Episode 1 : Jangan tertawa

1308 Words
"Mampus!" umpat Nada. Nada buru-buru meraih handuk sebelum berlari ke kamar mandi. Hari ini Nada punya kuliah pagi dan jam menunjukkan kalau Nada sudah terlambat. Hanya butuh beberapa menit, Nada sudah siap dengan kemeja kasual dan celana berbahan katun.  Setelah siap, secepat kilat Nada mengambil tas berisi tumpukan buku dan berlari ke meja makan. "Tumben bangun pagi." sindir Johan. Nada tidak menjawab. Gadis itu sibuk memasukkan sandwich ke dalam mulutnya. "Pelan-pelan, Nad. Kau bisa tersedak." nasihat Santi. Nada hanya nyengir dan langsung meneguk habis jus buah kiwi miliknya. Melihat kelakuan Nada, Johan hanya bisa geleng-geleng kepala. Nada Pramudya Baskara, 22 tahun, saat ini tengah kuliah semester 6 jurusan Hubungan Internasional di salah satu kampus ternama di kota Jakarta. Nada memiliki perawakan tinggi sekitar 170 cm dengan wajah oval dan hidung yang cukup mancung. Kulit Nada yang putih bersih, sangat serasi dengan rambutnya yang hitam sebahu dan bergelombang. Jika dilihat sepintas, Nada mirip artis sinetron Arumi Bachsin.  "Sepertinya Nada sangat terburu-buru." ujar Santi setelah Nada tidak terlihat lagi. "Dita pasti sudah pergi saat Nada masih tidur. Huh anak itu benar-benar tidak bisa mengubah kebiasaan buruknya." omel Johan. "Tumben jam segini sudah sepi." ujar Adam yang baru muncul di meja makan. "Dita dan Nada sudah pergi kuliah." jawab Santi. "Ngomong-ngomong kapan kau akan membawa calon istri ke meja makan kita?" tanya Johan bercanda. "Belum ketemu yang cocok, Pa. Nanti juga datang sendiri." jawab Adam santai. "Jangan terlalu pemilih, Nak. Kami juga tidak menuntut wanita sempurna. Yang penting kau menyayanginya dan dia juga menyayangimu." ujar Santi. "Memangnya apa yang mesti ku pilih? Wanita dengan karir cemerlang? Atau wanita cantik bak bidadari? Siapapun itu yang penting cocok dan nyaman. Tapi sejauh ini belum ada wanita yang mampu membuatku nyaman." jelas Adam. "Sejak putus dari Fany, kau tidak pernah membawa wanita lain. Jangan-jangan kalian berencana balikan lagi?" tanya Johan kepo. Adam menggeleng. "Fany sudah mau menikah, Pa. Lagipula aku tidak berniat kembali pada wanita seperti itu." "Lah memangnya kenapa? Fany itu kelihatannya baik dan penyayang." bela Santi. "Sepertinya aku sudah terlambat. Kalau terus membahas soal jodoh, bisa-bisa pagi ini aku tidak jadi kerja." ujar Adam sembari mencium kedua tangan orang tuanya. "Itu karena kami sudah tidak sabar punya mantu." jawab Johan. Adam buru-buru pergi sebelum pembahasan soal jodoh semakin melebar. Adam Baskara, 27 tahun, berprofesi sebagai dokter umum di usianya yang masih terbilang muda. Selain berperawakan tinggi dengan rambut hitam tertata rapi, Adam memiliki mata sipit mirip artis korea. Kulitnya pun terbilang sangat putih untuk ukuran kulit orang Indonesia. Ayah kandung Adam berasal dari negara Korea Selatan. Ketampanan Adam tentulah warisan dari wajah tampan sang ayah. Sayangnya, beliau meninggal saat usia Adam dan Dita masih sangat kecil. *** Nada mengumpat saat mendapati pintu kelas sudah tertutup rapat. Bukan Nada saja, ada seseorang yang memiliki nasib sama seperti Nada. Sayangnya Nada tidak berhasil mengingat siapa laki-laki itu. Namanya Rama Aditya Mahesa, 23 tahun, anak konglomerat yang mempunyai reputasi buruk di kampus. Tahun kemarin Rama cuti kuliah karena mengalami kecelakaan fatal. "Sial! Pak Malik pasti marah jika tiba-tiba ada yang muncul saat beliau sedang menyampaikan materi." gerutu Nada. "Aku punya ide." ujar Rama. "Apa?" tanya Nada tidak sabar. Laki-laki itu menarik Nada ke bawah pepohonan dan dengan sengaja mengotori celana Nada menggunakan tanah. "Hei apa yang kau lakukan?!" tanya Nada marah. "Aku akan menggantinya setelah kita berhasil masuk ke kelas pak Malik. Jika hari ini absen, bisa-bisa aku harus mengulang tahun depan." ujar Rama. "Tapi ini agak..." "Jangan khawatir, cara ini pasti berhasil." ujar Rama yakin. Rama meminta Nada berjalan sedikit pincang dan memasang wajah meringis. Hanya dengan cara itu mereka bisa masuk tanpa mendapat amukan dari Malik. Nada akhirnya mengerti dan mengikuti perintah Rama. Begitu pintu terbuka, Rama menjelaskan kalau dia baru saja membantu Nada yang mengalami kecelakaan motor. Malik tampak khawatir dan segera meminta mereka duduk. Malik bahkan menyarankan agar Rama membawa Nada ke rumah sakit. Nada segera menolak dan berjanji akan ke rumah sakit setelah kuliah mereka selesai. Kuliah kembali dilanjutkan dengan tenang. Nada dan Rama saling lempar senyum karena berhasil mengelabuhi dosen mereka. Diam-diam Dita memperhatikan interaksi keduanya. Setelah kuliah selesai, Denias Bagus Patra, 23 tahun, sahabat baik Nada, segera menghampiri gadis itu. "Mana yang sakit? Kau tidak terluka parah kan?" tanya Deni khawatir. "Jangan-jangan kau kecelakaan karena sedang memikirkan hal m***m?" tanya Panji. "Apa kau sudah bosan hidup?" bentak Nada sembari memukul lengan Panji. "Astaga singa betina ini sangat kejam."  Panji memasang wajah memelas kemudian tertawa cekikikan. Denias dengan cepat menghentikan Nada yang nyaris memukul Panji menggunakan setumpuk buku. "Hei apa kita bisa kenalan? Aku juga harus mengganti..." Belum selesai Rama bicara, Denias dan Panji sudah berdiri di depan Nada. "Namanya Nada, jurusan Hubungan Internasional." jawab Panji dingin. "Kalian apa-apaan sih?" tanya Nada heran. "Kau diam saja disitu!" tegas Denias. Nada berdecak malas. Gadis itu dengan cuek memasukkan buku kuliah tanpa memperhatikan apa yang Denias dan Panji perbuat. "Aku juga ingin bertanya, sebenarnya kalian ini kenapa? Aku cuma berniat kenalan baik-baik dengan gadis itu." tunjuk Rama pada Nada. "Kau sudah tau namanya. Bukankah itu sudah cukup?" tanya Panji. Rama berdecak kesal. "Astaga, setahun tidak kuliah, ternyata kampus dipenuhi anak-anak tidak berguna seperti kalian." Denias sudah hendak memukul saat dengan santai Nada meminta mereka menyingkir. Tanpa basa-basi, Nada pergi begitu saja. Melihat hal tersebut, Denias dan Panji bergegas menyusul. "Dasar orang-orang konyol. Tapi gadis itu cukup menarik." gumam Rama. Sementara itu Panji dan Denias mengikuti Nada ke parkiran. Mereka masih penasaran soal kecelakaan motor yang tadi sengaja Nada dan Rama rekayasa. "Oke, stop. Kalian sudah bisa pergi sekarang. Aku tidak akan berhubungan dengan laki-laki tadi." ujar Nada kesal. "Bukan itu. Kami khawatir, Nad. Kau tidak terluka parah kan?" tanya Panji. Nada melongo, tapi tak lama kemudian Nada tertawa. Nada pikir Panji dan Denias mengikutinya karena Rama. "Astaga aku dan laki-laki tadi cuma acting. Karena sama-sama terlambat, kami sengaja membuat cerita konyol seperti itu." jelas Nada. Denias langsung menghembuskan napas lega. "Syukurlah." "Sudah? Cuma itu?" tanya Nada. "Soal laki-laki tadi, kami serius. Jangan punya hubungan apapun dengannya! Jika tidak, kau pasti kena skandal." tegas Panji. "Aku tau. Kalau kalian sudah memperingatkan, artinya laki-laki tadi bukan laki-laki baik-baik." ujar Nada. "Pokoknya jangan pernah. Dia lebih dari buruk." tambah Denias. Nada cuma bisa geleng-geleng kepala. Nada tau, jika kedua sahabatnya sudah bertindak demikian, maka besar kemungkinan orang yang tidak sengaja Nada temui tadi benar-benar laki-laki b******k. *** Meskipun rumahnya cukup jauh dari kampus, Nada terpaksa pulang untuk mengganti pakaian. Tak sengaja, Nada pulang berbarengan dengan Adam yang juga ingin mengambil sesuatu. Adam tampak mengerutkan kening melihat celana Nada yang kotor. Alih-alih bertanya, Adam hanya melirik sekilas dan mendahului Nada ke lantai atas. "Dasar batu!" maki Nada. Adam mendengar tapi memilih mengabaikan makian Nada. Nada buru-buru masuk kamar dan berganti pakaian. Saat sedang memasang celana, Adam tiba-tiba masuk. Nada nyaris berteriak jika Adam tidak buru-buru membelakanginya.  "Apa kakak tidak punya sopan santun?" tanya Nada jutek. Menyadari Nada sudah selesai mengganti celana, Adam berbalik dan menyerahkan kotak obat pada Nada. "Aku tidak yakin, tapi sepertinya kau butuh kotak itu." ujar Adam. "Memangnya apa yang kakak tau? Selain belajar dan bersikap masa bodoh, kakak tidak tau apapun." gerutu Nada. Adam sudah hendak keluar. Tapi, mendengar ucapan Nada, Adam kembali menghampiri gadis itu. "Aku mungkin tidak mengetahui apapun. Aku juga tidak ingin tau. Tapi, terkait sikapku yang masa bodoh, itu ku lakukan sesuai keinginanmu. Bukankah kau tidak suka jika aku memperlakukanmu seperti Dita? Kau akan menampik tanganku atau mendorong saat sedikit saja aku berusaha mendekatkan diri. Mungkin bagimu aku manusia batu, tapi aku terbiasa memperlakukan orang sebagaimana dia memperlakukanku." tegas Adam. Nada melongo. Ini kali pertama Nada mendengar Adam bicara panjang. Biasanya respon Adam cuma kata-kata singkat atau kata-kata tidak berguna. Adam justru lebih sering membiarkan ketimbang membalas. "Dia kenapa? Biasanya dia tidak pernah tersinggung. Jangan-jangan dia baru putus dari pacarnya." gumam Nada. Menyadari sebentar lagi kuliahnya akan segera dimulai, Nada buru-buru kembali ke kampus. To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD