WILLIAM.
Gadis itu ada disana, berdiri tepat dibawahku. Tumbuh sehat, menjadi perempuan yang sangat cantik. Tigabelas tahun, selama itulah aku menunggu hingga dia benar-benar siap.
" Jadi dia orangnya?" bisik suara khas pria dari sebelahku.
Aku mengangguk. Manik mataku hanya terfokus pada sosok perempuan bertubuh mungil berlekuk, dengan rambut panjang bergelombang mencapai punggung. Dia baru saja memeluk diri sendiri, setelah mendongak ke tempatku berdiri. Beruntung aku cepat menghindar.
" Dia cantik banget,seksi pula.Pantesan aja kamu bertingkah seperti patung batu bertahun-tahun ini,ternyata menunggu perempuan itu" kekeh orang disampingku keras.
" Jaga mulutmu Andrew!" bentakku kesal. Tak suka caranya menyebut wanitaku."Nagita berbeda dari perempuan-perempuan di luar sana yang pernah kamu temui" kataku ketus. Rahangku mengeras. Tanganku mencengkram pinggiran besi berpelitur terlalu keras hingga buku-buku jariku memutih.
"Yah, tentu aja dia berbeda. Dia kan wanita pilihanmu. Woman Contramande. Atau lebih tepatnya William Contramande wife. Is that right?" Andrew Abraham sedang menggodaku. Dia memang seorang pelawak dan hobinya mengerjaiku.
Aku menoleh dan menatap sahabat baikku itu tajam. “Jangan pernah menyentuhnya, dia milikku. Jika itu sampai terjadi, hanya Tuhan yang tahu apa yang bisa kulakukan terhadapmu" ancamku sungguh-sungguh. Lalu aku beranjak meninggalkannya.
Raut muka Andrew berubah serius. " Seriously, I am the last friend you ever had" pekiknya setengah jengkel.
Mengacuhkan teriakannya, aku terus berjalan turun hingga bertemu wanita berdarah campuran yang masih cantik meski usianya sudah setengah baya, memakai balutan kebaya merah.
“Kamu benar-benar mau melakukannya Willy?" tanya wanita itu kepadaku. Suaranya lembut, menenangkan.
" Ya" kataku mantab.
" Harus dengan cara ini?" tanya Budhe Rima.Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran.
" Hanya ini satu-satunya cara yang bisa memancingnya datang padaku" kataku. Sambil membetulkan pinggiran jas abu-abuku.
" Bagaimana kalau nantinya Gita malah membencimu?" tanya Budhe, masih tetap saja cemas.
" Budhe" kuletakkan kedua tanganku lembut di atas bahunya. "Aku adalah putra seorang Junas Contramande. Artinya apapun yang kulakukan harus sesuai adat darah penduluku"
" Tapi Ayahmu tidak memakai ancaman untuk mendapatkan Ibumu" dengus Budhe kesal.
" Ya. Dan itu berakhir dengan Papi menghajar selusin pemuda yang berusaha merebut Mami dari tangannya. Apa Budhe mau aku seperti itu" suaraku sedikit melembut.
Budhe Rima mendesah panjang. "Sesukamu sajalah Nak. Sebagai Orang Tua aku hanya bisa menasehatimu"
Mataku mengucapkan terima kasih atas kebaikannya. " Aku tahu Budhe, dan terima kasih untuk segalanya"
" Nagita memang malaikat yang dikirim Tuhan untuk seluruh penghuni Panti ini" jawab Budhe disertai mimik wajah berseri.
" Sayangnya, sekarang aku sudah tak mau membagi si malaikat dengan siapapun lagi" kataku. Membuat raut muka Budhe Rima kembali jengkel.
" Baiklah, kapan aku bisa memulainya?" tanya Budhe dengan wajah dilipat.
Kutatap lekat-lekat iris mata coklat milik Budhe, warna mata yang juga diturunkan kepada semua generasi Contramande. Tanpa berkedip, aku menjawab pertanyaan beliau.
" SEKARANG"