Bab 4. Pagi yang Buruk

1091 Words
Sherly mengembuskan napas panjang, dia menoleh menatap Dimas yang sudah tertidur dengan posisi membelakangi dirinya. Wanita itu membuang napas panjang, mata Sherly berkedip lambat. Wanita itu memandang langit-langit kamar dengan tatapan yang sulit diartikan, pikiran Sherly dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang membuat wanita berusia 23 tahun itu tidak bisa tertidur. Ucapan Dimas beberapa jam lalu benar-benar berhasil mengusik pikiran Sherly berbagai ketakutan dan pertanyaan-pertanyaan menyerbu pikiran wanita itu. "Sebenarnya dia di penjara karena apa? Apa dia perampok?" tanya Sherly pada diri sendiri. Bola mata Sherly bergerak liar. "Kalau perampok mana kayaknya nggak mungkin, dia aja keliatan kaya kok. Nggak mungkin dia bunuh orang, 'kan?" sambung Sherly terus menerka-nerka. Sherly menggelengkan kepalanya cepat-cepat, dia tak ingin terus-terusan membuat sebuah prasangka buruk yang bahkan belum tentu kebenarannya. Wanita itu menoleh ke samping kembali, dia memandang punggung lebar Dimas dengan dalam. Sherly tak pernah berpikir bahwa dia akan menikah di waktu yang bahkan tak pernah wanita itu sangka dan dengan cara yang tak pernah Sherly duga. Bibir Sherly sedikit terbuka, tetapi wanita itu kembali menutup bibirnya saat melihat pergerakan Dimas. Apa yang wanita itu ucapkan tertelan bersamaan dengan air liurnya sendiri. Mengembuskan napas lega, Sherly mengusap d**a naik turun saat melihat Dimas masih tertidur dengan pulas. Namun, kali ini posisi Dimas menghadap ke arah dirinya membuat jantung Sherly berdebar tak tenang. Sherly membuang muka, dia menggigit bibir bawahnya dengan pelan. Wanita itu merasa malu hanya karena pikirannya berkelana ke saat di mana dia dan Dimas melakukan penyatuan. "Ganteng sih, tapi serem," bisik Sherly. *** "Nona Muda, Nona! Nona Muda, ayo bangun! Ini sudah waktunya sarapan." Suara-suara berisik dan tangannya yang diguncang berhasil membuat wanita yang masih memeluk mesra guling itu merasa terusik. Perlahan mata terpejam Sherly terbuka, bola mata wanita itu bergerak liar memandang sekitar. Sherly masih berusaha untuk mengumpulkan nyawanya, tangan wanita itu bergerak mendekati wajah dan mengucek pelan matanya. Sherly menggeliat pelan lantas merentangkan kedua tangan ke atas udara, kepala wanita itu tertoleh ke samping. Mata Sherly membulat sempurna saat melihat seorang perempuan muda yang membungkukkan tubuh seraya menatap dirinya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu siapa?" jerit Sherly histeris seraya mengubah posisi menjadi duduk. Perempuan itu dibuat terkejut dengan jeritan Sherly, dia segera menegakkan tubuh dan menundukkan kepala sebelum menjawab, "Saya Deby, Nona. Saya pelayan pribadi milik Nona Muda," sahutnya. "Ha ...?!" Mata Sherly membulat dengan mulut menganga. "Pe—pelayan pribadi?! Kenapa bisa? Maksudnya, kenapa bisa ada pelayan pribadi segala sih?!" sambung wanita itu dengan raut wajah terkejut bercampur heran. Mata Sherly membelalak, dia menggelengkan kepala sembari memandang Deby dengan tatapan curiga. Sikap Sherly tentu saja membuat Deby tak mengerti, baru saja dia ingin mengeluarkan suara. Namun, suara Sherly telah lebih dulu menelan ucapan Deby membuat perempuan itu mengurungkan niatnya. "Jangan bilang saya juga ada pelayan pribadinya?!" "Benar, Nona Muda. Pengawal pribadi Anda bernama Arthur," sahut Deby. Sherly mengacak rambut frustasi. Sungguh, dia jadi bertanya-tanya sekaya apa dan seperti apa keluarga Pradipta itu. Selama ini Sherly memang tidak mengikuti berita bisnis apa pun, wanita itu terlalu abai untuk hal yang menurutnya membosankan padahal Sherly merupakan pewaris satu-satunya dari seluruh aset kekayaan milik Leo. Menghela napas panjang, Sherly mengusir Deby melalui gerakan tangan. Tubuh wanita itu bersandar lemas di punggung kasur. Tak sampai 24 jam dia resmi menyandang gelar sebagai nona muda Pradipta, Sherly sudah diberikan banyak kejutan dan hal tak masuk akal. Sekaya apa pun sang ayah, rasanya wanita itu masih melakukan banyak hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat dengan ekonomi ke bawah maupun menengah. Namun, di keluarga Pradipta berbeda. Kali ini Sherly benar-benar merasa semuanya di luar akal sehatnya. "Apa semua sultan hidup begini, ya?" gumam Sherly seraya memijat pangkal hidungnya, terasa pening dan rasanya seluruh nyawanya langsung berkumpul menjadi satu saat itu juga. "Ini nanti nggak ada latihan kursus tata krama, 'kan? Makannya nggak pake table manner ala kerajaan, 'kan?" Sherly bergidik ngeri membayang itu semua, dia tak sanggup jika harus hidup dengan segala peraturan yang ada. Wanita itu terbiasa hidup memang, menikmati semua yang dia mau sesuka hatinya. Namun, Sherly tetap memberikan batasan-batasan dan untuk pertama kalinya wanita itu keluar dari batasan yang dia buat sehingga dia harus terbebani dengan nama Pradipta di belakang namanya. "Kalau nggak kuat boleh angkat tangan, 'kan?" *** "Eh, Tuan Putri baru bangun ya? Ternyata istri Dimas pemalas, cih!" Sherly menghentikan langkah kakinya, dia membalikkan tubuh dan menatap sosok wanita asing yang tak Sherly ketahui namanya. Wanita itu tersenyum sinis ke arah Sherly dapat Sherly pastikan jika wanita yang kini menatap dirinya dengan sinis adalah wanita yang suka sekali mencampuri urusan orang lain sekaligus nyinyir. Sherly menarik satu bibir ke atas, wanita itu lantas tertawa pelan sembari menutup mulutnya sok anggun jauh dari kepribadian Sherly selama ini. "Eh, ini siapa? Apa pelayan juga? Kalau pelayan kok bajunya mahal banget, ya?" Sherly memandang polos wanita yang tak dia kenali namanya, mata wanita itu berkedip pelan dengan tatapan berbinar. "Kamu ...!" Senia menunjuk Sherly dengan ekspresi geram. Sherly menunjuk dirinya sendiri sebelum menjawab, "Aku? Kenapa sama Sherly, Nenek? Apa Nenek butuh sesuatu?" "Apa kamu tidak tahu siapa saya, ha?! Lancang sekali mulut kamu mengatai saya pelayan, kamu pikir kamu siapa?! Bahkan harga diri kamu mampu saya beli!" berang wanita bernama Senia, hidung Senia kembang kempis menandakan wanita itu memang dikuasai amarah. "Membeli harga diriku? Maaf, tetapi harga diriku tidak dijual dan siapa pun tidak akan mampu membelinya." Sherly berucap dengan tenang. "Aku permisi, semoga kau panjang umur dengan sikap pemarahmu itu," lanjut Sherly dengan santai lantas berlalu pergi dari sana. Sikap Sherly yang tak tahu takut itu tentu membuat darah Senia mendidih. Sebagai satu-satunya nyonya di kediaman Pradipta tentu saja Senia sangat dihormati, wanita itu selalu diperlakukan dengan baik. Sejauh ini hanya Derix orang satu-satunya yang berani menentang keputusan Senia tentu saja Dimas ikut peran dalam hal ini. Mengepalkan tangan, Senia memandang tajam punggung Sherly yang perlahan mengecil dan menghilang. Wanita itu berdecih sinis, entah di mana Dimas mendapatkan Sherly. Namun, akan Senia pastikan wanita itu akan menyesal telah berani melawan dirinya. Senia akan pastikan Sherly tak akan pernah tenang dan nyaman selama menatap di kediaman utama Pradipta ini. Sejak awal Derix mengatakan Dimas telah menikah dengan seorang wanita asing yang tak sengaja dia renggut mahkotanya, Senia telah memandang rendah Sherly. Wanita itu tak akan pernah menerima ada perempuan lain di kediaman utama Pradipta. "Kamu liatin apa, Sayang?" Senia menoleh ke kanan, wanita itu lantas menggelengkan kepala pelan. Dia mengulas senyum manis seraya menatap hangat sang suami yang berjalan mendekati dirinya. Setibanya sang suami didekatnya, pria itu merangkul bahu Senia dengan mesra. "Nggak papa, Mas. Ayo ke ruang makan! Papa pasti sudah menunggu kita."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD