Part 2- Canggung

1852 Words
Gadis yang mengenakkan dress biru muda itu terpana, melihat pria yang sama sekali tak ia sangka akan ditemuinya di sini, di tempat ini... di tempat di mana ia akan menjalani kehidupan barunya untuk mencapai mimpi. Pria yang hingga saat ini masih menjadi penghuni tetap hatinya meski ia telah mencoba melupakannya. “Lo... kulian di sini?” tanyanya dengan hati-hati. Alga mengangguk. “Lo juga?” Elsya mengangguk, membuat sebagian anak rambutnya menutupi wajah mungil gadis itu. Namun tetap membuatnya terlihat manis. “Gue kuliah jurusan fashion design. Lo?” “Arsitektur.” Kedua bola mata Elsya berbinar, tak menyangka jika akhirnya Alga bisa masuk ke jurusan impiannya. Itu sebuah berita yang sangat bagus baginya. Selama ini ia hanya melihat Alga melalui sosial media pria itu yang mendadak jadi sangat ramai, mungkin sejak Alga memulai karir sebagai model. Hal yang tidak Elsya sangka juga meski ia sebenarnya tahu jika Alga memang pantas dengan pekerjaan itu. Tak perlu diragukan lagi setampan apa Alga dan sebagus apa postur tubuhnya. “Syukurlah. Gue seneng dengernya.” Elsya tersenyum sangat manis. “Gue nggak tahu lo bakal kuliah di kampus ini juga,” ucap Alga yang berusaha menetralisir perasaannya di depan Elsya. Senyum gadis di depannya ini hampir saja meruntuhkan dinding pertahanan yang sudah ia bangun sejak beberapa bulan terakhir. Elsya mengulum senyum, terlihat sendu di kedua bola matanya. Tidak seperti saat gadis itu tahu jika ia masuk ke jurusan arsitektur, sesuai mimpinya. “Lo nggak pernah tanya. Bahkan ini pertama kali gue bisa lihat lo lagi sejak hari kelulusan kita.” Alga mengangguk mengerti. Ia tidak akan melupakan hari itu, hari di mana ia merasa tidak bisa melihat Elsya lagi. Hari di mana Elsya telah menjadi milik Aksa. Namun ternyata takdir mempermainkannya dengan menyatukan dirinya dan Elsya dalam kampus yang sama. Jalan hidup macam apa ini? Ia berusaha menghindari Elsya sekuat mungkin, bahkan sampai berhenti mengikuti akun Elsya demi tidak melihat gadis ini... tapi sekarang ia dan Elsya malah satu kampus? Yang benar saja. “Harusnya lo bilang kalo masuk ke kampus ini juga,” ucap Alga datar. “Hah? Kenapa?” tanya Elsya cepat, seakan ada harapan dalam nada bicaranya. “Jadi gue bisa cari kampus lain. Gue nggak suka karena kita satu kampus lagi. Gue ngerasa nggak nyaman.” Alga pun berbalik, berjalan meninggalkan Elsya yang mematung di tempatnya. Pria itu diam-diam menghela nafas, dengan perasaan yang tak bisa diutarakan. Yang jelas, ia merasa sakit saat harus bicara seketus itu pada gadis yang ia sukai. Elsya masih terdiam di tempatnya, menatap punggung Alga yang semakin menjauh. Ada hal lain yang mengganggunya selain kata-kata Alga yang baru saja menusuk hatinya, yaitu sebuah pin bunga mawar biru yang menempel di ransel cokelat milik Alga. Gadis itu tersenyum miris, merasa dipermainkan. “Maksud lo apa sih, Al? Lo berusaha menjatuhkan gue, tapi sikap lo juga yang membuat gue semakin berharap.” “Hei!” sapa seseorang di belakang Elsya. Gadis berambut cokelat gelap itu pun menoleh, menatap pria hitam manis beralmamater merah maroon yang sepertinya baru saja menyapanya. Atau Elsya salah dengar? Atau pria itu memanggil orang lain? Tapi tatapan pria itu menatap ke arahnya. “Kakak manggil saya?” tanyanya dengan canggung ketika pria itu berjalan menghampirinya. “Iya. Lo mahasiswa baru, kan?” tanya pria itu dengan senyum yang manis. Yang Elsya pikirkan saat pertama melihat pria beralmamater ini, gadis itu merasa jika pria ini bukanlah senior biasa. Pasti dia memiliki salah satu jabatan penting atau minimal dia adalah panitia di acara kuliah perdana ini. Terlihat dari pita berwarna hitam di lengan kanannya. Elsya mengangguk canggung, menyadari pria di depannya adalah seorang senior. Walau ia pernah menjadi junior saat masih SMA dulu, tapi rasanya agak beda jika menjadi junior di kampus yang ruang lingkupnya lebih luas ini. “Iya, kak.” “Santai aja sama gue,” ucap pria itu lagi. “Gue Farel. Gue mahasiswa tahun ke dua jurusan arsitek. Lo?” “Saya Elsya, Kak. Saya jurusan fashion design.” Pria yang ternyata bernama Farel itu melihat sekelilingnya. “Yang lain udah pada kumpul di aula tuh. Lo cepetan nyusul deh daripada kena marah. Sebentar lagi pembukaan acara.” Ia pun menarik tangan Elsya dan meletakkan sesuatu di telapak tangan gadis itu. “Biar nggak ngantuk,” ucapnya lalu pergi. Elsya membuka telapak tangannya dan melihat satu permen mint di tangannya, lalu ia membalik permen yang biasanya memiliki sebuah pesan singkat itu. Hai, Cantik. Mendadak pipi Elsya memerah. Gadis itu kemudian melihat ke arah Farel pergi tapi pria itu sudah tidak terlihat. Elsya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, memperhatikan sekitarnya dengan gusar. “Kenapa sih hari ini? Baru aja gue kayak ditolak mentah-mentah kehadirannya sama Alga, sekarang cowok yang namanya Farel itu malah merayu gue? Dasar!” Ia pun memutuskan untuk segera pergi sebelum dirinya tertangkap basah oleh senior yang lain. ...................... “Hei. Gue duduk di sini ya,” ucap gadis berambut hitam dengan potongan pendek yang membuatnya terlihat manis, ditambah wajahnya yang mungil. Sekilas Elsya seperti melihat boneka. Elsya mengangguk canggung. “Iya, silahkan.” “Thanks. Gue Windi.” Gadis itu mengulurkan tangannya. “Elsya,” jawab Elsya sembari menyambut uluran tangan itu. “Membosankan ya,” ucap Windi sembari menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya lurus menatap satu persatu perkenalan ketua UKM di kampus ini. Elsya menganguk. “Iya.” “Itu kak Farel. Dia yang paling manis menurut gue,” ucap Windi tiba-tiba sembari menunjuk heboh ke arah pria beralmamater merah maroon dengan pita hitam di lengannya. Pria yang bertemu dengan Elsya beberapa menit yang lalu. Ternyata benar dia bukanlah senior biasa, buktinya jabatannya adalah seorang ketua yang jelas sangat penting itu. “Dia paling ramah sih dibanding ketua UKM yang lain. Fix gue bakal ikut pecinta alam aja.” Windi terlihat bersemangat. “Lo mau masuk UKM apa? Kita butuh sertifikat UKM loh.” Ia menatap Elsya yang berada di sampingnya lalu memperhatikannya dari atas ke bawah, membuat yang ditatap terlihat risih. Ia menggelengkan kepalanya. “Kayaknya nggak bakal pilih UKM pecinta alam ya?” Elsya tersenyum tipis ketika sadar dirinya baru saja dinilai oleh orang yang baru dikenalnya ini. “Belum tahu. Tapi lo kayaknya bener, gue nggak bakal ikut UKM pecinta alam.” Windi mengangguk. “Lo terlalu manis untuk ikut pecinta alam,” ucapnya menyayangkan. Ia memang berpenampilan agak tomboy dengan celana jeans dan kemeja lengan panjang yang sengaja digulung sampai ke sikunya. Sekilas Elsya mengenali punggung pria yang berdiri dua baris di depannya. Kemeja berwarna navy itu masih sangat dikenalnya. Alga. Seperti biasa, Alga terlihat serius memperhatikan acara ini tanpa berniat bersosialisasi seperti yang lain. Apa pria itu akan terus menyendiri di tempat baru ini? Entah kenapa itu membuat Elsya cukup khawatir. “Eh, temenin gue ngambil formulir UKM yuk!” ucap Windi tiba-tiba yang membuat Elsya tersadar dari lamunannya tentang Alga. Gadis berwajah mungil itu sudah beranjak dari kursinya. “Eh, iya. Ayo.” Elsya pun beranjak, menyadari jika acara baru saja selesai dan mahasiswa baru sepertinya sibuk mengambil formulir UKM di stand-stand yang disediakan di luar aula. Windi menarik tangan Elsya menuju stand milik UKM pecinta alam yang terlihat unik. Karena stand itu terbuat dari tenda yang telah dibangun sedemikian rupa. Pria yang pertama menyambut keduanya adalah Farel—si ketua UKM. “Eh, lo mau daftar?” tanya Farel begitu melihat gadis yang tadi pagi ia temui datang ke stand miliknya. “Lo udah kenal dia?” bisik Windi pada Elsya. Namun Elsya hanya mengedikkan bahunya dan tersenyum tipis membuat Windi mendengus. “Nyuri start duluan lo. Curang!” candanya. Elsya pun menggeleng, menjawab pertanyaan Farel padanya. “Cuma nganter temen, Kak.” Ia melirik Windi yang berdiri di sampingnya. “Oh.” Farel tersenyum tipis lalu menyodorkan satu formulir ke Windi. “Bisa dikumpul besok ya di gedung lembaga UKM.” “Oke, kak. Thanks ya.” Windi ingin sekali menjerit kesenangan karena bisa berbicara secara langsung dengan Farel. Ia pun segera mengajak Elsya pergi sebelum dadanya benar-benar meledak karena berdegup terlalu keras, ia takut Farel mendengarnya. “Manis banget, kan?” tanyanya setelah cukup jauh dari Farel. “Centil lo!” gurau Elsya yang malah membuat Windi tertawa keras. “Come on, Els! Kita udah mahasiswi, jangan cuma asik kuliah. Senior-senior kayak Farel tuh yang bikin semangat ‘ngampus’,” ucap Windi yang tersenyum lebar. “Terserah lo deh.” Elsya menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya jika ia bisa merasa sedekat ini dengan Windi yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu. Padahal sepertinya karakter Windi sangat berbeda jauh dengannya. “Els!” “Aksa?” Elsya terkejut melihat kedatangan Aksa—kekasihnya di kampus ini. Padahal setahunya kampus Aksa sangat jauh dari sini, kira-kira butuh satu jam perjalanan dengan mobil. “Kok ke sini? Nggak ada kuliah emang?” tanyanya sembari melempar senyum ke pria itu. “Oh iya. Ini Windi, temen aku.” “Hai, Win!” sapa Aksa. “Eh iya. Hai!” sapa Windi yang terlihat salah tingkah. Ia lalu mendekat ke arah Elsya dan berbisik, “pantes nggak doyan sama kak Farel. Tahunya udah punya oppa-oppa macem ini. Dasar lo ya. Mau bikin gue kaget berapa kali sih?” Mendengar ucapan Windi membuat Elsya tidak bisa menahan senyumnya. Sepertinya ia akan cukup cocok berteman dengan orang seperti Windi. “Apapun pertanyaan lo, gue bakal jawab kok nanti,” balasnya. “Makan siang yuk! Lo belum makan, kan?” tanya Aksa kemudian. “Ya udah. Yuk, Win. Ikut juga.” Windi malah menggeleng. “Nggak deh. Gue mau ngisi formulir dulu. Ini tuh butuh konsentrasi penuh. Siapa tahu kak Farel ngelirik formulir gue gitu terus penasaran terus ngajak kenalan deh.” Kali ini Elsya tidak bisa menahan tawanya. Windi gadis yang unik dan sangat ceria ini sungguh menghiburnya. “Terserah apa kata lo deh. Semoga sukses sama kak Farel.” “Dah! Gue duluan ya!” Windi melambaikan tangannya dan segera pergi. “Yuk!” Aksa pun meraih tangan Elsya, menggenggamnya dan pergi bersama. “Jadi udah punya pacar ya?” gumam Farel yang melihat Elsya pergi bersama pria yang sepertinya bukan mahasiswa baru ataupun mahasiswa di kampus ini. Terlihat dari pin berlambang kampus di tas pria itu. Ia hanya tersenyum tipis sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Dasar lo, Rel. Gadis semanis dia mana mungkin jomblo sih.”  ..................... Alga menatap lembaran formulir di tangannya. Formulir ini terlihat cantik dengan warna biru muda yang mengingatkannya pada warna favorit Elsya. Juga sebuah lukisan ukiran cantik di sudut formulir. Ya, ia memutuskan untuk ikut UKM seni lukis. Selain UKM ini mungkin akan lebih santai dibanding UKM lain, melukis pun adalah kesukaannya dan ia pasti akan menikmati kegiatan di UKM ini. Ketika akan bersiap pulang, Alga melihat Elsya yang baru saja masuk ke dalam mobil berwarna putih bersama Aksa. Sepertinya Aksa sengaja datang ke sini untuk menjemput kekasihnya itu. Karena ia tahu Aksa tidak kuliah di kampus ini. Alga pun menghela nafas saat mereka berdua menghilang dari pandangannya. Ditatapnya lagi formulir di tangannya. “Kenapa gue jadi berharap lo ikut UKM ini juga ya? Padahal gue nggak mau sering ketemu lo, tapi gue tahu... sekuat apapun gue menghindari lo, gue nggak akan bisa melupakan lo, Els.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD