Bab 14. Gemuruh

1034 Words
Seusai makan malam di sinilah kedua pasangan suami itu berada, balkon kamar milik Sherly. Keduanya terdiam dengan bergelut dengan pikiran masing-masing tak ada satu pun di antara mereka yang memulai percakapan padahal ini sudah 25 menit. Sherly memejamkan mata saat angin menerpa kulit, sedangkan Dimas memandang lurus ke arah langit dengan tatapan yang sulit diartikan. Dimas menoleh, dia terpaku sejenak saat jarak wajahnya dan Sherly sangatlah dekat. Pria itu segera memalingkan wajah, enggan untuk terlalu lama menatap Sherly. Mengembuskan napas kasar, Dimas memilih kembali menatap langit yang nampak ribut malam ini belum lagi angin berlarian kencang dari arah sebaliknya. Cuaca malam ini bisa Dimas pastikan akan ada hujan deras disertai angin kencang. Sherly membuka mata, dia melirik sang suami sekilas. Wanita itu bukan tak tahu jika tadi Dimas menatap dirinya, tetapi sebisa mungkin Sherly menjaga ketenangan yang dia miliki. Satu sudut bibir wanita itu terangkat meski hanya sedikit kala gemuruh petir begitu jelas dia dengar, rasanya menakutkan sekaligus memberikan sensasi menyenangkan di rongga-rongga d**a wanita itu. "Sepertinya akan ada hujan badai," gumam Sherly seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Ayo masuk, cuaca buruk sangat tidak baik untukmu." Dimas menoleh, dia menatap lekat manik mata Sherly. "Kenapa harus masuk? Tunggu saja di sini sampe hujannya turun, Om," tukas Sherly dengan santai. Kening Dimas mengkerut mendengar penuturan sang istri, pria itu berdecak pelan dia lupa memiliki istri yang sedikit berbeda dari kebanyakan wanita. Menghela napas panjang, Dimas beralih menatap langit yang semakin ribut. Bulu kuduk pria itu berdiri, sekelebat bayangan dia tersambar petir membuat Dimas bergidik ngeri. Sherly yang memperhatikan gerak-gerik sang suami terkekeh, dia tentu bisa dengan mudah membaca pikiran suaminya saat ini. Sherly meraih tangan Dimas, dia menggenggam erat tangan besar pria itu membuat Dimas menoleh dan menatap Sherly dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, Sherly tak peduli dia bahkan tak melepaskan genggaman tangan mereka. Wanita itu menatap langit, dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menoleh ke arah Dimas. "Aku tau nggak semua orang suka petir, Om. Tapi coba Om pejamkan mata dan rasain angin yang berembus kencang kena kulit Om, bayangin juga suara petir itu seberisik pikiran Om. Om bisa tenang sekaligus kalut, 'kan?" tutur Sherly dengan senyuman tipis. "Teori darimana?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Dimas, dia memandang Sherly dengan heran. Sherly yang mendengar itu mengulas senyuman. "Bukankah hidup emang begitu ya, Om? Apa yang Om pikirkan memberikan reaksi pada tubuh Om, kalau Om membayangkan suara petir itu kayak berisiknya pikiran Om yang penuh dengan ketakutan angin nggak akan bisa nenangin. Tapi kalau Om bayangin suara petir itu sebagai alunan penenang tanpa angin pun Om akan tenang," jelas Sherly. Mata Dimas mengerjap, dia mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Sherly. Untuk sejenak Dimas merasa terpaku, dia tak pernah tahu jika sang istri bisa seserius ini dia terlalu sering melihat Sherly yang pecicilan dan banyak tingkah. Sherly masih mengulas senyum manis, dia terkekeh pelan saat Dimas menatap dirinya dengan pandangan terpaku. Suara gemuruh petir semakin berisik di langit bahkan kilat-kilat itu terlihat begitu menakutkan, Sherly dengan cepat menarik tangan Dimas untuk masuk ke dalam kamar. Dia melepas tangan Dimas dan berjalan menutup pintu balkon serta menutup tirai yang ada di balkon tepat saat itu hujan lebat turun, Sherly membalikkan badan dan berjalan mendekati Dimas. "Tidur, Om. Ini udah malem, besok Om harus kerja," cetus Sherly acuh tak acuh seraya berjalan mendekati ranjang. "Saya pikir kamu akan tetap di luar," tukas Dimas menyusul langkah Sherly yang sudah merebahkan tubuhnya di kasur. Dia mendengus. "Aku masih waras ya! Ya kali sengaja cari penyakit," ketus Sherly seraya menatap sinis sang suami. "Saya pikir kamu memang sudah gila." "Om Dimas ...!" *** "Ke mana Dimas dan Sherly?" Derix mengedarkan pandangan seisi ruangan. Sejak makan malam, dia tak melihat dua orang yang selalu membuatnya mengelus d**a. Di sisi pria itu ada Kenzo dan sang istri yang duduk bersebelahan. Gemuruh petir dan hujan lebat di luar seakan tak bisa memutuskan tradisi kumpul bersama setelah makan malam di keluarga Pradipta. Seorang wanita berkisaran 40 tahun berjalan mendekati Derix, dia berdiri di sisi tubuh Derix seraya menundukkan kepala. Dia Rubi, asisten pribadi Derix. Wanita yang selama 20 tahun ini mengabadi pada Derix. "Tuan Muda dan Nona Muda berada di kediaman keluarga Nona Muda, mereka akan menginap itu informasi yang disampaikan oleh pengawal mereka, Tuan." Derix yang mendengar itu menganggukkan kepala pelan. Dia menggerakkan tanda memberikan kode pada Rubi untuk menjauh, pria itu menyandarkan tubuh pada sofa. Entah subur apa yang keluarga berikan sehingga Dimas mau tidur di tempat yang bukan rumahnya itu. "Semoga anak itu menjadi lebih baik setelah dengan Sherly," ucap Derix di dalam hati. "Pa, lihatkan! Mereka bahkan tidak izin dulu ke Papa," celetuk Senia berusaha membuat nama Sherly buruk, tetapi nada suara Senia begitu lembut dan manis. Derix yang mendengar itu langsung menoleh dan menatap Senia dengan tajam, sedangkan Kenzo segera menggenggam tangan Senia memberikan isyarat pada wanita itu untuk diam. Namun, Senia nampaknya tak peduli terbukti dari dia yang terus memandang Derix dengan berani membuat Kenzo mendesah kasar. "Sejak kapan kamu berani menatap saya seperti itu? Apa kamu lupa di mana tempat kamu?" Suara dingin dan rendah milik Derix membuat saliva Senia tertelan terpaksa. "Mak—maksud aku bukan begitu, Pa—pa," sahut Senia tergagap. Derix menatap sang putra dengan tatapan tajam. "Jaga istri kamu sebelum Papa membuang dia ke tempat seharusnya," celetuk Derix dengan tajam. Kenzo menganggukkan kepala pelan. "Maaf, Pa." "Sherly calon Nyonya di keluarga Pradipta dan Papa harap istri kamu itu bisa menjaga sikap jangan bertindak kelewat batas sebelum Papa ingatkan posisi dia," tukas Derix lantas bangkit dan berlalu pergi diikuti orang kepercayaan dirinya. Kenzo menarik napas panjang, dia mengacak rambut frustasi. Pria itu memandang Senia dengan tatapan frustasi, dia tak tahu hal apa yang membuat Senia bertindak gegabah sejak kehadiran Sherly. Rasa cintanya yang terlalu besar untuk Senia membuat Kenzo takut Senia akan dilempar jauh dari kehidupannya oleh Derix. "Apa?! Kamu mau marahin aku?! Aku bahkan cuman bilang itu" sentak Senia dengan napas menggebu. "Senia ...!" Kenzo membentak sang istri, dia memandang cemas sekitar. Bagaimanapun mata dan telinga Derix tersebar di seluruh bagian rumah ini. "Kamu bisa tegur Sherly nanti, Sayang. Kamu harus bisa nempatin diri!" tegas Kenzo. "Iya, maaf." Senia beranjak pergi mengabaikan teriakan dan erangan frustasi Kenzo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD