Kopi Hitam

1083 Words
Satu-satunya hari libur dalam seminggu. Anak lain biasanya suka jalan-jalan. Atau sekadar menghabiskan waktu senggang dengan keluarga. Atau juga mengisi liburan dengan menekuni hobi. Theo agaknya masuk dalam kategori yang terakhir. Tidur. Hobinya adalah tidur. Sudah jam 11 siang dan belum ada tanda-tanda ia akan bangun. Ia masih sibuk bergelung dengan bad cover yang sudah sukses menggantikan posisi guling. Rupanya guling malang itu tengah tergeletak di karpet. Pasti si guling hanya bisa pasrah saat tak sengaja ditendang Theo semalam. Theo sendiri memilih tetap asyik berpetualang dalam mimpinya. Ponsel Theo berada dalam mode diam. Namun sedari tadi bergetar di atas nakas. Meskipun getarannya cukup kuat, tapi suara getar itu tak cukup untuk membangunkan sang pemilik. Padahal suasana apartemen begitu sepi. Hanya ia seorang. Kamar Theo terkunci, dengan lampu yang masih mati semua. Juga jendela yang tertutup rapat. Suasana yang sempurna untuk tidur. Mungkin itu sebabnya tidur Theo menjadi sangat lelap. Hingga akhirnya sekitar jam dua siang, Theo merasa tidurnya sudah cukup. Dengan rambut yang berantakan ia perlahan bangun. Wajahnya terlihat kusut. Ia nampak sangat malas melanjutkan hidup. Satu benda pertama yang diraihnya. Ponsel. Ada 13 missed call dan 21 pesan, membuat Theo terbelalak. Kesadarannya segera terkumpul seratus persen dalam waktu singkat. Secara otomatis ia mengacak rambut. Dilihatnya daftar missed call sebagian besar dari Mama. Dan sebagian lain dari nomor tak dikenal. Setiap hari memang banyak nomor tak dikenal yang mengganggunya. Ya. Menurut Theo itu memang gangguan. Para gadis yang mengaku menyukainya, mengakuinya secara terlalu terus terang. Sampai-sampai membuatnya risih. Theo memutuskan untuk memeriksa SMS. Sebagian besar dari Mama juga. 'Mas, kenapa belum datang? Mama telepon kok nggak diangkat?' Theo membaca pesan sebelumnya. 'Mas Theo nggak lupa, kan?' Pesan atasnya lagi. 'Mas, kenapa belum datang? Acaranya udah mulai.' Dan rupanya memang benar Theo lupa, ia baru ingat. Hari ini adalah perayaan ulang tahun adik bungsunya. Sial. Tidak. Theo tak sejahat itu melupakan ulang tahun adiknya sendiri. Ia ingat kok kemarin, bahkan ia sudah memberikan kado tiga hari lalu. Ulangtahun Namira yang sebenarnya memang tiga hari lalu. Namun pesta baru dilaksanakan hari ini. Seketika Theo melompat dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. *** Mobil Theo terparkir dengan mulus. Ia turun sedikit tergesa. Ramai sekali. Di luar berderet jajaran mobil mewah milik teman-teman Mama dan Ayah. Langkahnya dipercepat beberapa kali lipat. Sampai di dalam rumah, Theo mencari-cari di mana keluarganya. Ia merasa lega setelah melihat gadis kecil berusia tujuh tahun yang memakai dress warna pink. Rambut kriting gantungnya membuatnya terlihat lucu sekaligus cantik. Apalagi ditambah poni rata dan juga bando yang berwarna senada dengan dress-nya. Begitu sampai di sebelah adiknya, Theo segera mengangkat Namira dalam gendongan. Ia mengecup pipi Namira, sementara yang bersangkutan justru cemberut maksimal begitu melihat sang kakak datang. "Masih ingat punya adik, Mas?" sarkasnya. Ya begitulah Namira. Masih kecil tapi sudah pandai menyindir. Theo hanya nyengir. "Mas ketiduran." "Sudah kuduga." Namira geleng-geleng. "Mas Theo, sudah datang?" Mama muncul membawa nampan berisi gelas-gelas orange juice. Di belakangnya ada banyak maid yang membantu. Kemudian mereka meletakkan gelas-gelas itu di meja untuk menggantikan gelas-gelas yang sudah kosong. Theo menurunkan Namira kemudian memeluk Mama. "Maaf Theo telat," ucapnya. "Padahal udah Mama ingatkan berkali-kali." Tersirat gurat kecewa di wajah Mama. "Iya, maaf. Theo khilaf." "Kamu ini selalu aja gitu. Sana, sapa Ayah dan kakak-kakakmu dulu! Mereka di ruang musik." Theo hanya mengangguk malas. Ia mengacak rambut Namira sekilas. Tersenyum puas melihat adik kecilnya marah-marah karena rambut ala barbie-nya jadi rusak. Theo menyapa beberapa tamu yang dilewatinya. Sampai di depan ruang musik, ia membuka pintu, dan segera masuk. Lantunan irama piano menyambut kedatangannya. Ketiga kakak laki-laki dan Ayah sedang berkumpul di depan sebuah piano. Kakak pertamanya Lintang sedang bermain dengan apik di sana. Theo bingung bagaimana harus memulai. Ia masih diam di ambang pintu. Mereka berempat belum menyadari kehadiran Theo karena terlalu khusyuk menikmati musik. Theo dengan canggung menyelinap di antara mereka. Menunjukkan dirinya secara nyata, dengan tiba-tiba berdiri di sebelah Dion. Tubuh tinggi menjulangnya segera menjadi pusat perhatian. "Astaga ... lo dateng juga akhirnya!" celetuk Kian, kakak termudanya. "Gue pikir lo bakal tidur sampai malem dan mustahil bakal dateng." Kali ini Dion sang kakak nomor tiga. Yang paling pendek diantara empat anak laki-laki keluarga ini. Theo hanya menggaruk tengkuknya, salah tingkah. "Udah makan? Makan dulu sana!" Kakak tertuanya kali ini, Lintang. "Iya, habis ini aku makan," jawab Theo akhirnya. Theo sebenarnya masih punya satu kakak lagi. Perempuan. Namanya Luna. Kakak tertua kedua setelah Lintang. Namun saat ini Luna sedang menuntut ilmu di Inggris. "Gimana kabar kamu? Kenapa nggak pernah pulang?" Ayah nampak sangat merindukannya. Ayah melangkah, memeluknya. Theo membalas pelukannya dengan canggung. "Uhm ... Theo banyak tugas, Yah." Theo pun menjawab dengan canggung. "Seharusnya Ayah nggak kasih kamu izin tinggal di apartemen sendiri seperti kakak-kakakmu. Meskipun tinggal di apartemen, tapi mereka sering pulang. Sedangkan kamu jarang sekali." Theo tersenyum kikuk. Antara menunjukkan penyesalan, serta bingung mau menjawab apa. "Ke depannya jangan gitu ya, Mas! Kalau hanya karena banyak tugas kamu jadi jarang pulang, lebih baik Ayah jual apartemen kamu atau nggak usah sekolah sekalian." Ancaman Ayah serius namun dikatakan dengan nada jenaka. Theo hanya mengangguk, seraya tersenyum tipis. "Makanlah dulu. Yang banyak. Kamu itu terlalu kurus, Mas." Ayah masih terus bicara padanya. "Iya ... jangan bikin malu keluarga! Nanti dikira lo nggak pernah dikasih makan," canda Kian. "Iya-iya gue makan," jawab Theo final. Theo berpamitan, perlahan melenggang pergi dari sana. Hanya itu, tanpa sepatah kata basa-basi. Theo sejujurnya juga ingin bicara lebih banyak. Sayangnya ia selalu bingung harus bicara apa. Setelah makan, Theo sebenarnya ingin menghampiri Namira. Ingin melepas rindu pada gadis kecil yang selalu nganeni itu. Namun saat ia mendekat, rupanya anak itu sedang berada dalam pangkuan Mama. Theo mengamati keduanya dari kejauhan. Ia tersenyum melihat interaksi Namira dengan Mama. Hingga rasanya ia tak mau mengganggu mereka. Theo memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Ia mengelilingi sepanjang lokasi pesta. Banyak anak kecil teman-teman Namira berlarian di sana sini. Membuat Theo merindukan masa kecilnya. Meskipun dulu ia tak terlalu akrab dengan teman-temannya, tapi ia bahagia. Karena ada Luna sang kakak, yang selalu menemaninya. Saat melewati ruang musik, Theo kembali tersenyum melihat Ayah dan ketiga kakaknya masih dengan kompak bermain musik. Mereka terlihat sangat asyik. Para tamu undangan menikmati hidangan yang ada. Bercengkerama dengan teman-teman, saudara, dan keluarga. Atau dengan pasangannya. Dengan senyum cerah menghiasi wajah mereka. Theo akhirnya menemukan tempat kosong. Tempat yang sepi dan sedikit jauh dari lokasi pesta. Theo menyesap kopi hitamnya di sana. Dan ia mulai mencari-cari sesuatu yang asyik dalam ponselnya, untuk menghabiskan waktu sampai pesta selesai. Dan ia bisa kembali ke apartemen. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD