Sherly menundukkan kepala, wanita itu meremas gaun sederhana yang dia gunakan. Beberapa menit yang lalu dia telah resmi menjadi istri seorang Dimas Pradipta lebih tepatnya Sherly terpaksa harus menjadi istri seorang Dimas Pradipta. Wanita itu sama sekali tak berani mengangkat kepalanya, dia takut jika nantinya akan melihat wajah kecewa kedua orang tuanya.
Tubuh Sherly membeku saat merasakan sebuah dekapan hangat yang begitu erat, dia juga dapat merasakan bahunya basah. Mata Sherly mengerjap pelan, tangan Sherly bergerak perlahan dengan kaku membalas pelukan Adelia. Suara isak tangis perempuan itu membuat Sherly tak bisa bereaksi lebih, dia sudah terkejut dengan apa yang telah terjadi di hidupnya.
"Sher, maaf. Maafin gue yang nggak bisa ngejaga lu dengan baik," sesal Adelia dengan suara yang begitu pelan.
"Nggak, ini bukan salah lu kok." Kepala Sherly menggeleng pelan, wanita itu tak terima dengan apa yang telah disampaikan oleh Adelia.
Semua yang terjadi dalam hidupnya murni kesalahan dirinya, dia yang terlalu ceroboh dan dia yang terlalu banyak tingkah. Sherly yang bertindak gegabah dan tak memikirkan kedepannya dan ini semua memang murni kesalahan dirinya. Menarik napas panjang, Sherly melepaskan pelukan mereka, wanita itu mengusap air mata Adelia yang membasahi wajah sahabatnya itu.
"Shut ... ini bukan salah lu, ini murni kesalahan gue," kata wanita itu berusaha menenangkan.
"Tapi—"
"Enggak ada tapi-tapi!" potong Sherly sembari menggelengkan kepala.
Tatapan Sherly tanpa sengaja menangkap Tari yang sedari terdiam dengan wajah sembab. Wanita itu mengembuskan napas panjang, rasanya Sherly ingin menangis sembari meraung kencang. Melihat Tari yang begitu kecewa pada dirinya membuat Sherly merasakan perasaan bersalah yang begitu kuat. Sekeras apa pun Sherly berusaha menjelaskan, semua itu tak akan pernah mengubah apa yang telah terjadi termasuk pernikahan yang seharusnya tak pernah ada.
Sherly melihat Elesya yang menganggukkan kepala pelan, wanita itu mengembuskan napas lantas berjalan perlahan dengan kepala tertunduk menghampiri sang ibu. Sherly berdiri tepat di hadapan Tari, wanita itu masih tak berani untuk mengangkat kepalanya. Jari-jari Sherly saling bertautan, memilin satu sama lainnya. Dia menelan kasar air liburnya, suara wanita itu rasanya tercekat di tenggorokan.
"Bun ...," panggil Sherly dengan suara pelan.
Tari tetap diam, dia tak bergeming di tempatnya. Kepala Tari menoleh ke arah Elesya dan Adelia yang berdiri bersisihan. "Bawa dia ke suaminya, mereka harus pulang ke rumah mereka!" suruh Tari dengan nada datar.
Sherly menggeleng panik, dia ingin meraih tangan Tari. Akan tetapi, Tari lebih dulu menjauhkan tangannya, wanita itu bahkan memalingkan wajah enggan memandang sang putri. Elesya yang melihat itu tak tega, dia dapat melihat dengan jelas bahu Sherly bergetar pelan. Perempuan itu mendekat, dia memegang bahu Sherly dengan lembut lantas menuntun wanita itu berjalan menjauh meskipun kepala Sherly terus tertoleh ke belakang.
"El, Bunda ...," lirih wanita itu sembari menggigit bibir bawahnya.
Elesya mengangguk mengerti sebelum dia menjawab, "Iya, gue paham. Sekarang kita kasih ruang untuk Bunda Tari dulu, ya? Dia masih syok, gue yakin nanti Bunda bakalan kayak biasa lagi."
Sherly yang mendengar itu sontak menundukkan kepala dalam, sedangkan Adelia berjalan di belakang mereka dengan wajah lesu. Perempuan itu benar-benar merasa bersalah. Perlahan Sherly dan keduanya menghilang dari ruangan VVIP klub, Tari menarik napas panjang dia mengusap kasar air matanya yang baru saja luruh. Kepala wanita itu tertunduk, cukup kecewa dengan apa yang telah Sherly lakukan.
"Bunda kecewa sama kamu, bener-bener kecewa."
***
Sherly dan kedua sahabatnya berjalan mendekati mobil yang terparkir. Dari kejauhan Sherly dapat melihat sang ayah yang tengah berbicara dengan Dimas dan Derix, wanita itu menatap kedua sahabatnya yang dibalas gelengan pelan. Menghela napas panjang, Sherly memilih untuk diam dan tak mau tahu apa pun.
Elesya berdeham pelan membuat mereka menoleh ke belakang, raut wajah Leo berubah datar dalam sekejap. Sherly yang melihat itu hanya mampu mengembuskan napas panjang. Sebelum memasuki mobil, Sherly lebih dulu menghentikan langkahnya di hadapan sang Ayah. Dia memandang sang ayah dengan mata berembun dan raut wajah penuh penyesalan, tetapi Leo tak memberikan reaksi apa pun selain wajah datar.
Sherly menarik napas panjang sebelum berkata, "Ayah, maaf Sherly udah buat Ayah kecewa. Maaf ...," sesal wanita itu dengan air mata yang akhirnya luruh, sedangkan Leo dengan cepat membuang muka.
Sherly yang melihat itu mengembuskan napas, dia membalikkan tubuhnya. Wanita itu berjalan memasuki mobil di mana sedari tadi sudah ada Dimas yang menanti, untuk terakhir kalinya Sherly menolehkan kepala ke belakang sebelum tubuh wanita itu menghilang dihalangi oleh pintu mobil yang telah tertutup. Leo yang melihat itu mengembuskan napas panjang lantas pergi dari sana, sedangkan Adelia dan Elesya saling menatap dengan raut wajah bersalah.
"Gue nggak enak ke Sherly."
***
"Om ... kita ti—tidur satu kamar?" tanya Sherly dengan kepala yang terus bergerak ke sana ke mari mengamati kamar dengan warna abu-abu itu.
Dimas yang mendengar pertanyaan Sherly menghela napas panjang. "Menurut kamu?" Pria itu balik bertanya membuat Sherly menundukkan kepala dengan cepat.
Dimas yang melihat itu mendengus kesal, pria itu berjalan memasuki kamar mandi. Dia berniat membersihkan tubuhnya, sedangkan Sherly mendudukkan dirinya di atas kasur secara perlahan. Tangan wanita itu mengelus seprai yang terpasang, sedangkan mata wanita itu bergerak liar memperhatikan kamar Dimas yang benar-benar simpel dan elegan untuk ukuran seorang pria.
"Apa gue bisa?" tanya Sherly pada diri sendiri.
Menghela napas panjang, Sherly dikejutkan dengan pintu kamar mandi yang terbuka. Wanita itu cepat-cepat memalingkan wajah saat melihat Dimas yang keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk di pinggang pria itu. Napas Sherly memburu, pipi wanita itu memanas hingga telinga. Dia merutuki dirinya yang mati kutu rasanya untuk keluar dari kamar pun Sherly tak akan sanggup.
"Cepat mandi! Saya tidak ingin ada orang dengan bau badan ada di kamar saya!" suruh Dimas berhasil membuat Sherly terkejut.
"I—iya," gagap wanita itu seraya berdiri.
Sherly memandang Dimas yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang ada di tangan pria itu. Sherly terdiam di tempatnya bukan untuk menikmati pemandangan indah yang di depannya, tetapi wanita itu ingin bertanya mengenai pakaian apa yang harus dia kenakan karena Sherly sama sekali tak membawa apa pun ke sini.
"Kenapa kamu?" tanya Dimas dengan satu alis yang dia naikkan.
"I—itu, aku pake baju apa?" Sherly balas bertanya dengan suara terbata.
"Nanti akan diurus oleh pelayan, kamu cukup mandi!"
"Iya." Sherly menganggukkan kepala pelan. "Ta—"
"Stop bicara! Sebelum vas ini melayang ke kepala kamu." Dimas memandang tajam sang istri, pria itu cukup muak mendengar suara Sherly.
Sherly yang mendengar itu reflek terdiam, dia memandang vas bunga yang berada di tangan Dimas. Wanita itu menelan kasar air liurnya, tangan Sherly terkepal kuat dia berusaha melawan rasa takutnya saat aura Dimas benar-benar mendominasi. Wanita itu berusaha meyakini dirinya sendiri bahwa Dimas tidak mungkin melakukan hal seperti ini.
"Om nggak mungkin berani lakuin itu," cetus Sherly dengan suara pelan, tetapi penuh percaya diri.
Satu sudut bibir Dimas terangkat, pria itu merasa tertantang dengan apa yang Sherly sampaikan. Dimas berjalan mendekati Sherly, pria itu berhenti tepat di hadapan Sherly. Tangan Dimas mengapit dagu Sherly, dia mengangkat sedikit tinggi dagu sang istri agar bisa menatapnya. Senyum sinis terpatri jelas di wajah Dimas dan Sherly dengan jelas bisa melihat itu.
"Kenapa kamu ragu, hm? Perlu kamu ketahui bahwa saya merupakan mantan narapidana, kamu tau artinya apa? Iya, saya pernah melakukan tindakan kriminal," ungkap Dimas dengan wajah puas, sedangkan Sherly dibuat mematung dengan wajah memucat.
"Ma—mantan napi? Jadi, aku nikah sama mantan napi?" batin Sherly cukup terkejut.