CHAPTER 2

1323 Words
Selama di penerbangan, Elina tidak duduk di samping Stefan. Pria itu berkata kalau dia ingin sendiri dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Sebenarnya Elina bingung dengan sifat pria itu, terkadang Stefan memaksanya bercinta lalu kemudian hari membuangnya seperti saat ini. Jujur saja, Elina tidak begitu mencintai Stefan. Dia hanya mengikuti arahan dari pamannya untuk mau menikah dengan pria psikopat itu dan semoga saja ini bukan pertanda buruk untuknya. ... Alaina sampai di Swedia saat hari sudah gelap. Dia memutuskan untuk menginap di salah satu hotel terdekat karena sekarang dirinya benar-benar kelelahan. Kepergiannya sedikit terhalang karena sang ayah yang lagi-lagi bersikap menyebalkan dengan tidak menyuruhnya pergi kemana-mana. Betapa susahnya membujuk sang ayah hingga akhirnya ia mendapat izin. Alaina benci jika harus merengek seperti anak kecil demi mendapat izin dari ayahnya seperti tadi. "Nona, langsung ke penginapan?" Alaina menyandarkan punggungnya,"Ya, mungkin. Apa kau punya rekomendasi tempat, pak supir?" Pria tua dengan topi hitam itu tersenyum kecil,"Ada sebuah bar yang menyajikan minuman khas, Nona. Jika Anda berkenan, saya bisa mengantar Anda ke sana untuk menghilangkan lelah." Alaina awalnya ragu, tapi ia tergoda dengan tawaran si pria tadi. Lantas ia mengangguk dan taksi itu melaju ke arah yang berbeda dari yang tadi. Sesampainya, bisa ia lihat kalau tempat ini hanyalah sebuah bar kecil yang memang ramai oleh orang-orang. Mungkin untuk sebagian orang, tempat ini adalah surga. "Saya akan menunggu di sini, Nona. Anda bisa menikmati minuman tanpa terburu-buru." "Oh, aku sangat menghargai itu. Terima kasih," Alaina lekas turun dari taksi lalu berjalan ke pintu masuk. Suara musik yang cukup kuat membuat telinganya terasa sakit. Ternyata bukan Amerika saja yang memiliki hiburan seperti ini. Dia duduk di depan meja panjang yang diisi oleh beberapa pria dan wanita. Alaina melambaikan tangannya pada bartender yang sedang mengelap beberapa gelas. "Tolong, segelas rum." Si bartender itu mengangguk lalu mulai menyiapkan minuman yang dipesan oleh Alaina. Wanita itu memijat dahinya karena merasa pusing. Sungguh, perjalanan tadi benar-benar melelahkan dan apabila orangtuanya tahu dia pergi ke bar selarut ini, mereka pasti mengamuk. "Aku terkesan karena gadis seperti mu berani datang sendirian dan memesan minuman dengan kadar alkohol tinggi." Ia menoleh ke kiri, seorang pria dengan kemeja hitam duduk sambil menyesap brandy di tangannya. Wajahnya tidak bisa dilihat begitu jelas oleh Alaina karena keadaan yang tidak begitu diterangi oleh cahaya. "Maaf, apa Anda berbicara denganku?" "Ya." Alaina memutar bola matanya karena merasa percakapan ini bukan menjadi urusannya. Dia berucap terima kasih saat si bartender kembali dengan pesanannya. Perlahan, gadis itu menyesap minuman di gelasnya. Ia bukan tipe orang yang mudah mabuk seperti Aaron. Segelas alkohol bukan apa-apa baginya. "Kau punya teman?" "Maaf, Tuan. Jika kau berharap untuk meniduriku, maka tendang pikiran itu jauh-jauh. Aku di sini bukan untuk menjual kemaluan ku." Alaina mendengus malas. Pria di sampingnya itu mulai meliriknya dengan tatapan penuh nafsu. Rambut coklat panjangnya terlihat indah dengan keadaan kusut seperti itu dan Alaina punya bola mata yang memukau. Gadis bermata biru yang menarik. Tubuhnya juga seksi, terlihat seperti seorang Dewi kecantikan dengan balutan gaun selutut warna biru tua. "Aku ingin namamu." Alaina meliriknya penuh permusuhan,"Jangan kurang ajar! Aku bisa membuatmu menyesal karena berani menggangguku." Pria tadi terkekeh pelan, tapi entah kenapa ada aura menakutkan yang bisa Alaina rasakan dari cara pria itu tertawa. "Well... Aku tertarik dengan sifatmu, Nona. Aku-" Byurr! Alaina menumpahkan minumannya tepat ke depan wajah si pria kurang ajar ini. Ia tersenyum mengejek melihat laki-laki itu terdiam akibat perbuatannya. "Perlu kau ketahui, Tuan kurang ajar. Aku bisa mempermalukanmu lebih dari yang ini. Dasar perusak suasana!" Alaina mengeluarkan beberapa lembar dollar lalu menaruhnya kasar ke atas meja panjang itu lalu ia beranjak untuk pergi. "Tuan Stefan?! Apa kami perlu mengejar perempuan itu?" Stefan menaikkan telapak tangannya, memberi kode kalau tidak ada yang boleh mengejar wanita tadi. "Tidak perlu, aku pasti akan mendapatkannya sendiri." Seringai jahat itu kembali timbul, Stefan mengeluarkan sapu tangan dari dalam jasnya lalu mengelap wajahnya yang basah karena tumpahan alkohol. Bau tubuh perempuan tadi masih membekas di hidungnya. Alaina kembali ke dalam taksi dengan wajah yang memerah. Si supir taksi terlihat bingung, tapi dia tidak mengatakan apapun dan langsung menjalankan taksinya. Gadis itu menggeram tertahan karena merasa baru saja dilecehkan secara tidak langsung oleh pria m***m tadi. Apa-apaan pertanyaan itu? Seolah Alaina adalah gadis panggilan saja. "Nona, kita sudah sampai." Ia tersentak lalu melihat sebuah gedung bertingkat, ternyata memang sudah sampai. Alaina memberi bayaran lebih untuk si supir lalu dia mengeluarkan kopernya sebelum masuk ke dalam penginapan itu. "Atas nama Alaina Grissham," Ucapnya pada si resepsionis hotel. "Kamar nomor 20, Nona." "Terima kasih." Alaina menerima kunci pintu kamar lalu meminta seorang pelayan untuk membawakan kopernya ke kamar. Drtt! Drtt! Perempuan itu meraih ponsel dari dalam tas kecilnya saat merasakan nada panggilan. "Oh, ada apa Elina? Aku baru saja sampai di hotel." "Benarkah? Baguslah kalau begitu, kita bertemu besok siang, ya?" "Iya, sampai jumpa besok, El." Dimasukkannya kembali ponselnya ke dalam tas, Alaina masuk ke dalam lift karena ia benar-benar lelah hari ini. ... "Tuan, saya mendapat kabar kalau Tuan Viktor berada di Swedia." "Apa? Sejak kapan ayah angkatku kemari?" Pria dengan balutan pakaian hitam itu menunduk,"Sepertinya Tuan Viktor berada di sini sejak beberapa hari yang lalu." Sial, batinnya. Stefan mendengus malas saat mendengar kalau Viktor berada di negara yang sama saat ini. Entah kenapa, pria tua itu selalu saja mengikutinya di mana pun. "Pergilah, katakan pada Viktor kalau aku kemari bukan karena mengacau." "Ba-baik, Tuan Stefan." Orang itu lantas pergi dari hadapan Stefan. Siang ini dia akan pergi menemui desainer sekaligus teman lama Elina di sebuah restoran yang sudah dipesan khusus. "Stefan? Kita bisa pergi sekarang." Ajak Elina. "Kau datang duluan saja. Anak buahku akan menjagamu." "Kenapa tidak pergi bersama?" Stefan berdecak kesal,"Sekali lagi aku dengar kau membantah ucapan ku, akan ku lempar tubuhmu dari jendela." Elina menelan ludahnya susah payah lalu tanpa diberitahu sekali lagi, wanita itu pun dengan segera pergi dari hadapan Stefan. Pria itu mendengus malas, ia membuka laptopnya lalu mengetikkan sesuatu di sana. Stefan mendengar ada sebuah pengeboman pabrik di sudut kota Stockholm. Bukan pabrik biasa, itu adalah salah satu pabrik rahasia yang memproduksi senjata-senjata rakitan. Jangan sampai penyebab peledakan tempat itu karena Viktor. "Yo, Stefan. Kenapa, bung? Tumben kau menghubungi ku." Stefan menggeleng saat melihat tampilan sahabatnya ini. Ia sengaja menghubungi orang ini untuk mendapat informasi. "Ku dengar pabrik-" "Yap, benar. Meledak, seperti kembang api. Kau mau tahu ‘kan siapa pelakunya?" "Apa ada kaitannya denganku? Jangan katakan kalau ada hubungannya dengan orang-orang Rusia," Tanya Stefan. Ia benar-benar akan murka jika peledakan pabrik di Stockholm benar-benar didalangi oleh ayah angkatnya sendiri. "Kelompok Elang Putih, bung. Tenang saja, bukan merupakan orang-orang mu." Alis Stefan menyatu dalam. Ia memberi tatapan tak percaya pada temannya melalui layar laptop itu. "Kau serius? Orang kulit hitam itu?" "Yang aku dengar, tetua Elang Putih kalah taruhan dengan tetua kami. Mereka membobol sistem pertahanan di Stockholm lalu merusak pabrik kami. Bukan hanya itu, Stefan. Elang Putih juga kalah taruhan dengan kelompok kalian. Yang mana artinya-" "Mereka mengincar ku." "Tepat sekali, temanku. Aku sebenarnya ingin memberitahu sejak kemarin, tapi aku tak diberi akses oleh Deborah. Maafkan aku, bung." Rahang Stefan kembali menegang. Ternyata memang benar, Viktor membuat kesalahan dengan memilih untuk mengibarkan bendera peperangan pada orang Nigeria itu. "Oliver, di mana aku bisa bertemu dengan anggota Elang Putih?" Mata Oliver melebar ngeri saat mendengar pertanyaan Stefan,"Gila! Kau mau cari mati?!" "Aku menduga kalau kalian menangkap setidaknya satu orang?" Oliver menghela napasnya lalu mengangguk. Tidak mudah untuk menyimpan rahasia di depan Stefan. "Datanglah ke markas ku. Kita bicara di sana." "Aku akan segera ke sana." Stefan lantas memutus sambungan itu. Dia menutup laptopnya lalu mengeluarkan ponsel. Ia dengan segera menghubungi Elina untuk mengabarkan bahwa dirinya mungkin tidak dapat bergabung untuk menemani Elina berjumpa dengan desainer asal Kanada itu. Setelah itu, Stefan memilih untuk pergi dengan ditemani oleh beberapa bawahannya. Tujuannya yang pertama adalah pergi ke markas Oliver untuk menggali informasi lebih dalam tentang mengapa ada taruhan diantara kelompok Elang Putih dan organisasinya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD