TIGA

1204 Words
Tanpa orang lain tahu, kecuali Boy dan orang tuanya, Arga sebenarnya mempunyai kebiasaan yang cukup tidak lazim bagi seorang CEO karena biasanya mereka selalu menjaga makanan yang hendak mereka makan. Malahan bayak CEO yang menghindari yang namanya camilan karena mereka berpikir itu tidaklah sehat untuk tubuhnya, Tapi, berbeda dengan Arga. Dia suka sekali dengan yang namanya camilan yang selalu menemaninya ketika sedang bekerja. Mau itu kentang goreng, singkong koreng, sampai ada juga makanan desa yang sungguh dia suka. Namanya rengginang, makan desa yang selalu dia minta bawakan pada pembantunya. Jadi, Boy sang asisten selalu memastikan atau kadang suka bertanya terlebih dahulu pada sang Bos untuk memastikan camilan apa yang dia inginkan. Arga termenung, menyandarkan kepala di kursi. Dia kembali teringat apa yang Mamahnya katakan kemarin malam di rumah besar, atau rumah orang tuanya, karena saat ini, Arga sudah mempunyai rumah sendiri. “Ga, kapan kamu akan meresmikan hubunganmu dengan Tika? Mamah sudah pusing, terus saja di tanya oleh mamahnya di acara arisan.” Keluh Mamah pada saat mereka tengah menonton TV sambil bercengkerama antar keluarga. Arga menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. “Mamahkan tahu, Arga tidak punya hubungan apa-apa dengan dia. Malahan Arga tidak punya perasaan apa-apa selain perasaan seorang kakak pada adiknya.” Ucap Arga sambil melihat siaran TV yang tidak dia sukai. Namun, demi menghindari pertanyaan sang Mamah dia mencoba untuk fokus pada layar TV di depannya. Klik! TV mati seketika. “Jangan mengalihkan perhatian. Mamah tahu kamu tidak suka acara itu.” Ucap sang Mamah sambil menghembuskan nafas. “Mamah itu suka kesal, kadang ingin sekali memaki orang, tapi itu tidak mungkin. Kadang mamahnya itu selalu sengaja bertanya ketika kami tengah kumpul bareng.” Mamah Nataly duduk di samping sang anak Bagi orang lain Arga memang CEO yang galak, tegas dan sombong. Tapi bagi orang tua, terutama Mamahnya, Arga tetaplah anak kecil yang masih harus dia perhatikan. Makanya ketika Arga merajuk atau mengalihkan pembicaraan karena dia tidak suka, sang Mamah pasti melakukan pelukan atau mengusap kepala sang CEO tampan. Walau sering di tolak. “Lalu, kenapa kamu selalu jalan beriringan dengan dia ,Gaaa. Setidaknya, kalau kamu tidak suka jelaskan pada Tika kalau kamu tidak suka padanya. Mamah itu heran tahu tidak, katanya tidak suka, tapi yang Mamah dengar kalian suka makan siang bareng, menonton dan yang lainnya.” Ucap sang Mamah sambil menatap Arga dan tersenyum. “Arga tidak mungkin menolaknya Mam, Mamah-kan tahu kalau Arga tidak mungkin menyakiti hati wanita. Karena itu yang selalu Mamah ajarkan pada Arga.” Ucap sang CEO sambil kembali fokus pada layar TV yang kembali dia nyalakan. “Pah, sebenarnya anak kita normalkan?” ucapan sang Mamah terdengar jelas oleh Arga. Papah menukikkan alis tanda tidak mengerti, “Maksud Mamah?” “Ya maksud Mamah, Arga masih suka wanitakan.” “Ya ampun Mam. Ucapan itu doa loh.” Ucap Arga yang langsung menatap sang Mamah tidak percaya dengan apa yang di katakannya. Papah yang mendengarkan hanya tersenyum sambil menaikkan kedua pundaknya tanda dia pun tidak tahu dengan jawaban yang istrinya minta. “Mamah hanya memastikan, Ga. Soalnya kamu itu sudah tua. Teman kamu saja sudah mau punya anak kedua. Ibunya yang bilang bukan mamah yang cari informasi, loh.” Jelas sang Mamah karena melihat Arga yang terlihat akan membantah. “Arga belum mau menikah, dan asal Mamah tahu, Arga masih ON ketika melihat wanita. Tapi tidak semua wanita membuat Arga ON.” Bug! Satu pukulan bantal kursi bersarang di punggungnya akibat ulah sang Mamah. “Kamu itu ya!” ucap sang Mamah dengan kesal mendengar apa yang anaknya katakan. “Apa, Arga hanya mengatakan apa yang ingin Mamah tahu.” Ucapnya tanpa tersenyum sedikit pun. Arga kembali sadar ketika ada ketukan pintu dan tidak lama Boy datang lagi dengan kantong camilan yang langsung dia simpan di lemari yang khusus untuk menyimpan berbagai macam camilan. “Maaf, Bos. Yang tadi belum lengkap. Di sana tadi kosong.” Arga hanya mengangguk. Setelah Boy keluar Arga kembali pada pekerjaannya sambil di temani camilan kesukaan. Di lain tempat, setelah pulang dari bekerja. Duduk dua orang wanita yang tengah makan semangkuk mie kuah yang di atasnya bertaburan bawang goreng kesukaan salah satunya. “Ris, kamu tega banget! Kamu-kan tahu, aku itu tidak suka dengan yang namanya bawang goreng.” Keluh Zanna yang tengah menumpukan dagu di sebelah tangan yang bertumpu pada meja, dengan semangkuk mie di depan. “Ini enak banget loh, Na. Kamu coba dulu. Lihat ini!” ucap Riska mengunyah bawang goreng layaknya kerupuk. Risak itu sahabat Zanna yang selalu setia menemani Zanna ke mana pun pergi. Dia pun sahabat satu kontrakan Zanna juga satu pekerjaan. Pokonya sahabat dimana-mana. “Ewh....” ucap Zanna sambil terlihat jijik karena dia memang benar-benar tidak suka dengan yang namanya bawang goreng. Walaupun kata orang lain itu sangat enak. “Aku benar tidak mau, Ris. Jangankan memakannya, melihatnya pun cukup membuat perutku beraksi ingin__ muppphh.” mulut Zanna langsung penuh dengan bawang goreng yang Riska suapi. Zanna melotot dan tidak terlalu lama, dia langsung berlari ke kamar mandi. Hoeeek ... hoeeek ...hoeeek ... Zanna memuntahkan seluruh bawang goreng bersama makanan yang tadi siang dia makan. Ini sungguh membuat dia merasa capek dan lemas. Riska sang sahabat hanya tertawa, bukannya menolong. Dia tidak menyangka kalau Zanna sebegitu tidak sukanya dengan bawang goreng, sampai muntah sedemikian, Padahal bawang goreng itu sanggatlah enak, itulah yang Riska rasakan. “Kamu tega banget, Ris.” Keluh Zanna sambil merebahkan diri di atas karpet yang menjadi alas kontrakan mereka. Zanna benar-benar tersiksa. Makanya, dia kadang menolak ajakan orang lain untuk makan bareng karena kadang ini terjadi dengan tidak bisa dia kontrol. “Hahaha. Maaf, maaf. Aku kira kamu tidak separah itu, Na.” Riska membantu sahabatnya dengan cara mengambilkan obat. “Oles dulu perut dan hidungmu dengan ini, supaya merasa enak dan tidak mual lagi.” Riska memberikan obat usap dan kembali pada mie yang tadi sempat terlupakan. “Na, miemu sudah mau dingin ini.” Ucap Riska sambil melihat Zanna yang masih tertidur di atas karpet. “Buat kamu saja. Aku sudah tidak mau memakannya.” Zanna menarik baju dan menggosokkan obat yang Riska berikan. Jujur, Zanna ingin mengobati rasa tidak sukanya yang kadang membuat dia jadi merasa memalukan di depan orang lain. Tapi dia sudah melakukan berbagai macam cara dan hasilnya dia tetap seperti ini. Akhirnya dia menyerah dan menghindari dengan yang namanya bawang goreng. “Ris, aku takut susah cari suami. Karena semua ini.” Ucap Zanna sambil menatap langit-langit rumah kontrakan mereka. Peletak! Pukulan sendok andalan Riska di ke luarkan. “Kejauhan banget mengkhayalnya, Na.” Ucap Riska kembali memakan mie. “Suami itu, harus menerima apa yang jadi kekurangan juga kelebihan kita. Makanya, sebelum menikah kita harus tahu dulu bagaimana sikapnya pada kita. Jangan main terima begitu saja, kecuali kamu sudah mantap dan akan menerima semuanya dengan hati ikhlas dan lapang d**a. Baru kamu boleh mangap langsung caplok. Alias baru kenal langsung menikah.” Jelas Riska. “Lagian, kita itu pasti sudah punya pasangan jadi jangan cemas. Tinggal memilih saja.” Zanna menengok dan mengaangguk. Zanna merasa kagum dengan Riska karena dia begitu dewasa dari pada dia. Padahal umur mereka sama. Tapi sifat Riska jauh lebih dewasa dari Zanna. Makanya Zanna kadang suka di perlakukan bagai anak kecil oleh sahabatnya itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD