Resmi Diperalat

1932 Words
Hari senin yang panjang terlewati sudah. Suasana sekolah ramai dengan ribuan murid yang bersamaan bubar dari kelas masing - masing. Sepanjang pelajaran tadi, Theo sudah menyusun beberapa rencana cemerlang. Chico yang sepertinya masih kesal dengan Theo, hanya meliriknya — tanpa menyapa — saat mereka bersimpangan di lorong menuju parkiran. Seperti biasa, Theo hanya cuek. Chico sedang berduaan dengan Yulia wanita pujaannya. Yulia yang kecantikannya sudah terkenal seantero sekolah. Begitu Theo melewati mereka, perhatian Yulia seketika teralih padanya. Gadis itu tak mendengarkan lagi apa pun yang dikatakan Chico. Chico mengernyit. Heran dengan perubahan sikap Yulia yang begitu mendadak. Baru saja Yulia sangat ramah padanya, tapi kenapa tiba - tiba begini? Ia kemudian mengikuti arah pandangan Yulia. Dan ia tahu bahwa Yulia tengah menatap Theo tanpa berkedip. Meski Theo sudah berada jauh di sana. "Yulia!" serunya pelan seraya mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Yulia. Gadis itu akhirnya tersadar dan kembali ingat bahwa ia sedang bercengkerama dengan Chico tadi. "Eh ... lo bilang apa tadi?" tanyanya dengan tampang kebingungan. Chico kesal. Hatinya panas. Apa yang membuat perhatian Yulia seketika teralih pada Theo dengan mudahnya? Ia tidak menyukai Theo, kan? "Gue denger lo temenan sama dia, ya?" tanya Yulia antusias. Senyum di wajahnya terlihat berbeda. Lebih berbinar dan cerah. "I - iya." Chico sampai tergagap. "Tapi dia dingin banget sama gue." "Oh ya? Padahal berita persahabatan kalian selalu jadi topik terhangat di kelas gue. Di kelas - kelas lain juga." Yulia tidak bicara sebanyak ini tadi. Dan hanya karena Theo lewat, mendadak ia punya banyak bahan pembicaraan begini. Bahkan ia menambah improvisasi di sana sini. Chico hanya bisa menahan sendiri rasa kesal dan dongkolnya. *** I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa *** Theo belum pernah sesemangat ini pulang ke rumah. Ia masih memakai seragam lengkap, dan sedikit terburu - buru. Terlihat sekali kalau suasana hatinya sedang baik. Hari senin, hari yang sibuk. Baik Ayah ataupun Mama belum ada yang pulang. Hanya ada maid dan juga babysitter yang menjaga Namira. Saat datang, Theo segera disambut oleh beberapa maid. Salah satunya menawarkan diri untuk membawakan tas Theo, namun ia menolak. "Nami mana?" tanyanya. "Nona sedang berada di ruang belajar. Apa perlu kami panggilkan?" "Nggak usah. Biar saya yang ke sana." Theo tersenyum terus. Membuat si maid mengernyit heran karena sang tuan muda tak seperti biasanya. Well, bukan berarti Theo biasanya sombong. Hanya saja semua juga tahu bagaimana pendiamnya anak ini. Dan juga jarang sekali bertingkah ceria seperti ini. Tapi mereka ikut senang jika Theo memang sedang se - happy itu sekarang. Ketika Theo membuka ruang belajar Namira, anak itu sedang asyik menyusun lego. Ia terlihat serius menyontoh pola yang disediakan pada kemasan legonya. Theo tertawa geli kala melihat aksi emosi bibir Namira yang mengikuti setiap gerakan menyusunnya. Membuatnya semakin terlihat menggemaskan. "Lho, Mas Theo? Tumben!" kagetnya begitu melihat Theo. "Mau main sama Mas?" tanya Theo to the point. "Main? Ke mana?" "Main ke taman. Khusus buat anak - anak, lho. Nami pasti suka." Namira menelisik setiap inci wajah Theo yang kini sedang berlutut di hadapannya. Ada apa dengan Theo hari ini? Apa ia baru saja mendapat hidayah dari Yang Maha Kuasa? Tak ingin membuat kakak pendiam kecewa, ia pun segera menyetujui ajakannya. Jarang - jarang kan Theo seperti ini. Rupanya Namira terlalu polos. Dirinya tidak pernah menyangka, bahwa mulai hari ini ia resmi diperalat kakaknya . Sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Theo melarang para maid atau baby sitter, atau siapa pun untuk ikut bersama mereka. Bila mereka ikut, rencana yang sudah disusun Theo akan sia - sia belaka. Karena tentu saja keberadaan mereka akan mencuri banyak perhatian, dan yang pasti akan membuat Alila merasa tak nyaman.   *** I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa *** Theo menggandeng jemari mungil Namira, melewati jajaran paving yang ditata lurus di antara luasnya rerumputan di sepanjang taman. Mereka menjadi pusat perhatian. Theo yang rupawan, menggandeng anak secantik Namira. Menciptakan sensasi menyenangkan tersendiri bagi siapa pun yang melihat. "Aku mau naik bianglala." Namira berhenti, menunjuk bianglala yang terlihat paling mencolok di antara permainan lain. "Mas nggak janji ya," jawab Theo. Namira mendelik. Bahkan Theo mengatakan kalimat itu dengan begitu enteng. Bukannya tadi Theo sendiri yang mengajaknya jalan - jalan? Lalu kenapa tiba - tiba jadi begini? "Ngajak aku jalan - jalan tapi jawabannya gitu. Lalu tujuan Mas Theo ngajak Nami ke sini apa?" Namira sungguh kesal. Theo cuek, tak menjawab. Seperti biasa ia akhirnya berhenti di tempat biasa. Di area bermain anak - anak balita. Alila ada di sana. Menunggui Dio dengan senyuman indahnya. Namira heran melihat kakaknya yang mendadak tersenyum sendiri seperti orang gila. Ia mengikuti arah pandang kakaknya. Oh, ternyata ada seorang wanita berambut panjang, memakai mini dress berwarna biru tua. Pertanyaan Namira, siapakah wanita itu? Apa gerangan yang membuat kakaknya terlihat begitu senang bertemu dengannya? "Itu, main aja di sana, Dek!" titah Theo. "Mas Theo bercanda?" Namira tak habis pikir. "Itu playground untuk anak balita. Mas nggak bisa baca, ya?" Adik Theo itu protes besar - besaran. Ia sampai menunjuk - nunjuk papan petunjuk bertuliskan 0 - 5 tahun di atas sana. "Udah main aja! Nggak akan ada yang tahu kalo kamu udah tujuh tahun. Nami, kan, pendek!" Mendengar ejekan itu keluar dari mulut Theo, Namira segera mengibaskan genggaman Theo dari jemarinya. Namira paling tak suka dikatai pendek. Ia tidak pendek. Ia hanya belum tumbuh terlalu tinggi. Kelak ia juga akan tumbuh tinggi seperti Mama, atau juga seperti Luna. Dan menjadi secantik mereka juga. "Dasar nyebelin!" ucap Namira final, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Theo. Lebih baik ia bersenang - senang di area bermain balita ini, dari pada terus - terusan bersama dengan manusia menyebalkan seperti Theo. Namira menengok kanan kiri, mencari permainan yang sesuai seleranya. Rupanya Namira memilih labirin kecil sederhana. Dulu ia sering bermain labirin seperti ini. Setelah lama tak main rasanya rindu juga. Labirin ini terdiri dari beberapa pintu masuk, namun hanya ada satu pintu keluar. Di dalamnya terdapat beberapa tantangan kecil yang akan menuntun mereka menemukan jalan keluar. Namira masuk melalui salah satu pintu, rupanya tantangan di sini adalah menyelesaikan puzzle sederhana secepat mungkin. Puzzle itu nantinya akan diserahkan pada penjaga pintu keluar. Dan siapa yang cepat akan mendapatkan hadiah. Namira memilih salah satu puzzle bergambarkan Anna dan Elsa. Dan selanjutnya ia mulai menata satu per satu potongan gambar. Ia mengerjakannya dengan konsentrasi penuh. Tak sampai semenit, puzzle itu sudah membentuk gambar sempurna. Namira beranjak dan hendak berlari menuju pintu keluar. Namun perhatiannya teralih. Ia melihat seorang bocah lelaki yang duduk di pojokan labirin. Sepertinya ia masih sangat kecil. Dan ia sedang berusaha menata puzzle - nya. Karena rasa penasaran sekaligus kasihan, Namira menghampirinya. Puzzle yang sedang ditata bocah itu bergambar Pororo. Namira terkikik karena ternyata anak itu terbalik menata salah satu puzzle - nya. "Ini seharusnya di sini. Bukan di sini." Namira mencomot bagian yang salah, lalu membenarkan posisinya. Merasa terusik, si bocah lelaki segera menatap empunya tangan pengganggu itu. Namun entah hilang ke mana rasa marahnya setelah melihat pemilik tangan itu. Anak sekecil itu belum tahu devinisi cantik. Ia hanya merasa begitu senang memandang seseorang yang sedang membantunya menata puzzle. Hingga ia tak bisa mengalihkan pandangan darinya. "Selesai. Ayo keluar bareng!" ajak namira. Tanpa meminta persetujuan, Namira menggandeng tangan bocah itu. Mereka sangat senang ketika penjaga pintu keluar memberikan hadiah permen lollipop. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka segera keluar dari sana.   *** I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa *** Theo sudah menunggu di balik pintu keluar. Ia cukup terkejut melihat Namira keluar dengan menggandeng tangan ... Dio? Dio anaknya Alila! Tuhan rupanya memang sedang berpihak padanya. Theo ingin sekali membuat pertemuannya kembali dengan Tante Ali ini sealami mungkin. Dan nyatanya Tuhan mempermulus jalannya dengan mempertemukan adiknya dan anak tante Ali di dalam labirin yang sama. Sungguh beruntung. "Theo!" seru seseorang dari belakang. Theo tahu itu suara siapa. Ia kini tengah merasakan sensasi menyenangkan berlebih atas panggilan itu. "Ah ... Nona!" Theo berusaha bersikap senatural mungkin. "Kita ketemu lagi!" seru Alila. Ia tak tahu bahwa Theo sedang berjingkrak senang dalam hatinya. Ia tak tahu bahwa Theo memang sengaja menampakkan diri, supaya mereka bertemu dan bisa bercengkrama lagi. "Apa kabar, Nona?" tanya Theo sok akrab. Theo meraih jemari adiknya, menuntun Namira untuk berdiri di sebelahnya. Rupanya Dio ikut di belakang Namira. Bocah itu tak mau melepaskan gandengan tangan Namira. "Ah ... sayang kamu lagi gandeng tangan siapa ini?" Bukannya menjawab pertanyaan Theo, Alila justru berjongkok di hadapan Dio. Theo diam seketika. Malu. Tengsin. Apa Tante Ali - nya baru saja mengabaikan dirinya? "Tante, anak ini lucu banget. Dari tadi dia nggak mau lepas dari gandenganku!" ucap Namira pada Alila. "Wah, pasti Dio suka banget sama kamu, karena kamu cantik." Alila mengelus rambut keriting gantung Namira. "Ah, terima kasih, Tante." Namira tersipu - sipu. "Nama tante siapa?" "Panggil saja Tante Ali!" seru Alila. Theo mendelik. Yang benar saja! Itu adalah nama kesayangan yang diberikan Theo khusus untuk Alila. Tapi kenapa justru Namira yang kebagian memanggilnya Tante Ali duluan? Tapi di balik rasa kesalnya, Theo juga merasa senang. Bukan kebetulan bahwa ternyata Alila menyebut dirinya sendiri Tante Ali, bukan? Apakah ini semacam chemistry? Atau semacam telepati antar calon jodoh? Ah ... anggap saja begitu! "Dio, kamu mau naik bianglala?" tanya Namira menggebu. Rupanya adik Theo itu pintar memanfaatkan suasana. Sekilas ia melirik Theo. Theo sedang memasang wajah ketus padanya. Namira membalas dengan menjulurkan lidah. "Bianglala? Yang mana?" tanya Dio. Theo cukup takjub mendengar suara bocah laki - laki itu untuk pertama kalinya. Ternyata ia sudah bisa bicara dengan baik dan lancar. "Yang itu. Lihat, lah!" Mata bulat Dio semakin membesar ketika melihat bianglala yang ditunjuk Namira. Bukan kah wahana itu yang sudah lama ingin ia naiki? Hanya saja ia malas bilang pada mommy - nya. Dio segera mengangguk setuju. Alila ikut memandang biang lala itu. "Tapi antriannya panjang sekali, Sayang." Namira dan Dio saling berpandangan. Terlihat bingung. Mereka juga heran dengan antrean yang panjang sekali, dari ujung sampai ke ujung lagi. "Ah ..." Suara Theo. "Biar aku aja yang antre. Kalian tunggu di sini ya." "Theo, beneran nggak apa - apa? Itu panjang banget, lho!" Alila nampak tak enak. "Nggak apa - apa, Nona. Tunggu di sini, ya!" Theo memamerkan senyum terbaiknya. Alila akhirnya mengangguk setuju. Ia segera menuntun Namira dan Dio untuk menunggu di tempat yang teduh. Berbeda sekali dengan Theo. Ia dongkol sekali. Ia kalah telak dari Namira hari ini. Pasti adiknya itu sedang menertawainya dalam hati sekarang. Ah, tapi tak apalah. Berkat Namira, Theo jadi mendapat kesempatan untuk meraih simpati Alila. Tentu saja dengan melakukan modus seperti ini. Theo jadi bersyukur sudah mengajak Namira. Adiknya itu memang bisa diandalkan. *** Setelah sekitar dua jam mengantre, akhirnya mereka berempat sudah berada dalam salah satu tabung bianglala. Namira duduk bersama Theo. Dan Dio bersama mommy - nya. Namira dan Dio terlihat sedikit tegang ketika bianglala mulai bergerak naik. Namun rasa tegang itu segera digantikan oleh pekikan bahagia. Mereka tertawa bersama. "Theo, terima kasih, ya." "Sama - sama, Nona." Untuk beberapa saat mereka saling tersenyum satu sama lain. Dio dan Namira sibuk menunjuk pemandangan yang terlihat menakjubkan dari atas sini. Sepanjang luasnya taman ini bisa terlihat. Namira sesekali bertanya pada Theo bila ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Theo pun menjawabnya dengan baik. Theo mengeluarkan ponselnya. "Selfie?" tanyanya sedikit ragu. Namun semua menanggapi dengan antusias. Theo tersenyum lega. "Merapat! Merapat!" Mereka otomatis mendekat. Dan sebuah jepretan apik berhasil diambil. Mereka lanjut menikmati asyiknya wahana ini. Theo menggenggam erat ponselnya. Seakan ia takut bila ponsel itu akan jatuh. Atau bisa saja ponselnya akan hilang bila ia letakkan di tas. Ia tak ingin kehilangan kenangan pertama yang ia ambil barusan. Foto itu terlalu berharga.   *** I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa *** -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD