Bab 5. Permintaan Maaf

1104 Words
"Kamu bisa mengambil barang-barang kamu bersama Dimas, Sherly." Derix memandang Sherly dengan intens, sedangkan kedua tangan pria itu terus bergerak membersihkan sudut bibirnya. Sherly mengangguk kaku, wanita itu menoleh ke arah Dimas yang masih menikmati sarapannya yang tersisa sedikit itu. Membuang napas panjang, Sherly langsung menyelesaikan makannya. Suasana hati wanita itu tidak bisa dikatakan baik, Sherly merasa asing dengan apa yang dia rasakan saat ini. Perubahan situasi dan status secara mendadak membuat Sherly harus benar-benar beradaptasi dengan baik. Dimas meraih tisu, pria itu membersihkan mulutnya. Dia melirik Sherly yang tengah menundukkan kepala, menarik napas panjang. Dimas lantas berdiri dari posisi duduk, dia melirik Sherly yang masih duduk diam. "Cepet siap-siap! Jangan buang waktu saya," suruh Dimas penuh penekanan. "Iya," balas Sherly dengan suara pelan lantas bangkit dari duduknya dan pergi dari sana disusul oleh Dimas di belakangnya. Derix mengembuskan napas pelan melihat interaksi mereka, sedangkan dua orang lainnya hanya melihat tanpa mau mengatakan sesuatu. Namun, bersamaan dengan hilangnya punggung dua pasangan suami istri itu seorang pria membuka suara. Dia memandang Derix dengan tatapan khawatir dan sulit diartikan bercampur menjadi satu. "Pa, apa Papa yakin keputusan Papa ini sudah benar?" tanya seorang pria. Derix menoleh, dia memandang lekat putra bungsunya itu. "Apa menurut kamu keputusan Papa ini kurang tepat, Kenzo? Bukankah Papa sudah jelaskan jika mereka melakukan hal terlarang, jika tidak Papa nikahkan bagaimana nasib wanita itu nanti? Bagaimana jika dia mengandung benih Dimas yang merupakan keturunan Pradipta?" jelas Derix. Kenzo terdiam, pria itu tentu paham apa yang dimaksudkan sang ayah. Namun, melihat bagaimana Dimas memperlakukan Sherly tadi membuat Kenzo merasa kasihan dengan wanita itu. Sedari tadi Sherly hanya diam dan hanya berbicara sepatah dua patah kata itu pun untuk menjawab pertanyaan dari Derix. Kenzo mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, "Kalau menurut Papa itu baik aku akan mendukungnya. Lagi pula di umur Dimas yang 30 tahun ini memang seharusnya dia sudah menikah." "Hm," deham Derix. Senia yang berada di sana memilih diam, dia enggan untuk sekadar ikut campur meskipun wanita itu sangat membenci istri Dimas. Namun, Senia harus tetap menjaga apa yang telah dia usahakan untuk masuk ke keluarga ini. Senia tidak ingin apa yang telah dia jaga akhirnya hancur karena dia yang kesulitan untuk menahan dirinya sendiri. "Senia, saya harap kamu bisa membantu dan membimbing Sherly dengan baik," ucap Derix sembari menatap lekat sang menantu. Wanita itu tersenyum manis, dia menganggukkan kepala sebelum menjawab, "Papa tenang aja, gimana pun Sherly itu menantu aku juga. Aku pasti bakalan selalu bantu dia dan sayang sama dia layaknya aku sayang ke Dimas." "Baguslah. Papa harap kalian bisa cepat dekat." Derix berdiri, dia lantas pergi dari sana disusul oleh Kenzo dan juga Senia yang berjalan beriringan dengan Senia yang memeluk erat lengan sang suami. *** Sherly meremas jari-jemarinya dengan gugup, kepala wanita itu menunduk dalam. Saat ini, dia dan Dimas tengah berada di perjalanan menuju kediaman orang tua Sherly dan sebentar lagi mereka akan tiba di sana. Jantung Sherly berdebar-debar kencang, dia merasa takut sekaligus cemas jika harus mendapatkan respons tak mengenakkan lagi dari kedua orang tuanya. Mobil Dimas memasuki pekarangan kedua orang tua Sherly, wanita itu menahan napas sejenak. Mata Sherly bahkan tak berkedip untuk beberapa saat, suara pintu yang dibuka oleh Dimas berhasil mengembalikan lagi kesadaran wanita itu. Sherly memandang setiap penjuru, tangan Sherly berubah dingin. Dia berulang kali mengatur napas agar jauh merasa lebih tenang. Setelah merasa lebih tenang, Sherly dengan cepat turun dari mobil dan berjalan menyusul Dimas yang sudah ada di depan pintu dan bicara dengan Leo yang sedang membaca koran dengan ditemani secangkir kopi. Rutinitas rutin dan wajib yang dilakuan setiap pagi oleh Cleotara Alrizky. Sherly berdeham singkat, dia melirik Dimas yang duduk di samping sang ayah dengan santai. Menarik napas panjang, Sherly memberanikan diri memanggil Leo meskipun dengan suara yang cukup pelan. Akan tetapi, masih didengar dengan jelas oleh Leo dan Dimas. "Ayah ...." "Mau ngambil barang-barang kamu? Udah disiapin sama Bunda, kamu tinggal ambil," balas Leo enggan menatap sang putri. Sherly yang mendengar itu mengembuskan napas kecewa, dia memilih masuk ke dalam rumah daripada harus melihat Leo yang marah kepadanya. Meskipun berat Sherly tetap berjalan masuk, sedangkan Leo hanya bisa menghela napas kasar. Dia tak pernah sanggup untuk mendiami putrinya terlalu lama karena pada akhirnya Leo juga yang tersiksa. Pria itu menatap Dimas sebelum berkata, "Bagaimana? Apa kamu bisa membahagiakan putri saya meskipun tanpa ada cinta di hubungan kalian?" Sherly tak melangkah ke kamar, tetapi wanita itu melangkah memasuki dapur. Sherly tahu di jam-jam segini ibunya tengah memasak sarapan dan Sherly sangat ingin bertemu sang ibu. Langkah Sherly terhenti di pintu pembatas antara dapur dan meja makan, wanita itu menarik napas panjang melihat punggung Tari yang begitu jelas di matanya. Melangkah dengan perlahan, Sherly semakin dekat dengan Tari. Wanita itu kini telah berdiri di belakang tubuh Tari, dia merasa ragu untuk memeluk Tari. Namun, setelah berhasil menepis keraguannya, Sherly akhirnya melingkarkan tangannya pada perut Tari. Dia memeluk erat tubuh sang ibu. "Bun ...," panggil Sherly cukup lirih. "Hm?" deham Tari sembari melirik sekilas sang putri. "Aku mau minta maaf udah ngecewain Bunda sama Ayah, kalian pasti kecewa banget sama aku. Tapi Bun ini beneran di luar kendali aku, aku beneran nggak sadar. My bad, i'm so sorry," jelas Sherly dengan suara bergetar, paru-paru wanita itu rasanya ditekan oleh emosi yang secara tiba-tiba dia rasakan, suara Sherly pun samar terdengar serak. Mematikan kompor, Tari memutar tubuhnya menghadap sang putri. Dia menghapus jejak air mata yang membasahi pipi Sherly, wanita itu menggeleng pelan dengan tatapan hangat meminta Sherly untuk menghentikan tangisnya. Sebagai seorang ibu tentu saja Tari tak akan pernah bisa marah terlalu lama pada putrinya apalagi Sherly merupakan putri tunggal. "Bohong rasanya kalau Bunda sama Ayah nggak kecewa sama kamu. Berulang kali Bunda dan Ayah minta kamu untuk jaga diri, jangan melewati batasan. Bunda sama Ayah bahkan nggak nuntut kamu untuk langsung kerja karena Bunda dan Ayah mau kamu nikmatin masa muda kamu yang habis gitu aja karena kamu kuliah kedokteran." Tari menjeda ucapannya, wanita itu menarik napas panjang. Dia tersenyum tipis saat melihat air mata semakin banyak jatuh dari pelupuk mata sang putri. "Satu hal yang lebih menyakitkan adalah ngeliat kamu yang berubah gini, anak Bunda yang biasanya bikin Bunda kesel justru banyak diemnya," sambung Tari yang langsung mendapatkan pelukan erat dari Sherly. "Maaf, Bunda. Maaf aku nyakitin Bunda sama Ayah, maaf." "Enggak papa, Sayang. Maaf juga Bunda udah kelewatan. Bunda boleh bilang sesuatu?" balas Tari. Sherly melonggarkan pelukannya sebelum menjawab, "Apa Bunda?" "Jadi istri yang taat sama suami, jadi istri yang baik meskipun kalian menikah bukan atas dasar cinta. Kalian udah terikat dan udah bersumpah atas nama Tuhan, jadi jaga hubungan kalian dengan baik. Belajar untuk menerima takdir kalian."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD