Rumit Part 4

2271 Words
Dalam perjalanan menuju sekolah, Zahra memperhatikan putranya yang hanya diam saja sejak tadi. Anak itu terus melihat kaca jendela. Padahal biasanya Zidan banyak bicara. Namun, entah kenapa hari ini anak itu diam saja di mobil. Apa karena El yang memarahinya tadi pagi? "Zidan," panggil Zahra. Zidan menoleh. "Sayang, kenapa nangis?" Zahra melihat mata anaknya yang merah. Rupanya anak itu diam saja karena menangis dalam diam. Zidan menunduk. Zahra menggapai tangan Zidan. "Cerita ke bunda kamu kenapa? Apa karena papa?" "Papa bilang aku anak cengeng dan nakal. Apa karena itu papa nggak suka aku?" Zidan bertanya. Zahra meminggirkan mobilnya. Dia berhenti sebentar. Dia memeluk Zidan dan menghapus air mata anak itu. Zidan memang anak yang perasa. Jadi mudah menangis. "Kamu itu anak baik. Bunda bangga banget punya anak sebaik kamu. Kamu bukan anak nakal, Sayang. Kamu juga nggak cengeng. Anak mama itu punya hati yang tulus. Nggak apa-apa nangis. Justru seorang laki-laki yang kuat itu malah laki-laki yang bisa mengeluarkan air mata. Orang yang menangis bukan berarti dia cengeng tapi dia memiliki hati yang baik. Jangan nangis lagi ya, Sayang. Nanti matanya bengkak loh. Nanti teman-teman ledekin di sekolah, mereka ngiranya kamu digigit tawon. Gak mau kan, diejek teman-teman di sekolah?" Zidan menggelengkan kepalanya. Zahra mengelus kepala Zidan. "Anak bunda kuat." Dia mencium kening anak itu. Zidan sudah tenang. Zahra melanjutkan perjalanan kembali. Sampai di sekolah Zahra mengantar Zidan sampai ke depan pintu kelas. "Belanjar yang pinter ya, biar bisa jadi orang hebat." "Oke Bunda." "Jangan nakal ya di kelas. Harus baik ke semua teman-teman. Harus sopan sama guru. Oke." "Oke," ucap Zidan sambil menunjukkan jempolnya. "Bekalnya dihabiskan ya. Jangan lupa tawarin ke teman sebangku kamu juga. Ingat pesan bunda, jangan pelit sama teman." "Siap Bunda." Zidan tersenyum lebar. Zahra berdiri. "Nanti Bunda jemput seperti biasa. Jaga diri baik-baik ya, Sayang. Bunda pulang dulu." Zidan mencium punggung tangan Zahra lalu memeluknya. "Hati-hati, Bunda." "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Zahra beranjak pergi. Dia menuju parkiran, masuk kedalam mobil lalu meninggalkan sekolah. Zidan masuk ke kelasnya. Dia duduk di kursi paling belakang karena tubuhnya tinggi dari yang lain jadi bu guru menempatkannya di kursi belakang. Padahal sewaktu pemilihan bangku dia dapat kursi paling depan. Namun bu guru malah menyuruhnya ke bangku belakang. Zidan menyimpan tas, kotak bekalnya, dan botol minumannya ke kolong meja. Lalu dia duduk di bangkunya sendirian. Teman kelasnya belum ada yang datang satupun. Sepertinya dia kepagian hari ini. Tidak lama kemudian teman kelasnya datang. Dia melihat di depan pintu seorang perempuan yang berbincang dengan laki-laki yang berbadan tinggi. Sepertinya itu ayah dari temannya. Dia juga mendengar percakapan teman kelasnya itu. Kira-kira kapan ya dia bisa kaya temannya itu, diantar sama ayah? "Sayang, nanti ayah jemput ya. Jangan lupa makan siang dan jangan lupa kalau ada apa-apa telefon ayah. I love you gadis ayah," ucap pria dewasa itu pada anak gadisnya. "Siap Ayah," ucap anak gadis bernama Qila itu. Pria dewasa itu memeluk putrinya lalu memberinya ciuman hangat di kening. Zidan yang melihat Qila dicium sama ayahnya dia jadi iri. Andai aja dia punya ayah seperti ayah Qila yang baik dan perhatian. Namun papanya tidak sebaik ayah Qila. "Dadah Ayah!" Qila melambaikan tangan ketika ayahnya pamit pergi. Setelah ayah pergi Qila segera masuk kelas dan menyapa Zidan. "Hai, Zidan," sapa Qila si gadis paling cantik di kelas. Tidak cuma cantik tapi pintar. Selalu ranking pertama. "Hai, juga," balas Zidan sambil senyum. Qila menyimpan tasnya ke kolong mejanya. Dia duduk paling depan. Dia kemudian menghampiri Zidan. "Cuma kamu sendiri di kelas, yang lain mana?" tanya Qila. "Belum datang." "Ohh. Oo iya, hari ini kita ulangan matematika. Kamu sudah belajar belum?" "Udah." "Yakin?" "Iya." "Kalau gitu ayo kita lomba nilai siapa yang paling bagus. Nanti bakal dapat hadiah." "Nggak ah," tolak Zidan. Dia tidak tertarik untuk taruhan. "Kenapa, kamu takut kalah ya?" "Nilai kamu pasti lebih bagus. Kamu kan, selalu juara kelas." Zidan sudah pesimis duluan karena memang nilainya tidak pernah sebaik Qila. Qila selalu dapat 100 sedangkan dia hanya dapat 90 biasanya. "Ah, kamu payah. Masa nyerah duluan. Nanti kalau kamu menang aku akan beliin ps4 deh." "Aku gak main game." "Terus mainnya apa?" "Hm ... aku cuma punya mobil-mobilan." "Ya udah nanti aku beliin mobil yang bisa jadi robot." Zidan menghela napas. "Aku nggak akan menang dari kamu Qila." "Ah kamu nggak seru. Ayolah, kamu pasti bisa dapat nilai sebagus aku. Kamu kan, sudah belajar." "Ya udah iya aku mau." Zidan akhirnya mengalah. "Hore! Jadi kalau aku memang kamu akan kasih apa?" Zidan berpikir. Dia melihat rambut Qila yang dikepang 2. "Aku kuncirin kamu aja ya." "Hah, kamu mau kuncirin aku? Emang kamu bisa?" "Aku nggak ada uang buat beliin kamu hadiah yang bagus. Aku pandai kuncir rambut. Aku sering kuncirin rambut bunda aku. Kamu mau nggak kalau aku kuncirin?" Qila mengangguk senang. "Aku mau!" Zidan tersenyum. Teman-teman lain berdatangan. Qila beranjak ke bangkunya. Ketidak sudah duduk dia pun menoleh memandangi Zidan sambil tersenyum pada teman kelasnya itu. *** Zahra sampai di rumah. Dia masih melihat mobil suaminya yang terparkir di garasi. Berarti pria itu belum pulang ke Jakarta. Tumben sekali padahal biasanya El hanya semalam di rumah lalu paginya langsung pulang tanpa pamit. Tiba-tiba menghilang saja seperti hantu. Dia masuk kedalam rumah. Dia tidak melihat keberadaan pria itu. Dia ke meja makan untuk sarapan. Sampai sana dia melihat masakannya belum disentuh siapapun. Hanya ada bekas makanan Zidan. Namun, di meja dia menemukan makanan lain yang bukan buatannya. Sepertinya suaminya sudah sarapan dengan makanan yang dia pesan secara online. Kembali dia merasa sakit hati karena masakannya tidak dimakan suaminya. Zahra makan dengan tenang. Selesai itu dia membersihkan meja makan. Dia juga beres-beres rumah. Ketika ingin berberes di kamar dia melihat suaminya yang baring di ranjang. "Lama banget kamu," ucap El sambil mendudukkan dirinya. "Sekolah Zidan kan, lumayan jauh Mas dari sini," balas Zahra. Dia segera berberes. Kamar sangat berantakan. Sepatu, baju suaminya, bekas handuk pria itu berserakan di lantai. Mau mengomeli pria itu tapi dia takut. "Kamu bisa pesankan dia taksi. Nggak perlu kamu antar. Dia sudah besar nggak perlu dimanja terus-terusan!" "Dia masih kecil. Dia baru 7 tahun, dia masih butuh aku dan sebenarnya dia juga butuh papanya." "Alah, kamu terlalu memanjakan dia!" Zahra diam saja, tidak mau bertengkar dengan suaminya. El beranjak menghampiri Zahra. Dia memegang tangan wanita itu. "Jangan buat saya menunggu. Saya nggak suka!" Dia menarik Zahra ke ranjang tetapi Zahra malah melepaskan pegangannya. "Kamu mau menolak saya lagi?" "Aku nggak mau, Mas." Zahra melangkah mundur menjauhi suaminya. El melangkah mendekati wanita itu. Dia memegangi tangan Zahra kembali tapi kali ini pegangannya begitu erat sampai Zahra sulit melepaskannya. "Lepas, Mas. Aku nggak mau!" El menarik istrinya itu lalu mendorongnya ke ranjang sehingga tubuh Zahra jatuh ke tempat tidur. El membuka bajunya. "Kamu harus layani saya!" Zahra meneteskan air matanya. "AKU NGGAK MAU!" teriak Zahra ketika El menyentuh tubuhnya. "Kamu itu istri saya jadi sudah kewajiban kamu memuaskan saya!" El melepas paksa hijab Zahra sampai rambut panjang wanita itu terlihat. Terturai begitu rapi dan baunya sangat harum membuat El semakin menggila. Dia tidak peduli. Dia tetap menikmati tubuh Zahra meski wanita itu menolak dirinya. Dia melucuti pakaian wanita itu sampai semuanya terbuka. Dia melihat tubuh indah Zahra yang selalu terjaga. Dia menikmatinya tanpa peduli dengan tangisan wanita itu. Dia tetap melakukan apa yang dia inginkan. Dia merasa puas dengan tubuh istrinya itu. Kulit Zahra yang putih bersih menambah daya tariknya. "Aku nggak mau, Mas... aku nggak mau..." lirih Zahra sembari terus meronta sampai membuat El sangat marah. PLAK! El melayangkan tamparan ke wajah wanita itu membuat Zahra terdiam. El mencekram pipi istrinya. "Jangan sampai saya kasar sama kamu lebih dari biasa yang saya lakukan!" ancamnya. Zahra meneteskan air matanya lebih deras tanpa bersuara. Dia kini hanya pasrah. Perasaannya sangat sakit karena suaminya seolah orang asing yang ingin menodainya. Pria itu bahkan mengancam dirinya. Bukannya dia tidak mau melayani pria itu dengan baik tetapi pria itu memintanya dengan paksaan dan tidak memberinya nafkah batin dengan cinta melainkan cuma nafsu semata. El menjatuhkan tubuhnya di samping Zahra. Dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan sejak semalam. Akhirnya hasratnya bisa tersalurkan. Zahra terus meneteskan air mata. Dia menarik selimut menutupi tubuhnya. Dia memunggui pria itu. Tangisnnya pun semakin menjadi dalam mulut yang tidak bisa berkata-kata, hanya bungkam. El beranjak turun dari ranjang. Dia ke kamar mandi membersihkan tubuhnya. Setelah itu dia keluar dan melihat Zahra yang masih di ranjang dengan posisi membelakanginya. Dia memakai pakaiannya lalu kembali melihat wanita itu. "Kalau kamu marah karena saya menampar kamu, itu salah kamu sendiri karena menolak saya," ucapnya lalu pergi. Mendengar pintu terbuka. Zahra mengintip dan melihat suaminya sudah pergi. Dia bangkit. Dia menghapus air matanya. Dia mengambil pakaiannya lalu pergi membersihkan diri di kamar mandi. Di dalam dia menangis histeris sambil duduk di bawah hand shower. Meski suaminya yang menikmati tubuhnya tapi dia merasa ternodai oleh pria itu. Sebab El melakukannya seperti orang asing yang memperkosanya. Sehingga dia merasa sangat terluka karena hubungan intim yang dilakukan suaminya karena faktor nafsu bukan karena rasa cinta terhadapnya. Zahra keluar kamar mandi dengan wajah pucat. Dia memakai pakaiannya. Meski di rumah dia tetap menggunakan hijab. Selesai berpakaian dia pergi ke lantai bawah. Untuk menghibur diri rencananya mau menonton televisi. Namun ketika tiba di sana El malah ada di ruang itu. Dia tetap ke sana. Dia duduk di sofa yang berbeda dengan pria itu. Meski dia marah karena El yang sudah berbuat tidak sopan dengannya tapi dia tidak membencinya. "Mas, kalau boleh aku tau kamu pulang ke Jakarta kapan?" tanya Zahra. El memandang sinis istrinya itu. "Kamu mengusir saya? Ini rumah saya loh, berani sekali kamu bertanya seperti itu." "Aku nggak maksud gitu, Mas. Aku..." "Kamu nggak senang saya di sini?" El lalu memotong omongan istrinya itu. "Nggak gitu, Mas. Aku..." El menunjuk Zahra. "Dengar ya, ini rumah saya. Saya bebas mau berapa lama di sini. Harusnya kamu bersyukur saya lebih lama di sini!" "Aku senang ada kamu di sini, Mas. Tapi ... " "Apa?" tanya El sambil menaikan satu alisnya. "Apa bisa kamu menghargai aku. Aku ini istri kamu, Mas. Kalau kamu ingin menyentuh aku tolong lakukan dengan baik. Aku pasti memberikan apa yang kamu mau asal kamu memintanya dengan baik." "Ohh, kamu ingin mengungkit masalah tadi rupanya. Gitu ya kamu, nggak bisa apa bersikap biasa aja gak usah berlebihan!" "Kamu yang berlebihan, Mas! Bukan aku." El berdiri. "Saya yang berlebihan kata kamu!" Zahra menunduk diam. Perlahan dia meneteskan air matanya menahan sesak di dadanya. El berkacak pinggang. "Jika kamu nggak suka saya di sini! Lain kali saya nggak akan pernah pulang!" Mendengar perkataan pria itu, Zahra langsung mengangkat pandangannya dan meraih kedua tangan pria itu. Dia memohon. "Mas, aku mohon... kamu harus tetap pulang demi anak kita... maaf kalau aku membuat kamu marah... aku sangat senang kamu di sini..." El menarik tangannya. "Dengar ya Zahra! Kalau kamu masih mau melihat saya kamu jangan suka mengatur dan membantah saya! Paham kamu?" Zahra mengangguk. "Aku paham Mas," jawabnya sambil meneteskan air matanya. "Aku minta maaf..." Dia terlihat menyedihkan sekali. Namun, dia harus kuat demi putranya dan kedua orang tuanya. El duduk kembali. Sebenarnya dia malas berada di rumah ini. Dia juga malas berhubungan dengan istrinya. Namun, pacarnya masih marah dan tidak mau bertemu dengannya. Jadi dia terpaksa di sini. Jika dia pulang ke rumah orang tuanya dia akan ketahuan tidak berada di rumah istrinya. Meski orang tuanya di luar negeri tapi ada pamannya yang tinggal di rumahnya dan pria itu bahaya baginya karena pamannya tukang mengadu. Pria itu akan melaporkannya. Lebih aman dia berada di rumah ini meski merasa sangat tidak nyaman. "Aku permisi, Mas," pamit Zahra. Dia melangkah sambil menghapus air matanya. "Wanita cengeng," ketus El. "Harusnya aku tidak menikahi dia! Gara-gara dia aku tidak bisa menikahi wanita yang aku cintai. Sungguh sial!" umpatnya. *** Zahra ke kamarnya. Dia tengah tangisnya yang belum mereda tiba-tiba ponselnya berdering. Dia periksa ternyata orang tuanya menelepon. Cepat dia mengeringkan air matanya lalu mengakat telepon dari ibunya. "Assalamualaikum, Bu," sapa Zahra sambil mengusap sisa-sisa air mata di pipinya. "Waalaikumsalam. Zah, kamu apa kabar? Kenapa nggak kabarin ibu sepekan ini? Ibu khawatir sama kamu. Kamu baik-baik aja, kan?" Zahra menahan air matanya. "Zahra baik, Bu. Maaf nggak nelfon ibu soalnya Mas El datang jadi Zahra sibuk. Ibu gak usah khawatir Zahra baik-baik aja. Kabar Ibu dan bapak gimana?" "Syukurlah. Ibu dan bapak baik-baik aja. Rumah tangga kamu baik-baik aja, kan? El baikkan ke kamu." Air mata Zahra berhasil lolos. Isak tangisnya yang ingin keluar dia tahan sekuatnya. "Alhamdullillah baik Bu, Mas El sangat menjaga Zahra. Mas El selalu perhatian pada Zahra. Ibu nggak perlu cemas. Zahra sangat baik di sini." "Alhamdulillah. Zidan gimana kabarnya?" "Baik juga, dia makin pintar. Cucu ibu itu sholatnya udah rajin banget. Gak ada yang bolong lagi. Dia juga bilang kemarin dia kangen nenek sama kakek katanya." "Masyallah. Bilangin dia nenek dan kakek juga kangen. Kamu nggak ada niat mau pulang kampung?" "Hm... gimana ya Bu, Mas El sibuk jadi aku nggak enak kalau mau minta pulang kampung. Gak ada yang nganter juga." "Boleh nggak ibu ngobrol sama suami kamu sebentar?" "Aduh maaf Bu, mas El lagi ada kerjaan sekarang." "Ya udah gapapa. Salamin aja kalau gitu." "Iya Bu, nanti Zahra sampaikan." "Udah dulu ya, ibu mau masakin ayah kamu makan siang. Jaga diri ya nak di sana. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Zahra menyimpan ponselnya kembali. Dia pun kembali menangis. Kesedihannya bertambah. Lagi-lagi dia membohongi orang tuanya. Dia tidak berani jujur karena orang tuanya pasti merasa bersalah. Lebih baik sakit ini dia simpan saja sendirian. Daripada kedua orang tuanya tahu dan jadi nambah beban mereka. Di kampung orang tuanya sudah susah payah hidupnya, masa dia harus nambah beban mereka lagi. Lebih baik memang dia pendam sendirian. InsyaAllah dia masih kuat untuk menanggungnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD