Empat; Mengejutkan

3748 Words
Masa bodo jika Mas Delta mengira aku kekanakan atau akan mengadu yang tidak-tidak, bukan masalahku sama sekali. Bagusnya sih dia memang seperti itu, tidak peduli padaku dan membebaskanku menikmati kehidupan kuliah yang sesungguhnya tanpa membatasi dengan status kami yang sudah sah. Menempel saja pada Kak Kania, aku tak akan peduli lagi. Sepulang dari tempat kerja Bang Dion, aku tidak ke rumahku—dan Mas Delta. Aku ke rumah orang tuaku dengan tampilan yang sangat mencerminkan anak kuliahan, bukan putri mereka yang sudah bersuami. Aku juga tidak peduli jika Mas Delta menyusul ke sini. Paling hanya akal-akalannya bertemu Kak Kania. Cih, hafal sekali dengan modusnya. “Lah, Dek, kok lu udah balik jam segini? Delta bilang biasanya lu balik sore atau malem beberapa hari ini.” Dari balik laptop, bibirku komat-kamit menyinyir Mas Delta. Karang saja terus, mana pernah dia pulang saat aku belum di rumah. Pulang sorelah malamlah, semua itu hanya alibinya seolah benar-benar peduli padaku. Kalau aku ini istri yang jahat, aku sudah membeberkan semua faktanya di depan orang lain. “Hm, lagi males ngelas. Balik aja deh.” “Lu tuh jangan kayak gue, banyak bolosnya. Jadinya telat lulus deh.” “Gue gue, lu ya elu. Jangan sama-samain,” ketusku membalas. Enak saja, kesannya jadi mengungkit Mas Delta walau kenyataannya Kak Kania hanya menyeletuk. Kak Kania terdengar heran saat mengatakan, “Lu kenapa dah? Sensi amat. Lagi haid lu? Ck, gue udah lama nih gak dapet, kayak aneh aja gitu kagak ada PMS-nya.” Ya ya, ungkit saja sana tentang kehamilannya. Terlepas dari statusku yang memang tak akan hamil karena tidak pernah melakukannya, apa Kak Kania tidak terpikir perasaanku dari kacamatanya? Seorang wanita hamil yang membahas kehamilannya di depan wanita yang belum juga hamil. Jika aku memang berniat hamil, pasti aku akan sakit hati. Namun, ya, jujur saja aku sakit hati. Tiba-tiba mengingat bagaimana aku menyaksikan Kak Kania dulu memohon Mas Delta mengakui janinnya sebagai anaknya dan meminta Mas Delta menikahinya. Walau memang itu bukan anaknya, paling tidak Mas Delta ‘kan bisa mengakui saja demi rasa cintanya pada Kak Kania. Bukannya menyeretku dalam kisah cintanya yang tragis. Kak Kania dan Bang Dion salah karena mengkhianati Mas Delta, tetapi Mas Delta juga salah jika sekarang tetap menunjukkan perasaannya pada Kak Kania saat kakakku sudah menjadi istri orang. Kenapa dulu tidak mengaku saja ‘kan kalau begitu? “Mama sama Papa mana?” “Papa kerja, Mama belanja.” “Lu gak ikut belanja?” “Tadinya pengen, tapi Mama bilang mending gue di rumah aja. Udah sering keluar belakangan ini.” Tanpa bisa dicegah, aku langsung berpikir kalau dia keluar bersama suamiku. Mama cukup protektif untuk membiarkan Kak Kania keluar sendirian dan akan sedikit tenang jika ada yang menemaninya, tak terkecuali Mas Delta. Entah Mama terlalu polos atau terlalu percaya bahwa Mas Delta murni sebatas menemani Kak Kania sebagai ipar. Ada apa dengan keluargaku? Mereka tak bisa mengendus sama sekali apa yang terjadi pada anggota keluarga termuda mereka. “Eh, Ci, lu kenapa sensi banget sih kalau ketemu gue sama Delta?” MIKIR DONG LU KIRA—ahh, sabar, Kashi. Jangan menunjukkan emosi begitu, tidak akan berguna. Nantinya Kak Kania akan mengomeli Mas Delta, Mas Delta akan mengomeliku, dan ujung-ujungnya aku hanya bisa membatin. Sialan, senjata makan tuan. “Gak kenapa-napa. Gue emang lagi sensian aja, banyak tugas.” Ya, selalu, pada akhirnya aku akan mengatakan baik-baik saja. “Eh, bagi dong keripiknya.” “Inget kata Bang Dion, jangan kebanyakan makan pedes.” Memang benar, tetapi lebih daripada itu, aku enggan membagi pada Kak Kania semua yang kupunya. Sudah terlalu banyak. Jadi, aku menyembunyikan keripik pedas yang menjadi teman membuat tugasku dan menjauhkannya dari pandangan Kak Kania. “Pelit amat sih, dedek gue nih pengen. Ngeces, Ci, lo mau apa ponakan lu gedenya jadi ileran?” Masa bodo. Anak juga anak lu, gak ngaruh buat gue. Tentu saja aku masih punya hati—dan tidak memiliki keberanian—untuk mengatakannya. Kakakku selalu menjadi sosok yang tak akan pernah bisa kukalahkan di mataku. Dia tidak pintar, tetapi memiliki semua yang kuinginkan. Rasanya tidak adil melihat bagaimana dia mampu menguasai semua keinginanku, termasuk Mas Delta. “Si Delta gak ke sini? Tumben amat lu mampir gak disuruh Mama.” “Bisa gak sih lu diem-diem gak suka gue ke sini? Nyablak banget ngomongnya.” Kak Kania terbahak, memindahkan channel teve ke yang lain. Omong-omong, Kak Kania memang memiliki rumah sendiri, tetapi Mama ngotot ingin Kak Kania di sini sampai lahiran. Mama khawatir jika terjadi sesuatu kalau Kak Kania sendirian di rumahnya, tidak ada yang tahu. “Kak, tadi gue ketemu Bang Dion?” “Ngapain? Gabut amat lo ketemu laki gue.” Cih. Aku benci responsnya yang biasa-biasa, seolah secara tidak langsung menghakimi aku yang terlalu lebai menghadapi Mas Delta masih sering bergaul bersama kakak iparnya. “Lu kok biasa-biasa aja sih? Kagak marah?” “Ngapain kudu marah? Lo ‘kan udah biasa sama dia pas gue masih sama si Delta. Gak ada bedanya kalau sekarang juga.” “Terus kalau gue bilang gue suka sama Bang Dion, lu mau gimana?” Kak Kania menatapku sepenuhnya, keningnya berkerut. Aku terdiam selama beberapa saat, mengira-ngira apa yang akan kuterima dari kakakku. Tamparan? Cubitan? Atau Kak Kania akan mengadu pada Mas Delta? Tebakan-tebakan itu muncul begitu saja dalam waktu yang sangat singkat. Di luar dugaan, Kak Kania ‘hanya’ menepuk keras jidatku dan mengomel, “Cong, cong! Lu kalo mau ngibul yang masuk akal dikit napa sih? Pengen ngakak gue jadinya.” Tidak, itu tidak lucu sama sekali. Aku menanggapi tawa Kak Kania dengan raut wajah keras. “Apanya yang lucu? Emangnya lo udah gak ada rasa sama Mas Delta?” Dengan tawa yang masih terdengar, Kak Kania jatuhnya tidak menganggap serius semua perkataanku. “Kagak tau. Eh denger ya, kalo udah bunting kayak gini, gak penting cinta atau kagak, yang penting status.” Wah, aku tak percaya kalau cewek juga bisa sebrengsek ini. Sialnya, ini kakakku sendiri. “Kasian Bang Dion, dapet cewek gila kayak lo.” “Gila-gila gini gue laku, gak kayak lu.” Saat aku lengah, Kak Kania mengambil keripik pedas yang kusembunyikan. “Bagi sih, pelit amat lu. Gak inget apa semua baju gue ujung-ujungnya ada di mana? Di elu. Makanya lo harus baik ke gue.” Tergelak saja di atas kesedihanku, tak akan ada yang mau repot memarahi Kak Kania atau memastikan aku baik-baik saja. Semua ucapannya bagaikan pisau yang menancap tepat di dadaku. Ya, aku tidak laku. Mas Delta menikahiku hanya ingin balas dendam dan membuktikan kalau dia bisa tanpa Kak Kania. Bahwa pernikahan yang sudah mereka rencanakan akan tetap berjalan walau pengantinnya bukan Kak Kania. Bahwa aku ini hanya menjadi pelampiasannya saja. Ya, semua baju dan barang-barang Kak Kania akhirnya sampai padaku. Namun, apa artinya? Kak Kania memiliki yang baru, sementara aku yang bekas. Seharusnya itu bukan sesuatu yang perlu dibanggakan, Kak Kania seharusnya simpati padaku yang selalu mendapatkan barang bekas. Akan tetapi, sekali lagi, siapa yang peduli dengan perasaanku? “Kak, gue pengen ikut kamping pas liburan semesteran sama anak-anak yang lain. Lu tau gak apa aja yang harus dibawa?” “Lah, kenapa gak tanya si Delta? Dia ‘kan anak gunung.” Karena Mas Delta tak akan mau menjawab atau membantu. “Mas Delta sibuk, jadinya nyuruh gue tanya ke lo aja.” “Kalo lo mau, pake aja tenda punya gue. Masih bagus kok, gue cuma pake beberapa kali.” “Gak usah, lo kasih tau aja apa-apanya. Gue pengen beli sendiri. Siapa tau ‘kan gue jadi ketagihan kamping nantinya.” “Hm, tar gue kirimin ke lo.” Terdengar suara deru mobil dari luar. Tadinya aku pikir itu Mama yang baru pulang atau Bang Dion. Namun, coba tebak siapa dia? “Kashi, kenapa kamu pergi begitu saja?” Ya, Mas Delta. “Kania, kenapa kamu makan keripik pedas begini? Gimana kalau nanti kamu sakit perut?” omel Mas Delta mengambil keripik pedas itu dan berlalu ke dapur, kemudian kembali dengan segelas air. Lidah Kak Kania melet-melet kepedasan. Nah, mamam tuh pedes. “Abisnya gue kepengen banget liat Aci makannya kayak enak.” Bagus. Sebut saja namaku. Tanpa Kak Kania tahu, selalu dia penyebab Mas Delta marah padaku. Lihat saja, Mas Delta langsung memelototiku dengan raut wajahnya yang sangat tidak bersahabat. “Kashi, kenapa kamu memberi Kania keripik seperti ini? Apa kamu ingin dia diare dan sakit perut?” Salahkan saja si Kashi. Malas sekali aku membalasnya, jadi pura-pura tidak dengar saja. Biarkan orang-orang itu mengatakan apa saja, aku tidak ada urusannya sama sekali. “Kashi, kamu dengar tidak?!” “Del, udah. Gue yang maksa kok pengennya. Adek gue udah bilang jangan, gue yang rebut.” “Tapi kamu gak akan kepingin kalau Kashi gak bawa keripiknya.” “Kak, tadi di mana alat-alat kampingnya?” tanyaku berdiri, sama sekali tidak menatap suamiku. “Di bawah deket garasi. Katanya lo mau beli sendiri.” “Ntar aja kalau gue mau kamping lagi. Sekarang gue minjem aja punya lo.” Aku tahu Mas Delta mengatakan sesuatu tentang keputusanku yang tidak memberitahunya, tetapi aku tidak menetap dan mendengar. Aku langsung ke gudang di bawah, walau nyatanya aku tidak masuk untuk mencari. Aku hanya perlu udara untuk bernapas karena jika bersama mereka, rasanya pasokan udaraku menipis. Dadaku terasa terimpit sesuatu tak kasat mata. Tas, laptop, bahkan ponsel semuanya ada di dalam rumah. Namun, aku malah keluar lewat garasi setelah menemukan uang lima puluh ribu di kantong. Lumayan buat naik angkot, setidaknya aku tak akan bertemu suamiku lagi. *** Sebisa mungkin aku menghindari Mas Delta sejak kemarin, bahkan aku tidur di kamar lain. Sudah berkali-kali aku merasakan rasa sakit ini, tapi tetap tak akan terbiasa. Bagaimana lagi, aku hanya bisa menghindarinya, sulit untuk diakhiri. Walau tak ada kelas pagi, aku bangun dan siap lebih awal dari jam biasanya Mas Delta bangun. Harapannya sih aku pergi saat Mas Delta belum keluar, tapi siapa sangka jika Mas Delta sudah ada di meja makan saat aku hendak menuruni tangga. Mana sudah lihat lagi. Tidak mungkin aku putar balik, nanti dicap pengecut. “Bi, masak apa hari ini?” “Bibi gak ada.” Mendengar itu, aku tidak jadi duduk. Baru sadar tidak ada suara kompor atau berisik di dapur, sepi sekali. Hanya ada suara seruput kopi dari Mas Delta. “Bibi ke mana pagi-pagi?” “Bukannya salah satu tugas kamu sebagai istri adalah memasak?” Eh? Mas Delta kesurupan apa pagi-pagi sudah bahas hal yang tidak biasa seperti ini? “Terus bukannya salah satu tugas Mas Delta itu menyayangi istri, bukannya kakak ipar?” “Saya yang tanya lebih dulu.” “Aku gak mau jawab sebelum Mas jawab. Gimana dong?” Mas Delta menaruh cangkir kopi ke piringnya agak kasar sampai terdengar bunyi. Bacaan yang dibacanya tadi dilipat, kemudian ditaruh di meja. Oke, aku mencium bau-bau omelan pagi hari. “Ternyata kamu sangat tidak sopan ya kepada suami,” kata Mas Delta melirikku sinis dan menuduh. Ya, pokoknya semua lirikan jahat itu ada padanya. “Tolong deh, Mas. Aku gak mau ribut pagi-pagi, ada kelas pagi soalnya.” “Ya sudah, bukan saya yang memperpanjang. Sudah tugas kamu melayani saya. Sekarang, masakkan sesuatu.” “Emangnya Bibi pergi ke mana?” “Kenapa harus memakai pembantu jika saya punya istri?” Ya ampun, jika begini, aku lebih memilih Mas Delta yang irit bicara. Tidak apa-apa diabaikan dibanding diajak berdebat begini, Mas Delta bukan tipe orang yang mengalah untuk damai. Oh, kecuali jika lawannya Kak Kania. Padaku, dia adalah seseorang yang ambisius dan anti merasa kalah. Alhasil, runtuhlah semangat di pagi hari yang seharusnya dipersiapkan untuk kuliah ini. Suamiku malah dengan mudah merobohkannya. Tas yang tadinya sudah tergeletak manis di kursi aku ambil lagi dan sampirkan di bahu. “Terserah Mas deh maunya gimana. Yang jelas, aku udah telat, gak mungkin bisa masak. Ini aja kayaknya bakal kejebak macet.” “Kenapa kemarin kamu kabur dari rumahmu sendiri?” Haduh, kenapa harus bertanya lagi sih? ‘Kan jadinya ini kaki terpaksa berhenti. Mas Delta sepertinya mengerti kalau aku paling tidak bisa ditanya dan kabur begitu saja tanpa menjawab. “Hakku. Aku gak kabur, cuma ada urusan mendadak dan lupa buat balik ke dalem.” “Ada urusan mendadak sedangkan ponsel kamu ada di dalam rumah. Kamu mendapatkan pesannya melalui telepati?” Aku mendengkus keras, terpaksa berbalik untuk menunjukkan raut wajahku yang sangat tidak bersahabat. “Mau Mas itu sebenernya apa sih? Aku gak pernah ganggu Mas sama kakak, bahkan kemarin aku kasih kalian waktu berdua doang. Kurang apalagi aku ini, Mas? Mas ungkit tugas aku sebagai istri, apa kabar sama tugas Mas? Kenapa aku harus penuhi tugas aku sementara Mas gak ngelakuin satu pun?” Aku tidak peduli Mas Delta akan marah. Aku tidak peduli dia akan mengunciku di dalam gudang nanti. Masa bodo. Yang harus kupedulikan adalah diriku sendiri saat seseorang yang seharusnya melakukan itu malah sibuk dengan orang-orang masa lalunya. Untuk kali ini saja, biarkan nanti tetap menjadi nanti. Sekaranglah yang menjadi prioritas. Mas Delta belum bereaksi atas kemarahanku, kami hanya bersitatap. Jangan bayangkan sesuatu yang romantis seperti dalam drama Korea, kami lebih seperti Thanos dan The Avengers. Tajam dan saling melawan. “Ambil ponsel kamu di kamar. Nanti pulang saya jemput,” ujar Mas Delta pada akhirnya menyeruput kopi dan kembali tenggelam dalam bacaannya. Hah? Apa Mas Delta beneran kemasukan jin? Aneh sekali. Bukan Mas Delta yang selama ini aku kenal. *** “Gue perhatiin di kelas lo banyak ngelamunnya. Hayo, mikirin adegan kotor ya lo.” Aku berdecak sebal, melirik Lana penuh permusuhan. “Berisik banget deh lu. Gue sebarin hoaks ke semua gebetan lu mampus, gak ada lagi yang mau sama lo.” “Eh, lu mah kok mainnya gitu sih njir? Laki lo gak bakal ngaruh kalo gue sebarin aib lo. Apa gue kasih liat ke kakak lu aja kali ya?” “Coba aja, gue bilangin Bu Dwi kalau lo yang rusakin tatanan buku di perpus.” Lana membekap mulutku kuat sambil melirik sana-sini, kemudian memelototiku. “Anjir! Bisa kena denda gope kalau gitu. Janganlah nyet, kaulahh sahabat sejati aku.” Telapak tangan Lana bau parfum cewek. Entah siapa, tercium di hidungku. Aku mendorongnya hingga tersungkur ke belakang. “Makanya jangan macem-macem sama gue. Gue punya banyak stok aib yang gak bakal abis sampe kita lulus.” Jam kelasku sudah berakhir dan aku masih sanksi kalau Mas Delta betulan mau menjemput. Ya kalau sama Kak Kania sih, aku tidak akan terkejut. Anehnya lagi, mau apa? Mas Delta hanya menjemputku jika bersama Kak Kania, harus menghadiri sebuah acara di mana aku turut hadir, atau bertemu keluarga. Nah, aku tidak akan mau memilih dari semua alasan itu. Lebih baik Mas Delta tidak jadi menjemputku. Dan omong-omong, sudah sepuluh menit dan Mas Delta belum datang. Aku tidak bilang pada Lana dan beralibi kalau kita menunggu Ingkan dan David untuk membahas tentang kamping. Faktanya memang iya kalau Mas Delta tidak datang, kita memang perlu membahasnya. Soal tenda, mungkin Ingkan punya atau kami bisa patungan membeli. Atau kami bisa bergabung dengan tenda siapa saja yang bisa memuat kami berdua. Bukan jadi masalah, pasti akan ada banyak sekali mahasiswa yang ikut. “Eh, Ci, perkembangan rumah tangga lo masih diem di tempat?” “Ya terus emangnya harus ke mana? Ke Brazil?” “Yee si anjir. Gue serius. Emangnya lo mau selamanya kayak gitu, gak jelas?” Tentu saja tidak mau. Tidak akan ada perempuan mana pun yang mau menjalani rumah tanggaku. Sangat sukar dan entah apa yang bisa diharapkan. “Kagak tau deh. Gimana jalannya aja.” “Lo gak mau coba ngomong ke orang tua lo atau ke mertua log itu?” Tidak. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri jika dalam setahun hubungan kami tetap begini, aku akan mundur apa pun yang terjadi. Aku tidak mau lagi memikirkan Mas Delta atau kakakku, saat itu adalah waktu untuk memikirkan diriku sendiri. Sudah terlalu lama aku membiarkan takdir bermain-main. “Hm, tar deh kalau proses cerai udah tinggal pake materai.” “Lihatlah, si badut berusaha menghibur dirinya sendiri,” sindir Lana, dan itu memang benar. Aku badut. “Ini dua tuyul ngepet ke mana sih? Ke rumah Siska Kohl apa?” “Kayaknya mereka nyusup ke roketnya Elon Musk buat dikirim balik ke negeri asal. Mereka berdua ‘kan alien.” “Heh! Siapa yang lo bilang alien!?!” Ingkan tahu-tahu sudah ada di belakang Lana dan menggeplak kepalanya dengan sling bag. Aku dan David hanya bisa tertawa di atas ringisan Lana. “Anjir, sakit banget, cok! Lo titisan Hulk ya?” “Halk Hulk Halk Hulk, gigi lo tuh ijo.” Ingkan masih menggerutu, duduk di antara aku dan Lana. David duduk di kursi lain, menghadap kami. “Jadi gimana nih soal kamping?” tanya David. “Gue sih udah siap pake banget. Nih kunti dua gimana?” “Gue juga udah siap. Buat nyantet lu!” balasku pada Lana. “Tapi gak deh, gue belum tahu apa-apa aja yang harus dibawa dan gue gak jadi minjem tenda Kak Kania. Kan, lo punya atau kita patungan beli tenda?” “Gue coba cari dulu deh. Kalau H min tiga belum dapet, baru deh kita beli.” “Eh, kita belum daftar loh ke ketuplaknya. Gimana sih? Ntar tau-tau udah ditutup ‘kan gatot.” “Santai aja, beb, gue kenal kok sama yang bikin acara. Udah, lo siap-siap aja paku jangan sampe lepas dari kepala.” “Ya ‘kan lo—” Ucapanku terhenti karena dering telepon dari dalam tas. “Hayo, lo ditelepon lintah darat ya? Ngutang dari pinjol yang mana lu?” “Diem dulu, nyet. Ini mana lagi hapenya ahh?!” “Kalo ngedesah itu sama suami, bukan di sini. Punya suami tapi belum dicoba, lo tepos banget kali.” “Sialan lo.” Seketika aku merapatkan rahang saat melihat siapa penelepon yang tertera. Mas Delta. Terlintas ide untuk tidak mengangkatnya, tetapi suamiku sangat jarang menelepon kalau tidak ada yang penting. Jangan-jangan dia mau menyuruh sesuatu karena Bibi tidak ada di rumah? “Halo?” Ya, akhirnya aku mengangkatnya. [Ke parkiran. Jangan sibuk bergunjing dengan teman-temanmu.] Hanya itu, Mas Delta langsung menutup panggilannya. Refleks aku menyusuri setiap mobil yang bisa kulihat, tempat kami duduk memang bisa diakses langsung ke parkiran. Jadi, Mas Delta sudah sampai dari tadi? Kenapa baru telepon sekarang? Aku tidak bisa menemukan mobilnya di antara jejeran mobil mahal milik orang lain. Terpaksa aku menyandang kembali tasku dan pamit. “Temen-temen laknat, gue cabut dulu ya. Udah dijemput sama misua.” Ingkan membuat gerakan seolah dia ingin muntah. “Jijik banget. Jiahh, paling ujung-ujungnya date bareng sama kakak, tapinya lo yang jadi nyamuk.” “Asem emang lo! Dah ah gue cabut!” “Oy! Jangan lupa ya tugas besok Pak Robert dikumpulin!” Aku hanya mengacungkan ibu jari seraya menjauh pergi dari mereka. Malas sekali rasanya menelepon Mas Delta hanya untuk menanyakan di mana keberadaannya, dia sudah pasti bisa melihatku dari dalam mobilnya. Mungkin memang jenis mobil sepertinya tidak banyak, tetapi warnanya sangat pasaran. Merah. Bahkan dalam satu jajaran saja paling sedikit ada tiga mobil mewah. Setelah beberapa menit berdiri di tengah-tengah seperti anak kecil yang hilang, akhirnya ada satu mobil yang membunyikan klakson. Heh, dari tadi kek. Senang sekali kayaknya melihatku kesusahan. Ya, aku terkejut tidak ada Kak Kania di kursi depan atau belakang, bahkan tadinya aku mau langsung masuk ke pintu belakang. Namun, tidak jadi karena Mas Delta menurunkan jendela di pintu depan sehingga aku bisa melihat hanya ada suamiku di mobilnya. “Mau ke mana?” “Kamu akan tahu nanti.” Seharusnya aku tahu jika aku hanya membuang-buang waktu bertanya begitu. Akan tetapi, ya, tidak ada salahnya mencoba. Bukan salahku yang kaku, salah Mas Delta yang terlalu menutup diri. “Kenapa kamu tidak bilang kalau mau ikut kamping?” “Aku pikir Mas gak bakal peduli.” “Kamu butuh restuku.” “Kalau Mas ngelarang juga aku bakal tetep pergi. Aku gak pernah ikut kamping karena sebelumnya selalu dianggap masih kecil, sekarang Mas mau anggep aku anak kecil juga?” Entah ke mana ini, yang jelas bukan jalan pulang. Terserahlah, aku protes juga tidak akan didengar. Yang ada malah nanti diturunkan tengah jalan. Tidak, makasih. Lagi pula aku tidak harus selalu pergi. Kali ini aku akan melawan karena tidak ada kakakku. “Siapa yang bilang saya akan melarang?” “Loh? Terus Mas bakal ngizinin?” Tentu saja aku terkejut. Wah, aneh sekali seorang Delta membiarkan Kashi bersenang-senang tanpa terganggu sama sekali. “Siapa yang bilang saya mengizinkan?” Aish, zonk. Definisi menjatuhkan saat sudah melambung tinggi. Aku membuang muka ke jendela, memandang apa saja yang penting bukan wajah menyebalkannya. Duh, apa seharusnya aku melakukan kekerasan pada wajah tampannya biar tidak tampan lagi ya? Mobil parkir di depan sebuah toko perbelanjaan yang cukup besar. Aku tidak mau bertanya, tidak mau juga berharap apa-apa. Ucapan suamiku lebih berbahaya dari harimau liar. “Apa yang kamu tunggu? Turun. Jangan harap saya membukakan sabuk pengaman atau pintu.” Ya ampun, siapa juga yang mau berharap sama pangeran dingin kayak kamu, Mas. Makan hati yang ada, harapan palsu. Mas Delta tidak menungguku, langsung masuk dan berbaur dengan pelanggan yang lain. Agak sulit menemukannya karena banyaknya pelanggan. Untungnya, aku bisa menemukannya karena warna kemejanya abu-abu, cukup mudah terlihat di antara yang lainnya. “Tolong pilihkan dengan kualitas yang terbaik dan cukup besar. Jenisnya yang bisa tahan di medan yang sulit seperti di atas gunung.” Mas Delta bicara pada salah satu pekerja di toko itu, kemudian pegawai itu membawa turun beberapa barang dari rak yang cukup tinggi. Mulutku menganga. Mas Delta memilihkan tenda untukku? Ah, nanti ujung-ujungnya untuk Kak Kania. Jangan berharap, Kashi, jangan beri dia kesempatan untuk membuatmu sakit lagi. “Pilih mana yang kamu suka,” titah Mas Delta. “Aku gak tau kesukaan Kak Kania yang kayak gimana.” Mas Delta melirik tajam. “Saya bilang yang kamu suka. Kenapa kamu jadi mengatakan Kania?” Loh, ini beneran? Gulungan-gulungan berisi tenda itu bermacam ukuran dan warna, mungkin juga jenis. Aku tidak tahu sama sekali tentang ini, sangat awam. Aku hanya tahu tenda yang langsung jadi, yang dulu kupunya karena tidak diizinkan ikut kamping dengan kakakku. Mana tahu jika aslinya tenda harus dirakit begini. “Aku gak tahu. Pilihin aja yang bagus menurut Mas.” Suamiku berdecak, lalu mengatakan sesuatu pada pekerja itu. Jujur saja, aku cukup terkejut dengan sikapnya hari ini yang sangat berbeda. Ada apa? Apa kemarin Kak Kania mengatakan sesuatu yang membuat dinding esnya meluluh sementara? Atau ini hanya salah satu trik untuk mencapai keinginannya? Ingat, Kashi, apa pun yang terjadi, jangan berharap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD