Sherly mendesah panjang, sejak dia bangun dari tidur dia sama sekali tak menemukan sang suami. Saat sarapan pun tak ada Dimas di sekitar Sherly, ada sedikit rasa dongkol di hati Sherly karena Dimas tak mengatakan ke mana akan pergi pada dirinya. Sebagai seorang istri meskipun dengan embel-embel terpaksa, Sherly merasa kurang dihargai di sini.
Seandainya tadi Kenzo tak memberitahu dirinya bahwa Dimas memang tak pulang ke rumah, Sherly mungkin masih kebingungan saat tak melihat keberadaan sang suami. Mulai dari dia yang ingin tidur sampai bangun di pagi buta, Sherly sama sekali tak menemukan batang hidung sang suami.
Menyugar rambut ke belakang, Sherly memilih meraih remote televisi yang ada di atas meja. Wanita itu menyalakan televisi dan mencari kartun favoritnya yang berasal dari negeri Jiran. Punggung Sherly bersandar dengan rileks pada sofa, mata wanitpa itu memandang berbinar siaran yang ada di hadapannya. Rasanya sudah satu Minggu Sherly tak menonton kartun favoritnya ini terhitung sejak Sherly menikah.
"Akhirnya bisa nonton Upin Ipin!" pekik Sherly tertahan, ekspresi wanita itu bahkan sangat bahagia.
Tak sampai satu jam, ponsel pintar Sherly berdering. Wanita itu mengerutkan kening, tangan kiri Sherly bergerak mengambil ponsel tersebut. Dia memandang heran saat nama sang ayah tertera di sana, menarik napas panjang Sherly mencoba memberanikan diri mengangkat telepon dari Leo.
"Halo ...," sapa Sherly dengan suara begitu pelan.
"Kamu bisa ke sini? Bundamu habis nangis, dia rindu sama kamu," kata Leo begitu singkat dan padat.
Kepala Sherly mengangguk meskipun dia tahu Leo tidak akan pernah bisa melihat gestur tubuhnya. Sherly segera berdiri, dia juga tak lupa untuk mematikan televisi. Wanita itu berjalan ke arah tangga, dia akan bersiap-siap sebelum pergi ke sana.
"Bisa, Ayah. Sekarang Sherly siap-siap dulu, ya."
Panggilan telepon itu dimatikan oleh Leo secara sepihak, Sherly membuang napas kasar. Wanita itu cukup tahu jika Leo memang belum mau memaafkan dirinya, tetapi tak masalah karena Sherly sendiri cukup sadar ini memang dampak dari kesalahan yang dia buat dan Sherly sendiri yang akan berjuang untuk mendapatkan maaf dari sang ayah.
***
Sebuah mobil Toyota Alphard memasuki pekarangan yang cukup luas, mobil itu sedikit berbelok dan berhenti tepat di depan pintu masuk. Pintu kemudian mobil terbuka, kaki seorang wanita lebih dulu keluar dengan balutan sneaker yang yang mempercantik kaki putih wanita itu. Perlahan seluruh tubuh wanita itu keluar dari mobil, dia memindahkan kacamata hitam yang dia kenakan ke atas kepala. Menata penampilannya di kaca mobil, wanita itu tersenyum manis merasa penampilan dirinya sudah sempurna.
Wanita itu melangkah memasuki rumah dengan gaya sok anggun miliknya, senyuman tengil terpancar di wajah cantik wanita itu. Dia melangkahkan kaki mendekati pintu masuk yang memang saat itu masih terbuka tanpa mengatakan apa pun, wanita itu memasuki rumah dengan gaya khas dirinya yang dibuat-buat anggun. Berdiri di ambang pintu, wanita itu berdeham pelan. Dia juga mengulas senyuman miring, menarik napas dalam-dalam mata wanita itu terpejam sebelum akhirnya suara menggelegar memekakkan telinga membuat beberapa orang tergopoh-gopoh berlarian ke arahnya.
"Yuhu ... spada ...! Sherly yang cantiknya badai kembali pulang ke rumah, adakah yang rindu ...?! Yuhu ...!" Teriaknya.
"Ya ampun. Non Sherly kenapa teriak-teriak, sih? Ini bukan hutan atuh, Non," ucap seorang wanita.
"Hehehe ...." Sherly menyengir. "Bunda sama Ayah mana, Mbak?" lanjut wanita itu bertanya.
"Ad—"
"Apa nggak bisa kalau pulang itu jangan teriak?" potong Tari yang berjalan menuruni tangga bersama sang suami.
Sherly tersenyum lebar memperhatikan kehadiran kedua orang tuanya, gigi-gigi putih yang berjajar rapi itu dia perlihatkan. Tanpa perlu membuang waktu lagi Sherly segera berlari ke arah orang tuanya, dia memeluk erat sang ayah saat keduanya menginjakkan anak tangga terakhir. Tentu saja Tari memberengut melihat itu, dia yang merindukan sang putri. Namun, justru Leo yang dipeluk lebih dulu oleh Sherly.
Tari berdecih, wanita itu berniat menjauhi anak dan suaminya. Namun, Sherly dengan cepat menarik tangan sang ibu dan memeluknya. Sherly terkekeh melihat wajah Tari yang menekuk, wajah kesal Tari selalu menjadi hal yang membuat suasana hati Sherly membaik sekaligus menjadi hal yang dia rindukan beberapa hari ini. Sherly melepaskan pelukannya, dia tersenyum manis saat Leo mengelus kepala wanita itu dengan lembut.
"Kata Ayah, Bunda kangen anak manis Bunda ini, ya?" tanya Sherly dengan senyuman menggoda.
Tari mendengus lantas membuang muka. "Ayah kamu bohong," kilahnya.
Sherly tertawa puas, sifat keras kepala dan gengsi yang dimiliki Tari membuat wanita itu dan Leo suka sekali menggoda wanita yang mereka dicintai. Sherly memeluk Tari dari samping, dia juga mengecup sekilas pipi kanan sang ibu. Kepala Sherly mendongak, dia memandang wajah kesal Tari dengan senyuman manis. Rasa nyaman sekaligus aman berhasil Sherly dapatkan dari sang ibu.
"Aku kangen sama Bunda, kangen sama omelan Bunda, masakan Bunda, dan semua hal tentang Bunda." Sherly membenamkan wajah di bahu sang ibu, dia tentu merasakan kesedihan saat mengucapkan semua itu.
Tari menoleh, dia mengusap pundak sang putri dengan lembut. Sudut bibir wanita itu membentuk sebuah garis melengkung yang begitu indah. Wanita itu tak mengatakan apa pun selain mengusap pundak Sherly, Tari rasanya tak sanggup untuk berkata-kata. Dalam benak wanita itu tak pernah terbesit jika Sherly akan menikah secepat ini, dia pikir dia akan menikmati waktu lebih lama dengan sang putri mengingat Sherly tak pernah mengenalkan sosok lawan jenis pun putrinya itu terlalu menikmati kesendirian.
"Ayo, duduk! Ngapain berdiri terus, kita ke ruang keluarga. Ayah yakin bundamu ini pengen ngobrol banyak sama kamu." Leo tersenyum hangat sembari memandang teduh dua wanita kesayangannya.
Sherly yang mendengar itu tanpa sadar tersenyum lebar, suara sang ayah terdengar kembali hangat. Sherly menepuk pelan pipinya berharap ini hanyalah mimpi, tetapi saat tangan itu menampar pipinya Sherly merasakan sakit meski tak terlalu sakit. Bibir wanita itu membentuk senyuman yang begitu lebar, rasanya begitu membuncah. Leo benar-benar telah memaafkan dirinya?
Kini mereka telah berada di ruang keluarga dengan berbagai camilan dan minuman tentu saja Leo meminta asisten rumah tangganya untuk menyiapkan ini semua. Saat ini Sherly duduk di antara kedua orang tuanya, senyuman wanita itu masih belum luntur. Setelah hampir satu Minggu tak bertemu dengan Tari dan Leo, sekarang Sherly kembali dapat berkumpul bersama keluarganya.
Tari mengambil satu potong bolu, dia memasukkan bolu itu ke dalam mulutnya. Wanita itu menatap sang anak yang tengah menikmati yoghurt kesukaannya, menggelengkan kepala pelan Tari merasa Sherly belum cocok untuk menikah. Tingkah kekanakan sang putri selalu membuat Tari khawatir jika Sherly pergi terlalu jauh atau terlalu lama, tetapi kini Sherly harus bisa membiasakan diri dengan semua ini.
"Kamu sudah mengatakan ke suamimu akan ke mari, Kak?" tanya Leo setelah meletakkan secangkir kopi miliknya di atas meja.
Sherly menoleh dengan mulut penuh kue kering. "Belum. Emang harus ya, Yah?" sahut wanita itu setelah menelan makanannya.
Tari tersedak mendengar pertanyaan Sherly. Dia menarik napas dalam lantas mendengus kesal, sudah dikatakan bukan Sherly itu masih belum cocok untuk menikah. Hal sederhana pun wanita itu tidak tahu. Menggelengkan kepala pelan, Tari memandang serius sang putri.
"Kamu itu udah bersuami, Sher. Udah sepatutnya kemana pun kamu pergi harus izin ke Dimas bahkan apa pun keputusan yang kamu buat harus dirundingkan dengan suamimu, suamimu berhak tau," lontar Tari.
"Gitu, ya?" Sherly mengembuskan napas panjang, bibir wanita itu mencebik. "Berarti Sherly nggak bisa bebas lagi, dong?'
Tari yang gemas sontak menjitak kening sang putri, sedangkan Leo hanya menggelengkan kepala pelan. Sherly mengusap keningnya yang terasa perih bahkan suara jitaksn itu begitu renyah mengalun di telinga miliknya, bibir wanita itu semakin mencebik dengan ekspresi kesal. Dia memandang kesal sang ibu.
"Kdrt aja terus, Bun! Sherly anak tiri mah bisa apa?!" cerca Sherly dengan ekspresi dibuat-buat.
Mendengus kasar, Tari menoyor kepala Sherly cukup kuat membuat wanita itu terhuyung. "Banyak drama banget kamu, udah tau masih mau bebas kenapa malah bikin anak duluan?! Orang mah nikah dulu, kamu malah bikin anak dulu. Giliran udah nikah malah ngeluh nggak bisa nikah," sosor Tari seraya memutar malas bola matanya.
"Ih Bunda mainnya gitu! Main ulti!" kesal Sherly.
"Udah-udah! Sherly kamu paham 'kan sama apa yang Bunda kamu jelasin?" sela Leo yang mulai merasa pusing.
Wanita itu membalikkan tubuh menghadap sang ayah membuat Tari mendengus kasar. Sherly tersenyum manis dan mengangguk layaknya anak kucing yang penurut, tingkah sok manisnya itu membuat Leo mengusak gemas rambut sang putri. Tentunya berbanding terbalik dengan Tari yang langsung membuka muka, wanita itu merasa cemburu pada anak yang dia lahirkan dari rahimnya sendiri.
"Makasih Ayah udah maafin Sherly," bisik wanita itu yang dibalas usapan lembut di kepala.
"Ayah, ada yang cemburu tuh," ledek Sherly seraya melirik Tari.
"Kamu ini, Kak. Suka banget godain bundanya," sahut Leo seraya menggelengkan kepala.
"Sayang," panggil Leo yang diabaikan oleh Tari.
"Ah ...! Bunda pundung nggak asik," kekeh Sherly.
"Serah kalianlah! Males! Salah emang aku lahirin saingan sendiri."