Siang itu matahari sedang terik-teriknya. Tetapi para senior Universitas Buana malah memanfaatkan hal tersebut untuk menjemur junior-juniornya hampir seharian penuh, terhitung sejak tadi pagi sampai kini menjelang sore.
Tidak hanya sekedar dijemur di tengah lapangan, mereka semua diminta untuk melakukan hal-hal bodoh seperti bernyanyi, berjoget, dan masih banyak lagi. Hingga sisa yang terakhir⸻katanya⸻mereka diminta untuk menutup mata masing-masing dengan sebuah kain panjang yang telah dibagikan satu orang satu oleh panitia.
“Eh, tolong iketin, deh.”
“Mana sini, abis itu gantian ya. Lo iketin punya gue.”
“Iya, iya.”
Terlihat seorang gadis menyodorkan kain panjang miliknya, yang langsung diterima oleh salah seorang temannya yang juga berbaris tepat di belakangnya. Bukan cuma dua gadis itu saja, bahkan hampir semua dari mereka juga meminta bantuan teman yang dikenalnya untuk saling membantu mengikat satu sama lain. Terkecuali satu yang sampai detik ini masih tidak memiliki teman atau orang lain yang dikenalnya untuk dimintai bantuan. Dia, Edrea Rasa Catleya.
Tetapi Rasa yang tidak tahu bagaimana caranya berkenalan dengan orang baru, tidak tahu caranya memulai percakapan dengan orang asing, tetap merasa tidak masalah sekalipun ketika dirinya tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Karena menurutnya, ia bisa mengikat kain panjang itu sendiri untuk menutup kedua matanya.
Termasuk Rasa, semua tampak sibuk mengikat. Namun setelah sekian menit berlalu, tidak termasuk Rasa, semua telah selesai dengan mata tertutup sempurna oleh kain yang terikat di masing-masing kepala mereka.
“Ck!” Berkali-kali Rasa mendecak, kesal. Lantaran tidak tahunya, sulit juga mengikat kain itu di kepalanya sendiri, terlebih ketika beberapa helai rambutnya yang ikut terikat malah menjadi kusut.
Sampai tak lama kemudian, Rasa rasakan tangan seseorang tiba-tiba mengambil alih kain itu dari tangannya dan membantunya mengikat. Sehingga tidak butuh lebih dari lima detik, setelahnya kain itu terikat sempurna, lalu sepasang matanya pun jadi bisa terpejam rapat.
Rasa menolehkan kepala, meski agaknya yang ia sia-sia. Karena percuma saja, matanya yang ditutup seperti ini dan dirinya yang tidak memiliki kemampuan untuk melihat menembus kain, tidak akan bisa melihat wajah seseorang yang barusan membantunya itu sekarang juga.
“Semua udah tertutup?” tanya Larissa, selaku salah satu senior yang menjadi panitia saat itu.
Seluruh mahasiswa baru menjawab serempak, “Udah, Kak.”
“Oke. Kalian akan dibagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok akan mendapat satu penanggung jawab, yang merupakan bagian dari kami. Paham?”
“Paham, Kak.”
Tiba-tiba Rasa merasa seseorang menggiring lengannya. Dan karena ia yakin seseorang itu sudah pasti seniornya yang bertugas menjadi penanggung jawab kelompoknya, ia menurut saja dan mengikuti ke mana pun tangan itu menarik lengannya tanpa membantah.
***
“Buka penutup mata kalian.”
Instruksi itu seketika membuat empat maba yang berada di sekitar Antara melepas penutup mata masing-masing, tidak terkecuali Rasa.
Setelah penutup matanya dibuka, barulah Rasa tahu bahwa dirinya tengah berada di ruang perpustakaan saat ini, dengan tiga orang teman seangkatan⸻dua laki-laki dan satu perempuan⸻juga dua orang senior laki-laki di hadapannya.
Yang satu memakai jas almamater rapi dengan name tag dan Rasa bisa membacanya sangat jelas di sana tertera; Raga Aldebaran. Sedangkan yang satunya lagi... tampak sedang mengemut permen milkita dengan jas alamater berantakan dan tanpa ada tag nama yang tersemat di d**a kanannya.
“Perkenalkan, gue Raga. Salah satu penanggung jawab kalian.”
“Iya, Kak udah tahu. Itu ada tag namanya. Yang nggak ada itu, Kakak namanya siapa?” Cewek yang Rasa lihat berkalung nama Arin itu sesaat membuat Rasa bergidik ngeri.
“Oh, ini?” Satu tangan Raga menyentuh pundak teman di sebelahnya. “Nama dia⸻”
Cowok itu tersenyum miring, menggoda, tapi herannya malah ke arah Rasa. Padahal yang barusan menanyakan namanya bukanlah Rasa. “Jangan tahu nama gue, dan jangan cari tahu. Ntar kalo kenal, takut sayang. Kalau udah sayang, susah berhentiinnya,” celetuknya kemudian, yang seakan tahu apa yang ada dalam benak Rasa juga para juniornya yang lain.
Rasa berdecih seraya melirik sinis. Tipe-tipe cowok yang terlalu percaya diri seperti Cowok Milkita ini yang paling Rasa tidak sukai. Jangankan untuk tahu namanya, mengenalnya saja Rasa tidak ingin.
“Aaahh, kiyowo!”
Namun agaknya lagak cowok itu yang menurut Arin tengil-tengil menggemaskan membuat sepasang mata Arin malah berbinar-binar terang sekali.
“Sekarang kalian gue beri waktu sepuluh menit, cari buku sejarah Yunani yang paling pertama diterbitkan. Lewat dari itu, tim kita kalah.”
Mendengar instruksi dari Raga, Rasa dan yang lain langsung berjalan tergesa-gesa dan berpencar agar waktunya bisa lebih efektif. Tapi satu hal yang bikin Rasa kesal, si Cowok Milkita itu tampak mengikutinya. Memerhatikannya sambil tersenyum-senyum sendiri persis seperti orang gila yang ditemuinya di pertigaan jalan tadi pagi.
Lalu sekarang, di saat Rasa ingin mencoba mencari buku sejarah itu di rak nomor 124, Cowok Milkita itu malah menghalangi jalannya dengan sengaja menenggerkan satu tangannya di rak buku.
“Lo nggak penasaran sama nama gue?” tanya Cowok Milkita itu.
Rasa menatapnya sinis. “Nggak.”
Baru saja Rasa ingin melewati celah jalan yang lainnya, Cowok Milkita itu kembali menghalaunya dengan sebelah tangannya yang satu lagi. “Tapi gue penasaran sama lo,” katanya dengan menatap lekat mata Rasa dan mendekatkan jarak wajah mereka dengan sengaja.
“Terserah!” Dengan sangat kesal, Rasa menginjak salah satu kaki Cowok Milkita itu sekuat-kuatnya, menepis salah satu tangannya dengan kasar, sehingga kali berikutnya tidak ada lagi yang menahan langkahnya. Salah kalau cowok itu menyangka Rasa akan luluh dengan tatapannya, seperti yang ia lakukan pada perempuan-perempuan lain biasanya.
Menyaksikan raut wajah Cowok Milkita itu yang tampak menahan kesakitan yang berdenyut di kakinya, Rasa mengulum senyum tipis, puas. Kemudian dirinya kembali bergegas menuju rak buku 124, yang sejak tadi sangat ingin ia tuju, namun harus tertunda karena kelakuan aneh seniornya itu.
Benar saja! Di rak tersebut, Rasa temukan ada banyak buku Sejarah Yunani. Yang membuat tangan Rasa kemudian bergerak cepat, mencari yang tahun terbitnya lebih dulu daripada yang lain. Sulit memang, karena ada puluhan buku berjajar di sana sedangkan ia harus mencarinya sendiri dan secepat mungkin.
Akan tetapi akhirnya hal itu mampu juga ia lakukan tanpa bantuan siapapun. Buku Sejarah Yunani kuno, tahun 2000 SM, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Rasa melihat-lihat buku itu sejenak. Senyumnya melebar, karena kemungkinan besar buku ini yang mereka cari dan bisa memenangkan kelompoknya.
Dengan begitu bersemangat, ia berbalik, dan sangat terkejut sekali ketika tanpa ia ketahui tiba-tiba saja sudah ada orang berdiri di belakangnya entah sejak kapan. Tidak cuma terkejut, tapi juga kesal sampai ke ubun-ubun. Lebih-lebih setelah mengenali siapa seseorang itu, yang tidak lain juga tidak bukan adalah seniornya si Cowok Milkita!