Bab 15. Kasih Sayang

1068 Words
Seorang wanita menggeliat pelan dalam tidurnya, dia mengerjapkan mata pelan. Sherly menguap lebar, wanita itu juga melenguh pelan. Netra Sherly menjelajah seisi kamar dengan tatapan sayu, tatapan Sherly terhenti pada jam dinding yang menggantung di dinding. Mendesah panjang, dia segera mengubah posisi menjadi duduk. Sherly melirik Dimas yang tidur membelakangi dirinya, pria itu tertidur pulas membuat Sherly berdecak. Perlahan, Sherly menurunkan salah satu kakinya. Dia berjalan menuju kamar mandi, andai Tari tak meminta dirinya untuk membantu wanita itu memasak dapat dipastikan jika Sherly masih tertidur sekarang. Sherly membasuh wajahnya, dia menatap bayangan wajahnya di cermin. Wanita itu menghela napas panjang, dia memasang wajah sendu miliknya. "Gini banget jadi cewek cantik," celetuk Sherly dengan nada yang dibuat-buat sedih. Sherly segera membasuh tangan dan mematikan keran, wanita itu berjalan ke kamar mandi. Dia kembali berdecak kali ini sedikit lebih keras saat melihat sang suami masih tertidur dengan pulas bahkan kini posisi pria itu telah berubah menjadi telentang. Memilih mengabaikan Dimas, Sherly segera keluar dari dalam kamar sebelum mendapatkan teriakan melengking Tari di pagi hari. Sherly menutup pintu kamar dengan perlahan, dia tidak ingin tidur sang suami terusik begitu saja. Wanita itu berjalan menuruni tangga seraya bersenandung ria, senyum lebarnya membuat asisten rumah tangga ikut tersenyum melihat keceriaan sang nona yang beberapa hari ini tidak mereka lihat. "Du bidu bidam dam dam, kenapa aku sangat cantik? Yeah ... yeah ...." Sherly bersenandung asal dengan suara cempreng miliknya yang siap merusak telinga siapa pun yang mendengar. Wanita itu membelokkan langkahnya, dia mengulas senyum lebar saat melihat Tari tengah memotong bawang. Sherly segera menghampiri sang ibu, dia mengecup pipi kanan Tari lantas memandang Tari dengan wajah berseri. "Gitu dong bangun pagi." Tari melirik sekilas sang putri. "Iya Bun ya," kata Sherly dengan bibir mencebik kesal. "Tolong potong wortel, Kak." Sherly mengangguk. Wanita itu berjalan mengambil pisau dan kembali berhenti di samping sang ibu. Dengan lihai Sherly memotong semua wortel itu. Sebenarnya Sherly sangat jago memasak mengingat Tari sudah mengajarkan dirinya memasak saat dia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namun, pada dasarnya Sherly yang terlalu malas membuat wanita itu jarang memasuki dapur sejak dia menginjakkan kaki di bangku kuliah. Tari berjalan ke wastafel, wanita itu mencuci tangan dengan sabun. Dia meraih tisu dan mengelap tangannya hingga kering. Berjalan mendekati kulkas, Tari mengambil s**u beruang yang memang selalu dia minum setiap pagi dan malam hari. Wanita itu bersandar di pintu kulkas seraya memandang sang putri dengan intens. "Gimana jadi keluarga Pradipta?" tanya Tari dengan wajah penasaran. Sherly menghela napas panjang. "Capek, Bun." "Capek?" Tari mengulang ucapan Sherly dengan kening berkerut. "Bukannya enak ya jadi sultan?" sambung wanita itu. Sherly yang mendengar itu mendengus kasar, dia meletakkan pisau yang dia pegang dengan kasar di atas talenan. Wanita itu membalikkan tubuh menghadap sang ibu, dia memandang Tari dengan tatapan kesal berhasil membuat Tari mengerutkan kening heran melihat tingkah sang putri. "Apa enaknya banyak aturan?! Inilah nggak boleh, itulah nggak boleh. Semua aja nggak boleh. Berasa nikah sama manusia goa yang serba ini itu," celoteh Sherly dengan napas menggebu. Tari yang mendengar itu menggelengkan kepala pelan. Wanita itu tentu tahu jika sang putri adalah orang yang menyukai kebebasan dan lepas dari aturan, tetapi semesta justru menakdirkan Sherly berjodoh dengan keluarga yang penuh dengan aturan ketat yang harus mereka turuti. Tari sangat tahu sedikitnya itu pasti membuat sang anak kesal. Tari berjalan mendekati sang putri, dia mengusap bahu sang anak dengan lembut. Wanita itu tersenyum hangat, mata Tari berkaca-kaca. Masih tak menyangka rasanya putri kecil yang selalu dia pangku justru kini telah memiliki kehidupan sendiri. Berat, tetapi Tari dipaksa ikhlas oleh semesta. Wanita itu menghela napas panjang. "Ini kehidupan, Sayang. Suka nggak suka, mau nggak mau, terima nggak terima kamu harus terima. Ini takdir yang harus kamu terima dan jalanin dengan perasaan lapang. Kamu itu orang asing yang masuk ke keluarga orang, besar harapan Bunda kamu bisa jadi pribadi yang lebih baik. Bisa jaga nama baik kamu dan keluarga baru kamu. Bunda yakin pilihan semesta untuk kamu nggak akan salah," papar Tari dengan suara lembut. Sherly terdiam, tak berselang lama wanita itu langsung memeluk sang ibu dengan erat. Bahu Sherly bergetar, wanita itu terisak. Masih membekas di ingatan Sherly saat dia harus menikahi pria asing yang kini menjadi suaminya. Masih ingat pula di ingatan Sherly saat sang ibu menahan tangis melepas dirinya. Sherly menarik napas dalam, dia membenamkan wajahnya di bahu sang ibu. "Aku beruntung punya Bunda Ayah, setelah kesalahan yang aku perbuat kalian masih perlakuin aku layaknya anak kecil kalian. Maaf kalau aku masih suka bikin kalian kesal, maaf kalau aku masih gagal dalam buat kalian bahagia. Maaf kalau aku membebani kalian setiap hari, maaf," lirih wanita itu. Tari mengelus punggung sang putri. "Nggak papa, Sayang. Mau bagaimanapun kamu, kamu itu tetap anak kesayangan Bunda dan Ayah. Kamu nggak gagal karena bahagia kami adalah saat kamu bahagia, kalau dengan ngeliat kamu bisa nikmatin hidup aja kami udah bahagia kami nggak butuh apa pun lagi dari kamu." *** "Lelet banget, Om. Bunda sama Ayah udah nunggu buat sarapan tau." Dimas mendengus mendengar penuturan sang istri. Dia mendekat ke arah Sherly, tangan Dimas terangkat menyentil pelan kening sang istri membuat Sherly mengaduh. Bekas kemerahan itu Dimas abaikan, dia memandang Sherly dengan tatapan dingin dan tajam. "Aws ... kdrt aja terus! Sadis banget punya suami." Sherly mengusap keningnya dengan wajah cemberut, dia memandang kesal sang suami. "Kamu aja jadi istri yang nggak bisa kalem," sanggah Dimas cepat. Sherly yang mendengar itu mendengus, dia menginjak kaki Dimas keras. Namun, sepertinya itu tidak memberikan reaksi berlebihan pada pria itu. Dimas tetap diam dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hal itu, sukses memancing kemarahan Sherly. Wanita itu menggeram tertahan dengan kedua tangan melayang di udara seraya bergerak layaknya tengah menghancurkan wajah sang suami. d**a Sherly naik turun, emosi wanita itu selalu di luar kendali saat berhadapan dengan Dimas. "Aku tuh bisa kalem, ya! Tapi kalau sama Om bawaannya pengen ngamok terus. Lagian punya suami kayak tembok rusak, udah datar jelek pula!" hina Sherly yang entah keberanian itu datang darimana, tetapi satu hal yang pasti Sherly sedikit lebih berani dengan sang suami. Satu alis Dimas terangkat. "Jelek kata kamu? Mata kamu aja yang rabun," balas pria itu dengan santai. Sherly melototkan mata garang, wanita itu tak terima akan ucapan Dimas. Baru saja dia ingin membuka suara, tetapi Dimas telah lebih dulu menarik tangan Sherly keluar kamar. Ucapan Dimas selanjutnya berhasil membuat Sherly memberengut kesal. "Diem! Nggak usah berisik, Bunda sama Ayah udah nunggu buat sarapan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD