Part 3- Apakah Jodoh?

1430 Words
Kuliah tak seindah yang dibayangkan. Elsya baru saja merasa senang karena tak harus mengenakan seragam lagi, tapi gadis yang telah beranjak dewasa itu dibuat pusing sendiri dengan banyaknya tugas yang diberikan oleh dosen-dosennya. Padahal baru hari pertama kuliah, serangkaian presentasi hingga proyek mulai dibicarakan. Ia pun harus bergabung dengan teman-teman lain dalam satu kelompok. Beruntung ia sekelompok dengan Windi, salah satu teman pertamanya di kampus ini dan satu-satunya orang yang ia kenal selain Brian, Alga dan Aksa. Setidaknya untuk awal, ini sudah cukup bagus. “ Ah, gini ya jadi mahasiswi,” ucap Windi seraya merenggangkan tangannya ke atas. “ Padahal baru minggu pertama tapi tugas udah numpuk aja. Nggak sabar buat libur semester.” Mendengar ucapan Windi jelas membuat Elsya tertawa geli. “ Baru minggu pertama kuliah udah mikir libur aja. Masih lama tahu.” “ Iya sih.” Windi tiba-tiba jadi tidak bersemangat. “ Makan dulu yuk. Gue laper banget!” Ia memegangi perutnya yang sejak tadi minta diisi. “ Yuk!” Tak banyak yang Elsya harapkan selama berkuliah di sini, ia hanya ingin bisa mempelajari semua hal tentang fashion design lalu lulus dengan nilai yang baik. Meski dulu ia memiliki banyak teman, tapi sekarang semuanya berbeda. Teman-temannya sudah mulai meniti tangga demi meraih cita-cita mereka. Banyak juga yang berkuliah di luar kota dan luar negri. Berbeda dengannya yang lebih memilih kuliah di kota yang sama dengan tempat tinggalnya. Ia tidak bisa jauh-jauh dari kedua orang tuanya terutama dengan ibunya, ia ingin banyak menghabiskan waktu dengan sang ibu. Karena memang masa kecilnya tak memiliki banyak kenangan dengan ibunya. “ Itu Algabra Rafasya?” pekik Windi yang tertahankan. Ia sampai memegang lengan Elsya dengan keras karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Pria bertubuh tinggi dengan kemeja merah marun lengan panjang yang sengaja dilipat sampai ke siku, ditambah dengan celana jeans hitamnya membuatnya terlihat tampan. Kedua manik mata pria itu tiba-tiba mengarah pada Elsya dan Windi. Ia merasa tengah diperhatikan oleh salah satunya, atau justru keduanya? “ Eh, dia ngeliat ke kita?” Windi semakin heboh. “ Kenapa sih? Malu ih!” Elsya mencoba menarik Windi ke arah lain agar tidak bertemu dengan Alga. Ia merasa canggung jika harus berpapasan dengan pria itu apalagi setelah pertemuan pertama mereka yang tidak mengenakkan. Bagaimana bisa Alga bilang menyesal masuk ke kampus yang sama dengannya? Menyebalkan! Gadis itu juga melupakan sesuatu, jika kelas arsitektur dan kelas fashion design berada di gedung yang sama. Pantas saja mereka bisa bertemu seperti ini. “ Lo nggak tau Algabra? Algabra Rafasya?” tanya Windi yang masih dengan kehebohannya. Tau lah. Kenal banget malah. Tapi itu dulu sebelum ultramen berubah. Ingin sekali Elsya mencak-mencak seperti itu pada teman barunya ini. Tidak mungkin ia menceritakan siapa Alga yang sebenarnya dan seperti apa hubungan mereka dulu. Jika diceritakan pun mungkin Windi akan sulit percaya, mengingat sosok Alga yang sekarang jauh berbeda dari yang Elsya kenal dulu. Alga telah banyak berubah. “ Aslinya ganteng banget ya dia? Gilak bisa-bisanya gue satu kampus sama selebgram gitu,” ucap Windi yang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran. “ Makan apa ya dia bisa ganteng gitu?” “ Makan nasi lah masa makan orang,” balas Elsya yang terkekeh geli. Ia jadi penasaran sebanyak apa fans Alga sampai Windi pun terlihat sangat menyukainya. Ya kalau dilihat dari pengikut di sosial medianya yang sudah mencapai ratusan ribu itu, pasti banyak kan yang menyukai Alga? Ia hanya salah satu dari sekian ratus ribu. Bedanya rasa sukanya jauh lebih dalam dari mereka. Windi mendelik sebal. “ Harusnya lo tadi ngebiarin gue nyapa doi. Siapa tau bisa temenan sama seleb terus ikut tenar deh.” “ Temenan kok ada maunya,” balas Elsya yang memilih untuk segera memesan makan siangnya dibanding terus menanggapi obrolan ngawur Windi. “ Gue pesen soto ayam deh sama nasinya dicampur ya. Sama es teh juga. Males banget ngantri,” ucap Windi yang kemudian mencari kursi kosong untuk mereka berdua. Elsya menggeleng-gelengkan kepalanya. “ Dasar!” Tak lama kemudian setelah mendapatkan makan siangnya, Elsya mencari keberadaan Windi dan ternyata temannya itu duduk di barisan sebelah kanan. Namun langkahnya terhenti saat melihat Alga yang duduk tepat di sebrang meja mereka. Itu berarti ia akan makan di dekatnya. Meja mereka hanya berjarak sekitar dua meter. Ia pun menatap Windi yang hanya senyam senyum ke arahnya. “ Pasti dia sengaja deh,” ucap Elsya pada dirinya sendiri. Ia pun hanya bisa menghela nafas sebelum ikut duduk di depan Windi. “ Perasaan banyak kursi kosong lain deh,” ucapnya pada teman barunya itu. Windi tersenyum lebar tanpa merasa bersalah sedikitpun. “ Tapi duduk di sini lebih indah pemandangannya.” Ia menaik-naikkan alisnya. Elsya hanya memutar bola matanya dengan malas. Ia memilih untuk segera menyantap makan siangnya meski dirinya jadi tidak tenang, ia merasa seseorang tengah memperhatikannya saat ini. Tidak mungkin, kan? *** Terkadang takdir memang seringkali terasa mempermainkan perasaan orang. Semakin kita menghindari seseorang, maka semakin besar peluang kita untuk bertemu dengannya. Semakin dijauhi, justru kita merasa takdir semakin membuat kita dekat dengannya. Jadi apa maunya? Elsya ingin sekali menenggelamkan dirinya saat ini juga. Bagaimana tidak? Saat hari pertama pertemuan UKM yang dipilihnya, ia justru kembali dipertemukan dengan Alga. Pria itu duduk di kursi paling depan dan terlihat sedang serius menggambar di buku sketsanya. Seketika ia hanya bisa mematung di ambang pintu sebelum akhirnya masuk diam-diam ke dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu, berharap agar Alga tidak melihat ke arahnya. Ia takut sekali pria itu akan menganggapnya sengaja mengikuti dia untuk ikut di UKM ini. Padahal bukan sama sekali. Semua hanya kebetulan. Elsya pikir, mungkin pertemuannya dengan Alga hanya sebuah kebetulan. Ia tak banyak berharap akan pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya. Tapi entah kenapa takdir seolah mengejeknya, terutama menggoda hatinya yang memang telah rapuh sejak dulu. Bagaimana jika ia semakin jatuh dalam pesona Alga jika terus menerus melihatnya begini? “ Baiklah. Sepertinya udah masuk semua ya anggota barunya. Jadi gimana kalau kita mulai perkenalan dulu?” Mati gue. Batin Elsya. Rasanya ia ingin benar-benar berubah menjadi debu saja saat ini, lalu dihempaskan keluar dari ruangan dan terbebas dari Alga. Namun semua terlambat. “ Ya, dimulai dari perempuan yang paling pojok, yang pake dress kuning. Silahkan perkenalkan diri lo,” ucap Katrina—salah satu senior. Kayaknya gue mati dua kali hari ini. Batin Elsya lagi. Sebelum akhirnya gadis itu terpaksa berdiri dan bersiap untuk memperkenalkan dirinya. “ Perkenalkan namaku Elsya dan aku jurusan Fashion design tahun pertama.” Mendengar suara yang tak asing, serta nama yang tak asing pula, Alga otomatis menoleh ke sumber suara. Benar saja, tatapannya kini bertabrakan dengan tatapan Elsya, tatapan yang tak ia mengerti. Pria itu mengangkat sebelah alisnya seolah meminta kejelasan. “ Gue nggak ngikutin lo,” ucap Elsya tanpa suara. Ia yakin hanya dengan gerak bibirnya, Alga bisa mengerti. Mereka sering melakukannya dulu. Iya dulu, sudah lama sekali. Alga hanya mengedikkan bahunya sebelum kembali melihat ke depan lagi. Pria itu berusaha mengatur degup jantungnya yang selama masuk ke kampus ini rasanya jadi semakin tak beraturan. Apalagi jika terus menerus berpapasan dengan gadis itu. Ia takut dirinya akan rapuh suatu saat nanti dan memeluknya. “ Oh iya. Kita juga kedatangan tamu istimewa loh. Gue nggak nyangka sih kalau Selebgram terkenal kayak lo mau masuk ke UKM kita,” ucap Anya—salah satu senior di UKM seni lukis. Ia berdiri tepat di depan Alga. “ Apa sih motivasi Algabra Rafasya masuk UKM seni lukis?” Ditanya demikian membuat Alga jadi sedikit kikuk. “ Karena gue suka ngegambar,” jawabnya secara singkat, padat, dan jelas. Membuat orang-orang di ruangan itu tertawa. Anya pun ikut tertawa dengan kepolosan juniornya itu. “ Iya sih. Tapi kan banyak UKM lain yang mungkin bisa semakin mendulang karir lo. Kayak ngeband, kelas akting bahkan fotografer.” “ Nggak tertarik sih. Gue nggak terlalu suka sama kegiatan yang terlalu banyak orang. Gue lihat UKM seni lukis ini yang daftarnya sedikit jadi gue memilih UKM ini aja,” ucap Alga yang semakin membuat yang lainnya takjub dengan jawabannya. Entah jawaban Alga harus diapresiasi atau justru akan lebih baik jika mulut pria itu dibungkam. Bagaimana bisa dia membicarakan soal ‘sedikitnya anggota’ yang mendaftar di UKM seni lukis ini, di depan para seniornya pula. Apa dia sedang menggali kuburannya sendiri? Anya dan teman-temannya yang lain pun hanya mengangguk-angguk sembari tertawa, walau sebenarnya ucapan Alga memang benar. Tapi kok terasa nyelekit ya? “ Dia masih sama kayak dulu. Suka nggak mikir kalo ngomong,” ucap Elsya dengan suara pelan. Rasanya ia semakin menyukai takdirnya saat ini, meski hatinya akan terus diguncang berkali-kali oleh pesona pria itu, setidaknya kini ia bisa tetap melihatnya dari jarak dekat. Dan tentu saja mengetahui kabarnya lagi. Kabar tentang cinta pertamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD