pria itu terus meremas dan memainkan d**a Naira. Kali ini Naira tak memberinya respons positif seperti kemarin malam, karena tidurnya sangat lelap di bawah pengaruh obat tidur. Puas memainkan d**a sang wanita, pria itu pun mebuka satu persatu pakaian Naira. Kemudian melancarkan aksinya dengan leluasa. Sesekali erangan terdengar dari bibir Naira ketika sang pria menghentak dengan sedikit keras. Namun, itu tak membuatnya terjaga. Pengaruh obat tidur itu begitu kuat, hingga dirinya tak sadar telah digagahi begitu rupa. Entah berapa lama pria itu memperkosanya, sampai sang pria merasa benar-benar puas, barulah ia berhenti. Menumpahkan seluruh benihnya di rahim Naira. Ia pun tersenyum puas. Tubuh atletisnya berpeluh menampilkan kepuasan tiada tara setelah merasakan kenikmatan tubuh sintal, wanita yang terkapar tanpa daya di bawahnya. Ia pun mengeluarkan miliknya dari inti Naira, mencium bibir wanita itu sekali lagi, barulah melepaskan ikatan di tangan Niara dan pergi meninggalkan mangsanya dalam keadaan telanjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD