Rumit Part 3

2543 Words
Zahra membuka matanya. Dia mendudukan diri. Dia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah 5 pagi. Dia merugas bangun. Sebelum melangkah ke kamar mandi dia melihat suaminya yang tidur di sofa. Dia mendekati pria itu. Dia menatap wajahnya dan tiba-tiba saja dia meneteskan air mata. Sudah bertahun-tahun dia hidup dengan pria itu, tetapi masih saja terasa asing. Bukan dia yang menginginkan hubungan yang hambar ini, akan tetapi pria itulah yang tidak menganggap kehadirannya. Entah dia harus berbuat apa agar lelaki itu bisa menganggap kehadirannya sebagai seorang istri? "Mas, aku mencintai kamu." Zahra mengusap lembut rambut pria itu dengan cinta. Dia menghapus air matanya. Sebelum meninggalkan pria itu dia menghela napas. Dia ke kamar mandi. Di dalam dia membersihkan diri lalu berwudhu. Dia melaksanakan sholat subuh. Sebelum sholat dia sempat menoleh melihat wajah suaminya. Andai dia bisa sholat berjamaah dengan suaminya. Andai dia berani membangukan pria itu dan mengajaknya sholat subuh bersama. Andai pria itu mau menjadi imamnya. Andai rumah tangga mereka tidak seasing ini, pasti sangat membahagiakan. Namun, sulit sekali untuk mencapai harapan-harapan itu. Dia hanya bisa berandai-andai yang entah jadi kenyataan atau tidak. Zahra menundukkan kepalanya menghadap sajadah. "Ya Allah, kuatkanlah aku selalu," ucapnya sambil menahan air mata. Zahra mengangkat tangan. "Allah huakbar." "Bunda!" Pintu terbuka dan masuklah anak kecil laki-laki sambil tersenyum ke wanita yang berdiri di hadapannya. Zahra tidak melanjutkan sholatnya melihat putranya. "Bunda, tunggu aku," ucap anak kecil yang memakai baju koko dengan sarung serta peci di kepalanya. Zahra tersenyum. "Ayo," ajaknya. Dia lupa jika putranya memang selalu sholat subuh bersamanya. Dia sangat bersyukur memiliki putra yang sholeh. Semoga saja putranya itu akan menjadi pria sholeh yang kelak bisa melindunginya dan membuatnya bahagia selalu. Anak kecil itu melarikan pandangannya pada sosok yang terbaring di sofa. "Apa itu Papah?" tanyanya sambil menunjuk. Tanpa menunggu jawaban, anak kecil bernama Zidan itu mendekati pria yang tidur di sofa. Iya, itu benar papanya. "Kapan Papa pulang? Kenapa Papa tidur di sini?" "Papa pulang tadi malam," jawab Zahra. "Kenapa Papa tidur di sini?" "Hm ... Bunda juga gak tau, Sayang." "Kenapa nggak bangunkan Papa untuk sholat?" Anak itu bertanya lagi. Zahra menunduk. "Aku bangunkan ya." Saat tangan Zidan ingin menyentuh tubuh El cepat Zahra menghentikannya. "Jangan." "Kenapa?" tanya Zidan bingung. Bukankah papanya juga harus sholat subuh. Zahra hanya menggeleng. Dia tidak mau Zidan dimarahi El. Cukup dia saja yang diperlakukan tidak baik jangan sampai ke putranya juga. "Apa papa kecapean?" "Iya. Kita sholat berdua dulu aja ya." "Tapi sholat subuh 'kan wajib Bun, nanti kalau papa gak sholat papa dapat dosa," protes Zidan. "Kata Pak ustadz orang dewasa wajib sholat karena sholat itu rukun islam yang kedua. Kalau nggak sholat Allah marah dan kita dapat dosa," tambahnya. Zahra cuma bisa diam. "Bun, papa nggak suka sholat ya?" tanya anak itu. Zahra hanya menatap Zidan tanpa bisa berkata-kata. Dia tidak mungkin menjelekkan suaminya di depan putranya. Maka lebih baik diam daripada berbohong atau mengumbar keburukan pria itu. Zidan tersenyum tipis. Dia meraih tangan bundanya. "Aku sholatnya sama bunda aja dulu. Papa nanti sholatnya sendiri aja." Zahra mengangguk setuju sambil melempar senyuman. Zidan segera siap-siap untuk sholat bersama bunda. Mereka berdua sholat dengan khusyuk. Selesai sholat Zahra dan Zidan berdoa begitu panjang. Mereka sama-sama meminta sesuatu yang mereka inginkan. "Ya Allah, Engkaulah tempatku berkeluh kesah. Engkaulah tempatku meminta pertolongan. Tidak ada siapapun lagi selain Engkau. Doa-doaku selalu sama Ya Allah. Tolong kuatkanlah aku dalam keadaan apapun. Kuatkanlah hati ini agar tidak mudah terluka. Tolong kuatkan aku agar aku bisa bertahan demi anak dan orang tuaku. Aku tak mengapa diperlakukan tidak baik oleh suamiku ya Allah, insyallah aku bisa menahannya tetapi aku sangat tidak tega jika melihat putraku diperlakukan sama sepertiku. Biarlah suamiku tidak menyukaiku tapi aku mohon buatlah dia menyukai putranya. Buatlah dia menerima anak kami. Aku mohon ya Allah, bukanlah hatinya untuk putra kami," ucap Zahra dalam hati sambil menadah tangan. "Ya Allah, aku sangat ingin memiliki ayah seperti teman-temanku. Aku ingin bisa bermain bersama papa. Aku ingin bisa diantar jemput sama papa. Aku ingin dipeluk papa, dibeliin mainan sama papa, diajak jalan-jalan, dan bisa sholat bersama. Aku juga ingin papa dan bunda bahagia. Aku sering melihat bunda menangis. Papa tidak memperlakukan bunda dengan baik tapi bunda selalu bilang bunda gapapa. Ya Allah tolong lindungi bunda. Aku juga janji akan jadi anak yang baik untuk bunda, aamiin," ucap Zidan dalam hati. Dia mengusap wajahnya dan menghapus air matanya. Dia tidak mau bundanya melihat dia menangis. Ketika bundanya berbalik dan mengulurkan tangan dia mencium punggung wanita itu lalu memeluknya. Dalam pelukan sang bunda dia tidak bisa menahan tangisnya. Dia pun mengeluarkan air matanya dengan desakan tangisnya. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Zahra sambil mengusap-usap punggung putranya itu. Zidan tidak mengatakan apa-apa. Hanya desak tangisan yang keluar dari mulutnya. Dia tidak bisa bercerita tentang dia yang sedih karena papanya tidak perhatian padanya. Dia tidak mau membuat bundanya sedih jika tahu perasaannya. Zahra menghapus air mata putranya itu. "Kamu nangis kenapa?" tanyanya lagi. Zidan menggelengkan kepala. Zahra memeluknya lagi sampai anak itu tenang. "Bunda..." Zidan melepaskan pelukan Zahra. "Iya, Sayang." Zidan mengedarkan pandangannya pada pria yang masih tidur pulas di sofa. "Kenapa papa datang ke sini lama... banget? Kenapa nggak setiap hari?" Zahra mengelus kepala anak itu. "Karena papa kerja sayang, jadi papa nggak bisa setiap hari ke sini." "Apa pekerjaan papa lebih penting dari kita?" Zidan bertanya lagi. Pertanyaan anak itu menusuk perasaan Zahra. Dia bahkan ingin menangis mendengar pertanyaan polos putranya itu. "Kita juga penting, Sayang. Papa sangat sayang sama bunda dan kamu," jawab Zahra sambil menahan air matanya agar tidak menetes jatuh. "Tapi..." Zahra memeluk putranya itu. "Kamu jangan mikir yang aneh-aneh ya, papa sangat menyayangi kita. Papa sudah menyempatkan waktu untuk kita walalupun papa pulangnya sebentar aja. Kamu harus tetap bersyukur." Zidan membalas pelukan bundanya. "Baik, Bun." Zahra mengusap lembut punggung anak semata wayangnya itu sambil bersenandung pelan hingga membuat Zidan ketiduran dalam pelukannya. Dia pun menggendong anak itu dan menempatkannya ke ranjangnya. Dia mengecup kening Zidan lalu memberinya selimut. "Maafin bunda, Sayang," lirihnya. Zahra mengemasi mukenah dan sajadah. Dia menyimpannya kembali lalu beranjak ke luar kamar untuk menyiapkan sarapan. Di rumah tidak ada ART. Dia tidak punya uang lebih untuk menyewa pembantu. Dia hanya memiliki uang secukupnya. El tidak terlalu banyak memberinya uang. Dia harus hemat. Belum lagi untuk biaya sekolah Zidan yang terbilang besar dan kebutuhan rumah tangga yang hampir sama besarnya. Di rumah ini mereka hidup dengan sederhana meski dia memiliki suami kaya tapi dia tidak enak jika harus meminta uang pada suaminya. Dia hanya menggunakan uang yang El kasih. Kadang juga mertuanya mengirimkan uang untuk Zidan. Mertuanya sangat jarang ke rumah ini karena mertuanya orang sibuk yang sering berpergian ke luar negeri. Maka dari itu El bisa seenaknya bersikap padanya karena orang tua lelaki itu tidak tahu menahu apa yang terjadi dengan rumah tangga mereka. *** Zidan membuka matanya ketika pantulan cahaya masuk dan menyinari wajahnya. Dia duduk dan melihat sekeliling. Dia di kamar mamanya dan dia melihat sosok papanya yang masih di sofa. Dia duduk di pinggir ranjang menatap pria itu. "Papa," panggilnya pelan. "Papa," panggilnya lagi. Dia turun ranjang menghampiri pria itu. Dia berdiri menatap wajah sang papa yang sangat tampan itu. Tangannya menggapai wajah papanya. Dia tersenyum. "Papa, mau antar aku ke sekolah hari ini?" tanyanya dengan suara pelan. Dia mencium lembut pipi pria itu. Dia tersenyum lagi. Dia meraih tangan pria itu. Dia menggenggamnya seolah sedang bergandengan tangan. Dia berhayal sedang jalan-jalan dan digandengan pria itu. Kelopak mata El bergerak, cepat Zidan menjauhi pria itu. Ekspresi wajah senangnya berubah menjadi ketakutan. Dia kembali duduk di pinggir ranjang ketika papanya mengucek mata. Pria itu bangun. Dia mendudukan dirinya. Ketika dia mengangkat pandangannya dia melihat anak kecil yang sedang menatap dirinya. "Siapa kamu?" tanya pria itu. Zidan tersenyum kecut. Bahkan papanya tidak mengingat wajahnya. Sangat menyakitkan. "Morning, Pa," sapa Zidan. El diam saja dengan tatapan dingin. "Apa tidur Papa nyenyak?" El tidak menanggapi. Dia meraih ponselnya yang di meja dan fokus ke ponselnya. "Papa," panggil Zidan lagi tetapi papanya tidak merespon. Pria itu sibuk dengan ponsel di tangannya. "Apa Papa lupa sama aku?" Mata Zidan berkaca-kaca. Papanya jarang pulang ke rumah mungkin pria itu sudah lupa dengan wajahnya sehingga menganggap dia ini orang asing. El mengangkat pandangannya menatap Zidan. Zidan tersenyum. Tiba-tiba saja air matanya yang di sebalah kanan menetes jatuh. Cepat dia menghapusnya. "Dasar anak cengeng," ketus El sambil meletakkan ponselnya di atas meja. Pria itu segera pergi ke kamar mandi. Zidan memastikan papanya sudah masuk ke kamar mandi. Dia kemudian beranjak. Dia melihat ponsel papanya yang di meja. Dia menyalakannya. Ponsel itu terkunci tapi wallpaper layar kunci itu mengejutkannya karena foto seorang wanita yang sangat asing. Foto itu bukan foto bundanya. "Wanita ini siapa?" Zidan bertanya-tanya. Lama dia melirik gambar wanita asing itu. "Apa yang kamu lakukan?!" tanya El yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia memergoki Zidan memegangi ponselnya. Zidan terkaget, dia membeku di tempat. El menghampiri anak itu lalu mendorongnya. "Dasar anak nakal!" Dia merampas ponselnya. Zidan yang ketakutanpun tidak bisa menahan air matanya. Dia pun menangis karena dibentak pria itu. Zahra yang menuju ke kamar mendengar tangisan Zidan. Dia mempercepat langkahnya. Sampai di kamar dia melihat Zidan yang menangis, dia pun menghampiri putranya dan memeluknya. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Zahra sambil menatap El. Zidan tidak menjawab dia hanya memeluk bundanya dengan erat. "Mas, apa yang kamu perbuat? Kenapa Zidan nangis seperti ini?" tanya Zahra pada suaminya. "Kenapa kamu malah menyalakan saya? Dia ini anak nakal yang tidak sopan! Tanya sama dia apa yang udah dia perbuat!" El melenggang pergi dari kamar. "Sayang, cerita ke bunda kamu kenapa?" tanya Zahra dengan hati-hati. Zidan melepaskan pelukannya. Dia menatap mata sang bunda. Apa dia harus bercerita jika di ponsel papanya memasang foto wanita asing? "Bunda yakin kamu nggak salah." Zahra menghapus air mata anak itu. "Bunda, maafin aku... hiks..." "Gapapa sayang, gapapa. Kamu anak baik." Zahra mengelus kepala Zidan. Ketika anak itu sudah tenang dia menggendongnya dan mendudukannya di pinggir ranjang. Dia melempar senyuman. "Anak bunda kuat. Anak bunda nggak nakal. Anak bunda pintar dan bunda bersyukur banget punya anak baik," ucapnya sambil mengelus kepala sang anak. "Makasih Bunda."Zidan tersenyum simpul. "Aku sayang Bunda." "Bunda juga sayang kamu." Zahra menoel hidung putranya itu. "Tapi anak bunda harus mandi dulu. Badannya bau asem." Dia menggelitik anak kecil itu. Zidan tertawa. "Ampun Bun, ampun..." "Ayo mandi dulu, siap-siap ke sekolah." Zidan mengangguk. Dia menggandeng tangan bundanya dan mengajak wanita itu pergi ke kamarnya. *** "Bunda, hari ini aku mau dianterin papa ke sekolah. Boleh nggak?" tanya Zidan yang sedang dipasangkan seragam sekolah oleh mamanya. Zahra selesai memasangkan seragam. "Sama bunda aja ya, Sayang." Wajah Zidan cemberut. "Aku maunya diantar papa..." Melihat wajah anak itu membuat Zahra jadi tak tega. "Insyaallah ya Sayang. Bunda tanya papa dulu." "Aku tanya langsung aja." Zidan melangkah pergi dengan berlari kecil. Zahra cepat mengejar anak itu dan menahannya. "Zidan, tunggu." Zahra menarik tangan Zidan. "Kenapa, Bun?" "Kamu sarapan dulu aja ya. Makanannya udah bunda siapakan di meja makan." "Tapi ..." Zahra menyamakan tingginya dengan putranya. "Zidan anak bunda yang pintar. Nurut ya sama bunda." "Oke deh." "Anak pintar." Zahra mengelus kepala bocah 7 tahun itu. Zidan pun segera ke meja makan dan Zahra pergi mencari suaminya. Sampai dia bertemu di ruang tengah. Dia melihat pria itu sedang bersantai menonton televisi. Dia takut mengganggu pria itu. Namun, jika dia tidak bicara pada pria itu maka Zidan akan terlambat ke sekolah. Jujur dia tidak berani meminta suaminya mengantar Zidan. Akan tetapi kali ini permintaan Zidan yang pertama kalinya. Anak itu tidak pernah diantar maupun dijemput ke sekolah oleh El. Mungkin putra mereka ingin diperhatikan. Maklumlah Zidan sudah besar dan ingin mendapatkan perhatian lebih dari papanya yang selama ini bersikap dingin dengannya. "Mas." Zahra memanggil pria itu. Namun tidak ada tanggapan apapun. "Mas ..." Dia coba lagi tapi tetap tidak ada respon. Dia mendekati pria itu. Dia berdiri di dekatnya. "Mas, Zidan minta diantar ke sekolah sama kamu," ucap Zahra takut-takut. El menoleh. "Kenapa harus saya? Kamu kan, yang biasa ngatar dia. Saya nggak bisa!" tolaknya langsung. Zahra menunduk. Sesuai dugaannya El pasti menolak. "Zidan sangat ingin kamu ngantar dia, Mas. Aku mohon kali ini aja." "Saya nggak peduli dengan anak itu! Jangan berani memaksa saya!" tekan El. "Mas, aku mohon hari ini aja. Zidan sangat ingin kamu mengantarnya ke sekolah. Dia sudah 7 tahun Mas, dia juga ingin seperti teman-temannya yang diantar jemput sama ayahnya. Selama ini kamu belum sekalipun mengantar dia. Kali ini aja aku mohon banget sama kamu tolong antar Zidan ke sekolah. Biar aku yang jemput. Kamu cukup antar dia." "Saya bilang tidak yang tidak!" Zahra mendudukan dirinya. Dia meraih tangan suaminya. "Mas, aku mohon..." El menepis tangan wanita itu. Dia berdiri menghadap istrinya itu. "Kamu ini nggak tau arti tidak, ya! Saya bilang nggak ya nggak! Jangan memaksa saya! Dia itu bukan anak saya!!" tekan El. "Saya tidak menginginkan anak itu! Urus anak itu sendiri!!" Dia beranjak pergi. Perlahan air mata Zahra menetes jatuh. Mungkin dia tahan jika yang diperlakukan buruk hanya dirinya tetapi ketika putranya yang ternyata juga tidak diperlakukan baik maka dia tidak bisa menahan rasa sakit hatinya. Dia beranjak bertemu Zidan, sebelum pergi dia mengeringkan dulu air matanya. Dia harus benar-benar terlihat ceria di depan putranya. Sampai di meja makan anak itu langsung menyapanya dengan senyuman manis. "Gimana, enak gak mie gorengnya?" tanya Zahra sambil duduk di depan kursi Zidan. "Rasanya enakkk banget," jawab Zidan sambil menunjukkan jempolnya. "Syukurlah. Kamu suka?" Zidan menganggukkan kepala. "Habiskan ya kalau gitu. Udah ini bunda antar ke sekolah." Zidan menelan makanannya. Lalu mengangkat pandangannya. "Kenapa bukan Papa?" tanyanya dengan nada kecewa. Zahra tersenyum untuk menutupi kesedihannya. "Papa masih capek, jadi sama bunda aja ya." "Papa gak mau ya, antar aku?" tanya Zidan dengan suara bergetar karena menahan diri agar tidak menangis. Mereka saling menatap. "Bunda." "Iya Sayang." "Apa papa lupa sama anaknya?" Alis Zahra bertaut, bingung jawab apa. "Apa aku bukan anak papa, Bun?" Mendengar pertanyaan itu membuat hati Zahra teriris. "Bun, apa papa itu bukan ayah aku?" Zidan bertanya lagi. Zahra menggeleng. "Kamu anak papa, Sayang. Kamu anak bunda dan papa." "Tapi...." "Lain kali papa pasti ngantar kamu ke sekolah." Zahra mengelus pipi putranya. "Hari ini papa masih capek. Papa kan, dari luar kota jadi perlu istirahat yang banyak. Kapan-kapan pasti papa bisa anterin kamu." "Kapan-kapan itu kapan?" Zahra terdiam. Dia juga tidak tahu pasti kapan itu kapan. Bisa saja besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau tidak sama sekali. "Papa pulang hanya sebentar lalu pergi lagi. Datang lagi lamaaaaa banget. Nanti nggak bisa antar aku lagi." "Sabar ya, Sayang." Zidan berhenti makan. "Iya, Bun." Dia turun dari kursi. Dia mengambil ranselnya yang dia simpan di samping kursi. "Ayo Bun, berangkat." Dia beranjak pergi dengan wajah murung. "Maafin Bunda, Nak," ujar Zahra merasa bersalah. Dia beranjak mengekori anaknya yang jalan di depannya. "Bun, apa papa akan pergi lagi hari ini?" Zidan berhenti di depan pintu. "Bunda belum tau, Sayang." Zidan meraih tangan Bundanya. "Bun, boleh tanya sesuatu?" Zahra mengangguk. "Apa Bunda yakin papa sayang Bunda?" Deg! Pertanyaan itu baru pertama kali terlontarkan dari mulut putranya. Zahra tersenyum. "Tentu sayang," jawabnya cepat agar sang anak tidak curiga. Zidan tersenyum. Dia memeluk Zahra. "Aku sayang, Bunda." "Iya, Bunda juga sayang kamu." Zahra menahan air matanya. "Kalau bukan karena kamu, mungkin Bunda nggak akan kuat di posisi ini," ucap Zahra dalam hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD