Sudah genap seminggu Fathan menemani Meysha untuk chek up rutin pada dokter Karin. Alhamdulillah, masa pengobatan seminggu sudah ada sedikit banyaknya perubahan dari sikap Meysha, kekhawatiran kecemasan yang kerap datang tiba-tiba sudah mulai berangsur berkurang. Meysha juga lebih tenang dalam tidur, dan tidak lagi terlalu sering mengigau tentang orang tuanya.
Fathan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggang. Tubuh kekarnya masih di hiasi beberapa bulir air bekas mandinya. Dia tersenyum lembut ketika melihat Meysha masih tidur dengan nyenyak.
Perlahan Fathan menuju meja kecil di samping ranjang, pengharum terapi pengobatan Meysha diaktifkan. Dia memang selalu melakukan hal ini setiap pagi. Pengobatan Meysha di perhatikan dengan sangat baik.
Fathan duduk di samping Meysha. Cukup lama memandang wajah Meysha yang damai. Sungguh Fathan sangat mencintai Meysha.
Tiba-tiba Fathan merasa ada gejolak dari tubuhnya. Fathan beristighfar dengan segera. Dia harus mengendalikan diri atas istrinya sendiri.
Sudah berjalan 8 bulan usia pernikahannya dengan Meysha, mereka memang belum melakukan hubungan suami istri. Ini di sebabkan kondisi mental Meysha yang buruk. Dia takut, jika dia memaksa malah akan memperburuk kondisi mental Meysha.
Setelah merasa tenang, Fathan menghela napas perlahan. Sabar, sabar, sabarlah duhai hati, dadanya diusap-usap.
“Sayang,” Fathan membangunkan Meysha.
Meysha membuka mata perlahan, dia tersenyum pada Fathan yang ketika itu mengusap pipinya.
“Bangun sayang. Ayo kita shalat subuh bareng.” Kening sang istri di kecup.
“Abang sudah mandi?” Meysha duduk, rambut panjangnya di cepol. Fathan mengangguk menjawab pertanyaan Meysha.
Meysha terdiam. Dia tertegun melihat tubuh kekar suaminya. Pipinya memerah.
“Abang ke kantor kan hari ini. Aduh...” Keningnya ditepuk, “Sorry abang. Esha telat bangun.” Dengan cepat Meysha ingin turun dari ranjang, mau menyiapkan pakaian suaminya. Esha kamu ini kan, suami saja tidak di urus.
“Sayang mau kemana? Abang mengajak sayang shalat bukan minta disiapkan baju kerja.” Tubuh Meysha di tarik dalam pelukannya. Meysha semakin salah tingkah dibuatnya. Wajahnya tepat di d**a bidang Fathan. Aroma maskulin tubuh Fathan memenuhi rongga penciumannya.
“Abang, abang, kalau mau shalat, kenapa malah peluk-peluk Esha? Batal wudhu abang tahu.” jawab Meysha menutupi malunya.
Fathan tersengih. Sekarang baru sadar di sentuh? padahal sudah sedari tadi mereka sudah bersentuhan.
“Wudhu bisa di ulang. Lagian Adzan juga belum berkumandang. Abang mau manja-manja dulu sama sayang.”
“Ish.. abang, udah segede ini jangan banyak tingkah.” Meysha mengerucutkan bibirnya panjang. Tubuh Fathan di tolak dengan kuat. Lalu dia cepat berlari ke dalam kamar mandi. Jika di turuti, mungkin jantungnya akan melompat keluar.
“Abang tahu, sayang malu kan?” Sorak Fathan sambil tertawa memandang Meysha kucar-kacir berlari darinya.
“Esha, Esha.. cepat sembuh sayang.” gumam Fathan.
Meysha menatap pipinya yang memerah di depan cermin. Perlahan pipinya di pegang dengan kedua tangan. Walaupun malu, namun hatinya bahagia bukan main. Dia merasakan perubahan dalam dirinya.
Rasa gugup tadi adalah normal, bukan kecemasan atau ketakutan. Besar harapan Meysha jika dirinya akan sembuh. Dia tidak tega melihat Fathan yang terus menahan diri. Fathan sudah begitu bersabar terhadapnya.
“Abang, tunggu ya. Esha akan berusaha keras untuk segera sembuh. Lalu Esha akan segera tunaikan kewajiban Esha sebagai seorang istri.”
***
“Asslamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Kedua tangan diangkat, bibir mereka mulai melantun dzikir dan bermunajat dengan penuh syahdu. Air mata juga mengalir di pipi Fathan maupun Meysha. Hanya kepada Allah SWT lah mereka berserah diri.
Selesai shalat subuh dan berdoa, Meysha menyalami tangan Fathan. Fathan pun mengecup lembut kening Meysha. Senyum lembut dari bibir keduanya.
“Sayang, boleh abang sehari lagi tidak ke kantor?” rayu Fathan tiba-tiba.
“Ha, masih mau tambah hari? Tidak! Esha tidak izinkan. Please, Abang tepat janji. Kemaren minta waktu seminggu, sekarang mau tambah hari lagi.” protes Meysha.
“Sayang tidak senang kalau abang di samping sayang sepanjang hari?”
“Eee.. abang mulai lagi kan. Esha kan sudah bilang, bukan Esha tidak senang. Tapi, Esha juga tidak boleh terlalu manja sama abang. Nanti kalau Esha sudah kebiasaan dan tidak mau jauh dengan abang, bagaimana? Sanggup abang, jika Esha nempel terus dengan abang? Lagian kasihan dengan Viko yang terus-terusan sibuk mengurus semua urusan, abang.”
“Ok ok, kalau sayang maunya seperti itu. Sama Viko kasihan, sama abang tidak.”
“Kan kan, ngambek lagi.” pinggang Fathan di cubit.
“Aduh, aduh. Sakit sayang..”
“Rasakan! Makanya jangan bertingkah. Esha maksud lain, abang malah berpikiran lain juga. Jangan bilang dengan Viko saja abang cemburu.”
“Ok ok. Kita akur. Abang tidak protes lagi. Tapi, abang mau sayang kiss dekat sini dulu.” bibirnya di tunjuk.
“Ish.. Ya Allahu ya rabbi.. dasar mesum....” Meysha cepat bangkit, suaminya di tinggalkan begitu saja. Sepanjang hari Fathan tidak ada puasnya mau bermanja-manja.
"m***m sama istri sendiri kan. Bukan sama istri orang lain.” sorak Fathan. Dia tertawa melihat Meysha yang kucar kacir lari darinya.
***
“Nanti kalau pergi check up, kabari abang.” pesan Fathan sebelum dia berangkat ke kantor.
“Iya. Abang hati-hati menyetir. Jangan nyelip-nyelip. Alon-alon asal selamat. Okey?” dasi Fathan diperbaiki agar lebih rapi.
“Okey sayang. Abang pergi.” Kening sang istri dikecup hangat.
“Umm.. Abang nanti makan siang jangan sampai telat, ya.” Tangan Fathan di salami dan di ciumnya lembut.
Fathan mengangguk, dia mengusap kepala Meysha sebelum masuk ke dalam mobil. Fathan memang lebih senang menyetir sendiri. Supir dan Viko, sekretarisnya terkadang juga ada menjemputnya maupun mengantar. Tetapi, jarang.
Klakson mobil di bunyikan 2 kali, Meysha melambaikan tangan mengantar kepergian mobil Fathan yang meninggalkan perkarangan rumah. Sudah tidak terlihat lagi, Meysha langsung berputar tubuh masuk ke dalam rumah.
“Mama..” Meysha terkejut melihat mertuanya yang sudah berdiri dengan angkuh di depan pintu.
“Bersiap-siaplah. Sebentar lagi aku akan temani kamu ke rumah sakit.” ucap Ami kasar. Dia langsung meninggalkan Meysha yang tampak bingung.
Untuk apa dia ke rumah sakit? Fathan sudah mengatur semuanya untuk Meysha. Sejak kesepakatan Fathan tidak lagi menemani Meysha untuk Chek up, Fathan meminta Karin untuk melakukan pengobatan di klinik Karin saja. Meysha masih belum bisa dalam keramaian.
Meysha sangat ingat dengan jelas pesan suaminya itu. Meysha dengan cepat mengikuti mertuanya dari belakang.
“Tapi, Ma…”
“Apa lagi sih Sha?” hardik Ami tiba-tiba.
Meysha langsung terperanjat dan terdiam, pandangannya langsung di tundukkan. Tidak berani sama sekali melihat wajah mertua yang begitu murka padanya. Padahal dia hanya ingin mengkonfirmasi bahwa dia chek up tidak di rumah sakit lagi.
“Kenapa malah diam?” Ami menyilang tangan di d**a seraya mendengus kasar. Dia merasa sangat muak melihat Meysha yang tidak ubahnya seperti orang bodoh.
“Ma, Esha cuma mau bilang kalau cek up tidak di rumah sakit lagi. Abang sudah atur semuanya. Esha cek up di klinik dokter Karin sekarang. Lagian sekarang masih pagi, Ma. Jadwal Cek up Esha nanti jam setengah 3 siang.” jawab Meysha terbata-bata.
“Tau apa kamu, hah? Barusan aku menghubungi Karin. Dia sibuk siang nanti. Jadi, kamu check up pagi ini. Kamu jangan banyak omong deh, Sha. Kamu itu sakit, kamu menurut saja. Sudah untung aku mau temanin kamu. Cepetan sana kamu siap-siap. Poles sedikit wajah kamu, jangan pucat begini. Udah seperti orang bodoh, pucat lagi. Aku tidak mau ya kamu malu-maluin aku. Oh iya, perihal ini kamu tidak perlu laporin juga sama Fathan. Dia itu sibuk, sudah seminggu dia tidak masuk kantor. Jangan kamu tambah lagi beban pikirannya.” Ami berlalu pergi menuju kamarnya. Dia masih mengomel sepanjang jalan. Segala kalimat kasar keluar dari mulutnya.
Meysha menelan ludahnya beberapa kali. Entah kenapa semakin hari Ami semakin kasar saja padanya. Bahkan hari ini Ami menghina wajahnya. Padahal dulu Ami selalu memuji kecantikannya. Dulu Ami selalu memperlakukannya dengan baik.
Meysha berjalan dengan lunglai ke kamarnya. Perlahan dia menuju meja rias. Dia memperhatikan wajahnya. Memang pucat.
Dulu dia adalah seorang model. Tinggi 169cm, cantik dan proporsi tubuh yang sangat ideal. Wajahnya kerap menghiasi sampul majalah dan menjadi brand ambassador dari produk-produk ternama. Banyak orang memujinya. Tetapi, sekarang? bahkan mertuanya saja menghinanya. Apalagi orang lain.
“Abang maafkan, Esha.” Meysha menangis hingga bahunya naik turun. Dia khawatir, berapa lama Fathan bisa bersabar dengan kondisinya ini.
***
“Nia, gimana penampilanku?” tanya Kiki. Hari yang di tunggunya datang juga. Sudah seminggu bekerja di kantor baru ini, tetapi bos yang di bincang-bincangkan malah cuti. Hari ini bos mereka akan masuk, Kiki tidak mau melewatkan kesempatan. Dia harus berpenampilan sempurna.
“Cantik, seperti biasa.” jawab Tania acuh tidak acuh.
“Apa kamu bilang? Cantik seperti biasa? aku sudah ubah gaya rambut ini lho, tidakkah terlihat berbeda? Apa tidak lebih manis dan cantik?” tanya Kiki tidak senang. Susah-susah berdandan dari pagi buta, tapi Tania malah menanggapinya biasa saja.
“Seriously?” Tania tertawa kecil, “Sini aku lihat!” wajah Kiki di perhatikan .
“Bagaimana?” tanya Kiki tidak sabaran.
“Kamu pakai kontak lens?” tanya Tania dengan kening berkerut.
“Iya. Cantik kan?”
Ya Tuhan, bukan main lagi persiapan Kiki. Tidak biasanya Kiki memakai kontak lens, tapi sekarang dia pakai demi bos yang belum jelas seperti apa rupanya.
Belum sempat Tania menjawab, tiba-tiba Mike muncul menyuruh mereka semua berkumpul.
“Guys... kumpul semuanya, bos sudah di lantai bawah. Kalian semua harus rapi. Tidak peduli karyawan lama atau baru. Kalian harus tunjukkan yang terbaik. Mohon kerjasamanya.”
Semua orang mengangguk paham. Ada juga yang berbisik satu sama lain menanyakan penampilan mereka. Kiki semakin tidak sabar melihat bosnya.
“Nia, aku deg deg kan sekali.” bisik Kiki di telinga Tania. Napasnya di atur beberapa kali.
Tania hanya tersenyum. Dia biasa saja. Baginya tidak ada yang menarik. Pria ketika insiden rumah sakit sudah membuatnya benar-benar kasmaran. Selama seminggu bekerja dia tidak ada kesempatan untuk mencari pria itu. Hari ini dia bisa pulang cepat, dia berencana akan pergi ke rumah sakit itu kembali. Dia ingin mencari pria itu. Bagaimanapun caranya, dia akan menemukannya.
Tiba-tiba pintu di buka oleh security. Muncul seorang pria yang memakai coat hitam berjalan masuk.
“Morning, Bos.” Ucap Viko dan Mike.
“Morning.” Jawab Fathan.
“Ok semuanya, bagi yang baru bergabung saya akan memperkenalkan. Inilah CEO Emperor Group, Tuan Fathan.” Viko memperkenalkan.
Masing-masing tersenyum gembira. Apalagi karyawan baru. Bagaimana tidak, CEO mereka sungguh tampan. Terlebih Kiki bukan main senangnya, sementara Tania di sana sudah terdiam dengan mata yang membulat dan mulut yang sedikit terbuka, tidak menyangka ternyata bosnya adalah pria yang menabraknya di rumah sakit. Pria yang di dambakan, pria yang membuatnya khayal dan kasmaran seminggu terakhir ini.
“Morning bos,” ucap semuanya. Tania tersadar, dia juga ikut mengucapkan dengan pelan. Beberapa kali matanya di kedip kan.
“Aku tidak salahkan? Ah, jodoh berarti jika seperti ini.” gumam Tania sambil mengembangkan senyum bahagia. Hatinya sungguh berbunga-bunga. Tidak perlu susah-susah lagi mendatangi rumah sakit.
“Morning,” jawab Fathan, “Terima kasih sudah menyambut saya. Selamat datang dan selamat bergabung untuk karyawan baru. Saya harap, kalian bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Yang senior harap bisa membimbing dan junior jangan segan-segan untuk bertanya. Mari saling kerja sama.”
“Ok, bos.” Jawab semuanya.
“Okey.. Kalau begitu, saya ke ruangan dulu.”
Fathan memang senantiasa ramah pada semua karyawannya. Jadi tidak salah jika semua orang menyukainya. Apalagi kaum hawa.
“Ya Tuhan... alangkah tampannya bos kita, Nia.” Bisik Kiki. Bukan main senang hatinya.
“Haa..ah tampan.” Jawab Tania perlahan. Matanya tidak lepas memandangi punggung Fathan yang menjauh.
“Oii.. kamu ini kenapa? kamu jangan berniat mau memikat juga, ya. Ingat itu punya aku. Kamu kan sudah ada pria idaman.” ujar Kiki dengan sikap centil seperti biasanya. Dia segera kembali ke mejanya, karena Mike sudah menyuruh mereka bubar.
“Iya aku memang sudah punya pria idaman. Nih dia datang mengantarkan diri langsung ke hadapan aku, maafkan aku Kiki. Kita mesti bersaing.” Gumam Tania. Dia juga kembali ke mejanya.