Rumit Part 2

1441 Words
El selesai mandi. Dia keluar dan melihat istrinya tengah menyiapkan baju ganti untuknya. Istrinya itu menoleh melihat ke arahnya. "Baju kamu sudah aku siapkan." Zahra tersenyum. Wanita 27 tahun ini pun memberikan pakaian untuk suaminya. El ambil pakaian itu dan segera memasangnya. Sampai selesai dia berpakaian istrinya itu masih setia menunggunya. "Aku sudah siapkan makan malam." Lagi Zahra tersenyum pada El. El bosan melihat senyum wanita itu. Wanita itu tidak perlu menyembunyikan kesedihannya karena dia tahu wanita itu hanya pura-pura tegar di depannya. Padahal usaha wanita itu tidak akan membuahkan hasil. Dia tidak akan iba pada wanita itu sedikitpun. Akan percuma saja wanita itu terlihat tegar, dia tidak akan pernah peduli. "Bisa kamu tidak tersenyum pada saya?" tanya El mematahkan perasaan Zahra kembali. Senyum Zahra memudar perlahan. Wanita baik hati itu pun menunduk tak berani menatap suaminya lagi. Karena takut tatapannya pun akan dipermasalahkan oleh pria dingin itu. "Masak apa kamu hari ini?" El mendaratkan bokongnya di sofa kamar. Dia lapar. "Sayur asem, ayam goreng, telur dadar, dan ikan goreng." "Masakan saya mie instan," pinta El. Zahra menahan perasaan pedih lagi di hatinya. Sudah jelas dia masak begitu banyak untuk suaminya itu karena suaminya memberi kabar sebelum kemari. Tapi El malah minta dimasakin mie instan. Bukankah kelihatan sekali jika suaminya itu tidak menghargai usahanya. Sudah 8 tahun pernikahannya sampai mereka dikarunia satu putra tapi sikap suaminya yang seperti itu tidak pernah berubah. Sudah pulang jarang dan saat pulang pun sang suami bersikap buruk padanya. "Kenapa masih berdiri di sini? Kalau tidak mau biar saya sendiri yang buat," ucap El dan ingin beranjak. "Biar aku aja, Mas." Zahra cepat pergi untuk memasakkan suaminya itu. Di luar kamar Zahra langsung meneteskan air matanya. Wanita yang berasal dari kampung ini ingin menyesali pernikahannya yang terjadi. Namun dia tidak bisa menolak perjodohan itu. Orang tuanya punya banyak hutang pada papa mertuanya. Hingga dia jadi pelunas hutang itu. Meski penampilannya sudah dia rubah tak seperti wanita kampung lagi namun tetap saja suaminya tak tertarik padanya. Menyedihkan lagi setiap kali orang tuanya bertanya apa pernikahannya baik-baik saja dan dengan terpaksa dia berbohong dan mengatakan jika semuanya baik. Zahra menghapus air matanya. Sampai di dapur dia cepat memasak apa yang El perintahkan. Saat sudah selesai membuat mie goreng dia letakkan di meja makan. Zahra kembali ke kamar menemui sang suami. Sampai di kamar dia melihat suaminya sedang telponan dengan seseorang. Entah dengan siapa tapi percakapannya terdengar mesra. Ingin cemburu tapi Zahra merasa tidak pantas untuk merasakan rasa itu karena dia tidak merasa memiliki El. "Mas, mienya sudah siap." "Aku makan dulu ya, bye." El memutuskan teleponnya. Dia beranjak dari ranjang lalu beranjak pergi dengan melewati Zahra begitu saja. Zahra mengikuti El. Sampai di meja makan mereka makan bersama. Di sela makannya Zahra memerhatikan sang suami. Dia cinta pada suaminya itu. Dalam benaknya selalu bertanya-tanya kapan suaminya itu akan mencintainya. Sebatas rasa suka saja sudah cukup untuknya. Tapi rasanya tidak mungkin. Menyentuh masakannya saja pria itu tidak mau. Apalagi menaruh perasaan padanya. Awalnya dia tidak menaruh rasa pada El. Namun karena dia sudah menjadi istri dari laki-laki itu dia pun belajar untuk mencintainya dan akhirnya berhasil. Apalagi setelah putra mereka lahir, dia tambah mencintai El walaupun El tidak meliriknya sedikitpun. "Mas, apa kenyang cuma makan itu aja?" tanya Zahra. El menatap Zahra sebenar lalu melanjutkan makannya kembali tanpa berucap apa-apa. "Mas juga harus makan nasi supaya tidak masuk angin nanti," tambah Zahra. El kembali menatap wanita di hadapannya. Dan berhenti makan gara-gara wanita itu. "Kamu pernah belajar gak sih? Nasi dan mie itu mengandung karbohidrat tinggi. Jika keduanya dimakan bersamaan tubuh akan kelebihan karbohidrat. Kalau tubuh saya kelebihan karbohidrat besar kemungkinan saya terkenal penyakit obesitas. Kamu mau saya terkena penyakit tersebut?" tanya El dengan tatapan dingin. Zahra perlahan menggelengkan kepalanya. "Gak usah sok perhatian pada saya. Saya jauh lebih tau mana yang terbaik untuk diri saya." El beranjak dari kursinya. Dia sudah tidak nafsu makan lagi. Wanita itu menghilangkan nafsu makannya seketika. "Mau kemana Mas?" tanya Zahra, berdiri. "Apa perlu saya laporan sama kamu setiap saat?" Zahra bungkam seraya duduk kembali. Zahra ditinggal sendiri di meja makan. Dia tetap melanjutkan makannya. Setelah selesai makan dia membereskan meja. Lalu dia pergi ke kamar anaknya. Meski anaknya baru 7 tahun tapi memiliki kamar yang berbeda. Namun tidak setiap saat anaknya itu tidur sendiri kecuali ketika El pulang ke rumah. Sampai di kamar putranya dia melihat putranya itu tidur dengan nyenyak. Zahra tersenyum melihat putranya yang tampan itu dan mirip wajah El. "Zidan, papa kamu pulang hari ini. Besok bangun lebih pagi ya. Supaya bisa main dengan papa." Zahra mengelus kepala sang anak lalu mengecup keningnya. "Selamat malam anak Bunda." *** El merebahkan tubuhnya. Dia lelah sekali hari ini. Mana kerjaannya di kantor ada yang belum beres ditambah lagi hubungannya dengan Ara yang lagi bermasalah. Cukup sudah menambah beban pikirannya. Ditambah pula melihat wajah istrinya membuatnya bertambah pusing. Mana istrinya itu banyak cincong. Hari ini betul-betul hari yang berat untuknya. Tak lama Zahra masuk kamar. Wanita itu menunduk saat sang suami melirik ke arahnya. Dia berjalan menuju ranjang dalam keadaan menunduk. Saat tubuhnya mendarat di ranjang dia memunggungi suaminya. Namun tak selang waktu lama ada tangan melingkar di pinggangnya. "Apa El memelukku?" batin Zahra. Sudah lama sekali El tidak menyentuhnya. "Saya butuh tubuh kamu malam ini," bisik El. Percuma jika dia pulang ke rumah ini jika tidak mendapatkan apa-apa. Lagian Zahra itu istrinya jadi dia berhak menyentuh tubuh wanita itu. Semenjak membuat putranya 7 tahun lalu dia berani menyentuh tubuh Zahra meski tidak dengan perasaan cinta tapi dengan nafsu saja. El membalikkan badan Zahra, menghadap dirinya. Wajah wanita itu terlihat gugup seperti waktu pertama kali mereka berhubungan badan. Sampai saat ini wanita itu masih tegang saja dengannya padahal mereka cukup sering berhubungan. Ya, sekitar 2 bulan sekali. Tidak terlalu sering juga. "Buka jilbab kamu," pinta El. Zahra menolak dengan geleng kepala. "Kamu menolak saya?" tanya El pada istrinya yang terasa orang asing itu. Zahra menggeleng. "Terus kenapa kamu nolak untuk membuka jilbab kamu? Saya gak bisa berhubungan dengan kamu jika kamu masih menggunakan penutup kepala." "Akan aku lepas. Jika Mas melakukannya kali ini dengan perasaan." El menatap dingin Zahra. "Jika tidak mau. Aku gak akan melayani kamu lagi. Aku capek menjadi boneka pemuas nafsu kamu, Mas. Aku ingin kamu melakukannya karena cinta bukan karena nafsu," tambah Zahra. El mendengus. Dia mengurungkan niatnya. Dia kembali berbaring terlentang tanpa sedikitpun melihat ke wajah Zahra. Dia sudah tidak mood berhubungan dengan wanita itu. "Sampai kapan kamu tidak menganggap aku istri kamu, Mas?" tanya Zahra dengan lirih. "Sampai kapan kita seperti orang asing?" "Aku capek seperti ini Mas. Aku juga ingin merasa cinta kamu. Apa gak ada sedikitpun niat kamu ingin menganggap aku sebagai istri kamu?" Bertubi-tubi Zahra melontarkan pertanyaan pada suaminya. El bungkam sambil memunggungi istrinya. "Orang tua aku taunya aku hidup bahagia sama kamu. Aku capek harus bohongin mereka terus. Apa gak ada rasa iba pada diri kamu terhadap aku?" "Siapa suruh orang tua kamu berhutang pada orang tua saya. Itu resikonya kalau kamu jadi orang miskin," ketus El. "Aku memang orang rendahan gak seperti kamu, Mas. Tapi aku juga punya harga diri dan tau menghargai orang lain." Meski dia wanita yang tertutup dan tidak sederajat dengan El. Akan tetapi bukan berarti dia tidak akan berani bicara. Akan ada saatnya dia murka dan mengungkapkan keresahannya selama menikah dengan pria yang tidak menganggapnya itu. "Percuma kamu punya hargai diri dan pandai menghargai kalau kamu gak punya uang. Semuanya nol," balas El. "Mungkin nol di mata kamu. Tapi jika aku memilih untuk berpisah dari kamu, kamu juga gak akan memiliki apapun. Kamu akan kehilangan semuanya." "Lakukan jika kamu berani. Saya tidak segan-segan akan menyakiti orang tua kamu yang penyakitan itu." Zahra terdiam. "Saya tidak akan pernah menaruh rasa apapun pada kamu," tegas El dengan gamblangnya. "Apa kamu juga tidak menganggap Zidan sebagai anak kamu?" tanya Zahra. "Iya." "Tapi dia darah daging kamu, Mas." "Terus kenapa? Aku harus peduli?" "Kamu harus peduli karena dia anak kamu." "Saya tidak akan pernah peduli karena saya tidak pernah menginginkan anak itu." Zahra memunggungi suaminya. Perlahan air mata membasahi wajahnya. Wanita itu kembali dihancurkan dengan kenyataan. Memang tidak ada harapan untuknya dicintai suaminya. Mungkin sudah saatnya dia mengikhlaskan jika suaminya memang tidak akan pernah menganggap dirinya. Sedangkan anak sendiri saja pria itu tidak menganggapnya ada apalagi dirinya yang tidak berarti apa-apa ini. "Dia anak kamu bukan anak saya! Adanya anak itu bukan kemauan saya tapi mertua kamu yang mau!" ketus El. Dia berangsur turun dari tempat tidur dan berbaring di sofa. "Kamu jangan berani mengancam saya Zahra. Saya bisa saja berbuat sesuatu pada kedua orang tua kamu yang melarat itu," ketus El. Zahra cuma diam saja dengan perasaan sangat sedih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD