bc

War of Wizards

book_age18+
49
FOLLOW
1K
READ
badboy
goodgirl
witch/wizard
tragedy
sweet
highschool
first love
like
intro-logo
Blurb

Axeline Robbespierre merupakan gadis yang hidup damai di sebuah desa. Tiba-tiba kedatangan seseorang bernama Alvero mengubah hidupnya. Pria itu mengatakan bahwa ia adalah anak dari Alexander Robberspierre, seorang pemimpin penyihir dari kalangan Mutant Wizards. Dunia Axeline berubah. Ia diharuskan terbiasa hidup bersama ayahnya yang kaku dan temperamen.

Di sekolah barunya, Axeline bertemu dengan Justin Bierne. Belakangan diketahui bahwa Justin Bierne merupakan golongan yang sama dengannya, yakni Mutant Wizards. Awalnya, mereka hanya terlibat belajar bersama karena Axeline lemah di pelajaran Matematika. Lambat laun, benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya. Hal itu menjadi sesuatu yang terlarang.

Dalam perjanjian Mutant Wizards, sesama penyihir Mutant Wizards dilarang memiliki hubungan percintaan. Hal itu membuat hubungan Axeline dan Justin menjadi rumit. Terlebih, Alex tidak akan memberikan toleransi pada siapa pun yang melanggar peraturan.

Di sisi lain, ada sekumpulan penyihir dari golongan Exterminators yang berusaha membunuh Axeline. Hal ini dikarenakan Axeline dianggap sebagai anak haram hasil pernikahan penyihir Mutant Wizards dengan Exterminators. Tentu saja itu menjadi permasalahan karena sejak dulu, kedua golongan penyihir itu bermusuhan.

Pada akhirnya, tugas Axeline dan Justin bukan hanya meyakinkan ayahnya untuk mengganti perjanjian konyol yang melarang sesama Mutant Wizards untuk jatuh cinta, melainkan memusnahkan pemimpin golongan penyihir Exterminators yang berusaha keras membunuh Axeline.

chap-preview
Free preview
1
Malam berkabut di jalanan sepi itu berubah begitu menegangkan bagi seorang anak laki-laki yang tengah berlari ketakutan menghindari kejaran. Napasnya memburu sedangkan dia tidak bisa menghentikan pelariannya andai dia masih ingin hidup. Sambil mengatur napasnya, dia berhenti tatkala barisan anak laki-laki lainnya menghadangnya di depan. “Gee,” desahnya. “Uhm, coba kita lihat dia. Satu Mutant Wizard yang tidak memiliki kemampuan istimewa.” Salah seorang di antara mereka yang memiliki wajah ketimuran membuka mulut. “Memudahkan tugas,” balas yang di tengah sambil menampakkan seringai lebar. Sebelah tangannya terangkat naik, mengulur pada sebuah tiang listrik seolah menyerap energi dari sana. Dalam hitungan detik sebuah pendaran cahaya berkilatan muncul dari telapak tangannya. “Jangan, kumohon.” Anak laki-laki di depan mereka menampakkan wajah ketakutan yang kental. Tanpa mendengar rengekan memohon itu, pendaran cahaya yang ada di telapak tangan salah satu di antara kelima anak laki-laki itu terlempar ke depan, menubruk anak malang tadi hingga membuatnya terlempar jauh dan jatuh dengan bunyi debuman keras. Dalam sekejap saja suara erangan yang ditimbulkan anak malang tadi menghilang dan terdengar tawa sarkastis dari kelima anak itu. Anak laki-laki yang berdiri di tengah menghampiri korbannya untuk memastikan keadaan. Sepertinya dia berhasil melenyapkan satu korban. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil, lantas mendekatkan di bibir korbannya hingga muncullah sebuah asap tipis keluar dari mulut si korban. Selanjutnya, dia menutup botol itu dan kembali ke kerumunan kawannya. “Saatnya pergi sebelum para Fighters muncul.” Tanpa menunggu lagi, kelima anak itu melesat bak roket menghilang dari tempat itu. Suasana lengang dan tegang masih tidak memudar walaupun lima anak itu telah meninggalkan lokasi kejadian.     Sebentar lagi memasuki musim dingin dan udara dingin mulai mengendap di kaca jendela membentuk uap. Axeline tengah menyibukkan diri membuat gambar-gambar melalui embunan di kaca jendela kamarnya sambil sesekali mengedarkan pandangan ke luar di mana terdapat bunga petunia kecilnya yang telah layu. Bibirnya terkatup membentuk satu garis lurus seiring terdengar sebuah suara di luar kamarnya. “Axel, bukakan pintunya, Bibi ingin bicara padamu.” Mata Axel mengerjap sebentar sebelum menggerakkan kakinya malas mendekati pintu. Tampaklah wajah teduh di hadapannya saat dia membuka pintu kamar. Seorang wanita paruh baya berdiri diimbangi senyuman manis madu. “Ada apa?” tanya Axel merasa tidak biasa dipanggil saat jam tidur siang. “Bibi ingin memberitahu sesuatu padamu, Sayang. Bersedia menerima Bibi ke dalam kamarmu?” Sepasang alis Axel tertaut keheranan. Axel membuka pintunya lebar memersilakan bibinya masuk ke dalam kamar. Bisa dikatakan kamar Axel sangat kecil, namun ditata lebih rapi sehingga kesan rumah kecil yang dia tempati tak tampak dari pemandangan seperti itu. Axel duduk di atas ranjangnya diikuti oleh bibinya, Dorothy. Kedua lensa mata Axel menatap Dorothy seolah yang akan disampaikan oleh bibinya bukanlah persoalan yang mudah. “Ada yang ingin aku katakan padamu, Axel.” Dorothy berdehem pelan. Dia merasa seperti ada yang menyangkut di tenggorokannya hingga membuatnya kesulitan berbicara. “Maaf kalau selama ini aku menutupi kebenaran darimu.” Lagi-lagi Axel memberikan respon dengan alis tertaut heran. Apa yang tengah dibicarakan oleh wanita di depannya kini? Berbagai pertanyaan berkelebat dalam kepalanya, terutama setelah melihat ekspresi yang ditampilkan oleh Dorothy. “Menutupi kebenaran seperti apa?” Awalnya Dorothy tidak ingin mengatakan hal itu lantaran sangat menyayangi Axel dan menganggap gadis itu seperti putrinya sendiri. Apabila dia kehilangan Axeline, artinya dia akan tinggal sebatang kara lagi. Akan tetapi, dia tak memiliki hak untuk mengurung Axel di rumah kecilnya itu. “Kau masih memiliki keluarga. Ayahmu masih hidup.” Dua patah kalimat tersebut meluncur dari bibir Dorothy yang membuat mata Axel tak berkedip beberapa detik. Selama ini yang diketahuinya adalah bahwa dia sebatang kara. Keluarganya meninggal karena kecelakaan mobil dan Dorothy menemukannya hingga merawatnya sampai seperti sekarang ini. Bagi Axel, ucapan tersebut tentu sangat aneh dan tak masuk akal. “Maksudnya, semua cerita itu bohong?” nada Axel berubah naik tiga oktaf. “Ayahmu menitipkanmu ketika kau masih bayi. Maaf, aku tak bisa menceritakanmu yang lebih karena itu bukan wewenangku.” Raut wajah Axel berubah seketika. Yang ada dalam benaknya kini hanyalah bagaimana sosok ayahnya yang telah lama meninggalkannya pada Dorothy. Walaupun dalam pikirannya masih terngiang pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ayahnya tega meninggalkannya pada Dorothy? “Kenapa kau bercerita padaku setelah sekian lama kau menutupinya?” tanya Axel. “Karena orang suruhannya akan menjemputmu besok lusa.” Dahi Axel berkerut heran. Baru saja Dorothy mengatakan padanya bahwa dia masih memiliki keluarga, dan mendadak dia mengatakan juga bahwa orang suruhan ayahnya menjemputnya besok lusa. Like, what the hell? Mengapa terliihat terburu-buru? Apalagi rahasia itu sudah disimpan selama hampir delapan belas tahun. Sekarang, rahasia seperti itu baru dibuka seperti makanan yang hampir basi. “Kenapa ayahku tidak menjemputku?” Ada nada kecewa dari ucapan Axel mengetahui bahwa bukan ayahnya sendiri yang menjemputnya. “Karena ayahmu adalah orang yang sangat sibuk.” Alasan itu masih bisa ditolerir oleh Axeline walaupun separuh hatinya mengatakan kekecewaan bahwa bukan ayahnya sendiri yang menjemputnya. Namun rasa kecewa itu tak sebanding dengan rasa senang Axeline yang akan bertemu dengan keluarganya. Rasanya, Axel sudah tak sabar lagi menunggu lusa.   Sebelum benar-benar meninggalkan rumah kecil Dorothy, Axel sudah menyiapkan semua barang-barangnya menunggu kedatangan orang suruhan ayahnya. Untuk yang terakhir kalinya pula Dorothy memanjakan Axel, karena dia tahu bahwa dengan perginya Axel dari rumah itu, artinya dia akan sulit bertemu dengan gadis yang sudah dirawatnya sampai tumbuh sebesar itu. Terdengar klakson mobil dari luar. Dari balik kaca jendela kamarnya, Axel mendaratkan pandangan ke arah sebuah mobil Ferrari 458 buatan Italia yang telah terparkir di samping pohon akasia. Ada perasaan aneh yang menggantung di dasar hatinya melihat mobil mewah itu. Pantas saja ayahnya tak bisa menjemput, dia pikir ayahnya adalah orang yang sangat sibuk. Axel mengepak barang-barangnya dibantu oleh Dorothy. Bagasi mobil Ferrari itu penuh dengan kopor gadis tersebut. Seorang pria jangkung dengan manik mata berwarna coklat gelap tampak sumringah melihat sosok Axel di hadapannya. “Selamat pagi, Young Lady,” sapa pria tersebut ramah. “Saya adalah Alvero, sopir yang ditugaskan oleh Lord Robbespierre untuk menjemput Anda sekaligus menjadi sopir pribadi Anda.” Alvero meraih telapak tangan Axel dan mengecupnya penuh hormat. Axel tak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu sehingga membuatnya mengernyit aneh. Ditatapnya Dorothy sebelum dia benar-benar pergi. Kedua mata wanita itu tampak teduh saat melayangkan tatapan pada Axel. “Nak, dengarkan pesan Bibi. Kau harus bisa beradaptasi dengan lingkungan barumu. Meskipun… hati kecilmu mengatakan tidak.” Terdengar deheman pelan dari Alvero. Hal itu dirasa Axel cukup ganjal. Namun dia tak ingin memikirkan hal seperti itu. Baginya, pertemuannya dengan ayahnya adalah sesuatu yang menyenangkan. Ya, walaupun dia akan merindukan Dorothy. “Bisakah aku berkunjung kemari?” tanya Axel penuh harap. Dorothy tidak membalas langsung sekedar berpikir. “Ngg… entahlah. Kalau Lord Robbespierre mengijinkanmu.” Kening Axel berkerut tidak suka. Entah mengapa ucapan Dorothy dianggap sebagai peraturan tertunda yang akan diberikan ayahnya untuk dirinya. Jujur saja, Axel paling suka melanggar peraturan dan benci diatur-atur. “Sudah saatnya untuk pergi, Young Lady.” Sambil mengerucutkan bibir, Axel merapatkan mantel karena salju mendadak turun detik itu. Sebelumnya Dorothy sudah memberi peringatan bahwa salju akan turun hari itu, hingga menyuruh Axel memakai mantel tebalnya agar tidak kedinginan. Axel melambai terakhir kalinya pada Dorothy. Pandangannya diedarkan ke seantero tempat. Dia pasti merindukan tempat itu, ayunan yang terletak di sebelah pohon ek danau buatan, dan juga Dorothy. Alvero sudah menghampiri mobil diikuti Axel di belakang. Dibukanya pintu untuk Axel. Akan tetapi, Axel belum sepenuhnya rela meninggalkan Dorothy. Tapi pada akhirnya dia masuk ke dalam mobil dan pintu ditutup pelan oleh Alvero. Untuk yang terakhir kalinya, Axel menatap Dorothy dari balik kaca jendela mobil yang mengembun. Dia melambai pelan untuk wanita tersebut saat mobil mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah Dorothy.   Belum pernah sedikit pun Axel mendapati bangunan besar yang berdiri megah bak menantang langit dengan angkuhnya saat Ferrari 458 yang mengangkutnya berhenti di halaman luas. Mata Axel seketika membulat kagum melihat bangunan ala Aaron Spelling’s Manor yang memanjakan indera penglihatannya. Di sisi kanan kirinya sudah terdapat berbagai patung malaikat serta dewa-dewa Yunani dan Nordik. Kaki jenjang Axel turun dari dalam mobil ketika pintu dibuka oleh Alvero. Beberapa pelayan datang berbondong-bondong menyambut kedatangan Axel seperti penyambutan seorang putri mahkota. Merasa tidak enak, Axel berusaha membawa salah satu kopornya. “Tidak, Young Lady. Ini tugas kami,” ujar salah seorang pelayan seraya membopong kopor Axel. Axeline mengatupkan bibir rapat sambil berjalan perlahan diikuti Alvero di belakangnya. Pintu besar berukiran huruf Latin terbuka lebar secara otomatis. Axel pikir pasti ada remot yang mengontrol gerakan pintu otomatis itu sampai membuatnya clingukan. Dia mulai melangkahkan kakinya kaku memasuki rumah. Tak pernah terpikirkan olehnya, hidupnya serasa di negeri dongeng. Rumah yang dia tempati begitu besar, megah, mewah, seolah dia sedang berada di sebuah istana, bukan rumah. “Axeline, welcome my dear, Axeline…” Seketika itu juga Axeline terperanjat kaget melihat sosok pria yang muncul di ujung tangga menyambutnya. Ujung bibir Axeline membentuk senyuman lebar melihat pria yang dia yakini sebagai sosok ayahnya. Pria itu terlihat sangat berwibawa saat menuruni tangga untuk menyambut putrinya. Dia mengenakan sweater abu-abu dengan kerah panjang menutupi leher dan dilapisi blazer hitam. Tampak wajahnya memang mirip dirinya, kecuali kedua matanya yang berwarna abu-abu karena mata Axel adalah biru keabuan. Sesampainya di bawah, pria tadi memberikan perintah Alvero untuk pergi. Lantas berjalan mendekati Axel sambil merentangkan tangannya. Karena selama ini Axel tidak pernah bertemu sosok pria itu, dia menyambut rentangan tangan dan pelukan itu begitu kaku. “My daughter. Or should I call you my little Princess?” ujar pria tadi, Lord Robbespierre sambil melepas pelukannya. “Kau tampak cantik. Maaf Dad tidak menjemputmu karena baru sampai dari Norwegia.” “Tidak apa.” Axel menyunggingkan senyuman aneh. “Maaf, aku sedikit kaku karena belum pernah bertemu denganmu.” “Oh, tak apa, My dear.” Lord Robbespierre terkekeh pelan sambil mengelus rambut putrinya. “Lambat laun kau akan terbiasa. Di sinilah rumahmu.” “Aku…” Axel mengedarkan pandangan ke seantero sudut ruangan. “Aku tidak terbiasa dengan kemewahan.” “Tidak apa, My dear. Dad memakluminya. Sekarang, istirahatlah karena Dad yakin kau sangat kelelahan.” Lord Robbespierre bertepuk tangan beberapa kali sebagai kode. Tak berselang lama, dua pelayan dengan seragam senada muncul mendekat. “Dia adalah putriku, kalian sudah tahu kan? Nah, tunjukkan kamarnya.” Lord Robbespierre beralih menatap Axeline. “My dear, kita akan lanjutkan perbincangan kita saat makan malam. Dad akan menjelaskan segalanya padamu.” Sebelum pergi, Lord Robbespierre mengecup kening putrinya. Setelah itu senyuman merekah dari bibirnya ketika melihat Axeline diantar menuju kamarnya oleh dua pelayan tersebut. Padahal Axeline begitu senang mengetahui dia memiliki keluarga yang masih hidup, namun entah mengapa kelakuan janggal ayahnya membuatnya seolah tak nyaman berada di tempat itu. Apalagi perlakuan istimewa yang dia terima. Axeline bukanlah gadis yang suka bermanja-manja.   Axeline hampir mati berdiri melihat kamarnya yang didekor begitu mewah dan indah bak kamar putri kerajaan. Matanya melotot menyadari tatanan kamar barunya. Munafik apabila dia menampik perasaan senang dan kagum yang menggerayangi tubuhnya. Bahkan dia ingin melompat di atas tempat tidur barunya. “Well, selamat datang di negeri dongeng, Axeline.” Axeline berseru kegirangan melempar mantel sembarang tempat dan meloncat ke atas ranjang. Dia tidak pernah merasakan kemewahan seperti yang didapatnya saat ini. Walaupun rumah yang ditempatinya seperti kuburan yang suram, Axeline senang kalau kamarnya tampak terang benderang dan nyaris sama seperti yang dibayangkan sebelumnya. Dia bersiap-siap dengan mandi air panas dan membuka almari besar kamar tersebut. Mulutnya terbuka lebar menyadari keberadaan baju-baju mahal yang tergantung di dalam almari. Dikeluarkannya baju-baju itu dan memilah mana yang dia suka. Sungguh sempurna bukan hidupnya? Ya, andai saja dia tahu bahwa di balik kesempurnaan itu, tersimpan berbagai hal yang tak akan pernah dia sadari sebelum ini.   Makan malam pertamanya berlangsung kaku. Ayahnya tidak banyak bicara di meja makan. Alasan pertama karena tidak sopan jika bicara dalam keadaan mulut penuh. Axeline mengerucutkan bibirnya memandang barisan piring yang dipenuhi makanan-makanan mewah serta lezat. Entah kenapa perutnya seperti dililit melihat semua makanan itu. “Kenapa tidak makan, My dear?” tanya Lord Robbespierre seraya mengelap mulutnya dengan serbet. “Honestly, I’m a vegan, Daddy.” Lord Robbespierre terkekeh pelan mendengar balasan putrinya. “Astaga, ayah macam apa aku ini tidak tahu kalau putrinya adalah vegetarian?” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Satu jentikan jari terdengar di meja makan dan otomatis pelayan yang berdiri di dekat meja makan tersebut maju. “Putriku vegetarian. Ganti makanannya.” Sambil menunduk hormat, pelayan itu melenggang pergi untuk mengabarkan koki di dapur dan memasakkan makanan vegetarian yang baru. Waktu senggang itu digunakan oleh Lord Robbespierre untuk berbicara dengan putrinya. “Nah, kita memiliki jeda waktu yang lumayan sambil menunggu makananmu datang,” ujar Lord Robbespierre. “Dad sangat menyesal meninggalkanmu delapan belas tahun yang lalu.” “Kenapa?” Dahi Axel berkerut heran. “Tidakkah itu sangat tak manusiawi meninggalkan putrinya yang masih bayi dalam asuhan orang asing?” “Sebenarnya Dorothy bukan orang asing.” Lord Robbespierre meneguk wine dalam gelas berkaki di depannya. “Dia adalah orang kepercayaan keluarga Robbespierre. Dan untuk menjamin keselamatanmu setelah kematian ibumu, Dad memberikanmu pada Dorothy.” “Menjamin keselamatanku?” nada Axel berubah aneh. “Kenapa begitu? Dan, apa penyebab Mom meninggal?” Lord Robbespierre menatap lurus-lurus putrinya sembari bertopang dagu. “Ada banyak hal yang tak patut kauketahui, Axeline. Dan, belum saatnya kau mengetahui itu. Lambat laun kau akan mengerti.” Sudah berulang kali Axeline bilang kalau dia benci ada rahasia di sekelilingnya. Namun apa daya, Axeline hanya mengerucutkan bibir miring menanggapi penjelasan ayahnya. “Dad sudah mendaftarkanmu di sebuah sekolah baru. Kau akan diantar jemput oleh Alvero untuk sementara waktu sampai kau beradaptasi di kota ini dan mengemudikan mobilmu sendiri.” Mendadak senyuman lebar merekah dari bibir Axel. Mau tak mau dia senang mendengar bahwa ayahnya memberinya sebuah mobil untuk dikemudikan seorang diri. Well, tidak buruk juga. Mobil baru, aku menantimu, pikir Axeline riang.   Sekolah yang dikatakan ayahnya memang luar biasa bagus. Axeline menengadahkan kepalanya sekedar mengagumi bangunan sekolah barunya tersebut. Kakinya melangkah pelan memasuki bangunan itu untuk menghadiri kelas pertamanya. Sebuah kertas telah tergenggam di telapak tangannya. Jadwal baru yang diberikan oleh pihak registrasi. Nyali Axeline menciut melihat seluruh siswa di sekolah barunya yang berdandan ala putri bangsawan. Sekolah ini tampaknya bukan sekolah biasa. Dia bisa merasakan itu. Ya bagaimana tidak luar biasa? Ayahnya adalah orang kaya, otomatis Axeline disekolahkan di sekolah yang hebat dan mahal. Kelas pertama gadis itu adalah Tata Negara. Guru yang tengah menerangkan pelajar harus menunda dulu setelah melihat kedatangan Axeline. “Oh, kau pasti Miss Robbespierre.” Suara gaduh terdengar seantero kelas menyebut nama Robbespierre. Axel paling benci dihujani tatapan tajam seperti itu sehingga membuatnya memutuskan untuk tak menatap teman-teman barunya. “Ya, ini adalah kelas pertama saya,” ujar Axel. “Silakan duduk di sebelah Miss Kierkegaard.” Guru Tata Negara tersebut menujuk sebuah bangku. Dari kertas yang dibawanya, Axel mengetahui nama guru Tata Negaranya, Mr. Burwell. Dia duduk di bangku kosong yang telah ditunjukkan Mr. Burwell, mengabaikan tatapan-tatapan aneh di kelas tersebut. “Putri seorang jutawan rupanya.” Seorang gadis di sebelah Axel tersenyum ramah. “Aku Caleste Kierkegaard.” Axel menyambut senyuman ramah gadis di sebelahnya itu. “Hai, aku Axeline Robbespierre.” “Beruntung sekali kau bermarga Robbespierre.” “Apa untungnya?” Caleste menggigit bawah bibirnya. “Masa kau tidak tahu kalau keluargamu begitu dihormati banyak orang karena darah bangsawan masih terasa kental pada tubuh kalian?” Ucapan Caleste baru saja membuat Axeline terbahak dalam hati. Dia bahkan tidak menyadari bahwa orang-orang menganggapnya sangat istimewa di sana. Yang ada di benak Axel adalah dia hanya gadis biasa yang dibesarkan di lingkungan rakyat biasa. “Aku tidak merasa seistimewa itu.” Axeline menyengir lebar. Caleste tersenyum dan mengalihkan perhatiannya menyadari tatapan Mr. Burwell.   Kafetaria tampak ramai di jam istirahat pertama saat Axeline dan Caleste melawan arus anak-anak yang berjubelan. Sejujurnya, Axeline membenci keramaian. Namun dia tak enak hati menolak ajakan kawan barunya itu. Sampai akhirnya mereka berdua bisa bernapas lega telah mendapatkan tempat duduk. Axel menselonjorkan kakinya sambil merosotkan tubuh di atas kursi kafetaria. Di depannya, Caleste mulai melahap hotdog yang telah dipesannya. Caleste hampir tersedak menyadari bahwa baki makanan Axeline hanya berisi buah apel, diet coke, dan sandwich bayam. “Kau sedang diet?” tanya Caleste menunjuk barisan makanan yang dipesan Axel. Axeline menggelengkan kepalanya. “Aku vegetarian.” “Kau sama sekali tidak tertarik makan daging?” Lagi-lagi Axeline menggeleng. “Aku mual membayangkan daging binatang hidup yang dimasak. Maksudku, membayangkan binatangnya langsung. Seperti yang kaumakan itu…” Gadis itu menunjuk hotdog yang dibawa Caleste. “Aku membayangkan sosis yang kau makan adalah sapi hidup.” Otomatis Caleste menaruh hotdog dan memuntahkan makanannya ke dalam kantung kertas. Axeline merasa bersalah telah mengatakan itu pada Caleste sampai membuat gadis itu muntah. “Oh Gosh, I’m so sorry,” pekik Axeline. Caleste mengerjapkan matanya sambil meraih soda di atas baki dan menenggaknya sampai habis. “Ya ampun kenapa aku jadi berpikir dua kali untuk makan daging?” Benar-benar polosnya gadis yang berada di depan Caleste saat itu. Axeline memberikan tatapan minta maafnya. Kebetulan sekali saat itu pandangan Axeline mengarah pada sebuah arah di mana terdapat tiga anak laki-laki rupawan memasuki kafetaria dihujani tatapan tergila-gila oleh sebagian gadis di sini. Tatapan Axeline lebih tepat di arahkan pada seorang anak laki-laki yang berjalan di depan, seorang anak laki-laki dengan potongan rambut spike dan raut wajah innocent. “Tidak baik memandang mereka seperti itu kalau kau tak mau bermasalah dengan ketiganya.” “Excuse me?” mendadak Axeline mengalihkan perhatiannya lagi. “Hm.” Caleste melipat tangannya dan memandang barisan tiga anak lelaki rupawan tadi. “Tiga serangkai. Mereka bertiga sangat dihormati di sekolah ini. Kau lihat yang pirang?” Caleste menunjuk anak laki-laki berambut pirang pasir. “Cody Sanders. Di sebelahnya adalah Austin Mason. Dan yang terakhir…” Telunjuk Caleste otomatis diturunkan ketika anak yang akan ditunjuknya tadi memakukan pandangan padanya. “Justin Beirne.” Axeline mencebikkan bibirnya melihat ketiga anak yang duduk di sebuah meja dekat dengan konter makanan. “Tapi kurasa mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan denganmu.” Caleste menatap Axeline seolah tak ingin membuat kontak mata dengan ketiga anak itu. “Kau bermarga Robbespierre, Gurl. That’s amazing.” Mengapa Caleste tak henti-hentinya mengelu-elukan marga Axeline? Begitulah benak Axel berkata. Dia merasa biasa saja dengan marganya. Apalagi tak ada yang istimewa darinya. Mungkin dia saja yang belum menyadari suatu hal yang ada pada dirinya.   Axeline tengah berjalan sendirian tanpa ditemani Caleste lantaran mereka memiliki jadwal yang berbeda. Sambil membaca sebuah buku di tangannya, Axeline berjalan perlahan di tepi kolam. Dia memiliki jadwal berenang setengah jam yang akan datang. Namun, dia sendiri yang memutuskan untuk datang lebih awal sampai anak-anak lainnya muncul. Tanpa disadarinya, dia menubruk seseorang di hadapannya sampai terdengar bunyi benda tercebur. Otomatis Axel mengatupkan bibirnya dengan kedua telapak tangan menyadari tiga anak lelaki di hadapannya kini. Dilihatnya wajah salah satu dari mereka, yakni yang ada di tengah dan baru dia teringat namanya adalah Justin Beirne. “Look your step. Kau menjatuhkan ponselku ke dalam kolam,” ujar cowok tersebut. “Maaf,” desah Axeline. “Maaf tidak berlaku jika kau sedang berhadapan denganku.” Mendadak kaki gadis itu lemas dihujani tatapan tajam seperti itu. “Aku akan mengganti ponselmu. Janji.” “Mengganti?” Justin tertawa sarkastis mendengar ucapan Axeline. Dua kawannya mengikuti setelah itu. “Aku mau kau mengambil ponselku di dalam kolam itu.” “What?” “What is not sentences clause.” Bibir Axeline mencebik kesal. Karena tak ingin terlibat masalah di awal dia masuk sekolah itu, pada akhirnya dia menuruti perintah Justin. Diletakkannya buku yang dia genggam. Tangannya hendak melepas jaket yang dia kenakan. Namun mendadak Justin menarik jaket gadis itu. “Aku tidak mau kau melepas jaketmu karena aku tidak sudi kau memamerkan tubuhmu di depanku.” What the f**k? Axeline menautkan alisnya kesal. “Lalu, aku menceburkan diri dengan keadaan begini??” “Kenapa tidak?” Astaga dia jahat sekali. Axeline bersungut-sungut kesal. Bagaimana lagi, semua itu karena keteledorannya. Tanpa melepas jaketnya, Axeline menceburkan diri ke dalam kolam dan mencari-cari ponsel Justin yang baru saja dijatuhkannya. Tawa keras terdengar dari ketiga anak itu. Beberapa menit setelahnya, Axel muncul dengan ponsel di tangannya. Dia mengatur napasnya dan berenang menuju ke tepi. Dipandangnya ketiga anak menyebalkan di atasnya kini, lantas mengulurkan ponsel itu pada Justin. “Ini punyamu,” ujarnya kesal. “Ponsel itu sudah rusak. Ambil saja,” dengan entengnya Justin membalas seperti itu. Sambil tertawa mengejek, ketiga anak laki-laki itu meninggalkan Axeline di dalam kolam. Segala makian dilemparkan oleh Axeline telah dikerjai ketiga anak itu sampai membuatnya menceburkan diri dengan keadaan memakai jaket. Untung saja suasana kolam masih sepi sehingga tak ada yang melihat kejadian memalukan seperti itu.   Akibat ulah Justin tadi siang, Axeline harus pulang tanpa mengenakan jaket sedangkan udara di luar terasa begitu dingin. Awan menampakkan warna mendung yang menandakan bahwa sebentar lagi hujan atau salju turun membasahi kota. Sambil menunggu jemputan, Axel menunggu di depan gedung sekolah. “Hai,” seseorang menyapa Axel dari belakang yang membuat gadis itu menoleh dan mengulaskan senyuman. “Menunggu jemputan?” “Ya. Kuharap salju tidak turun secepatnya.” Axel tersenyum kecut. “Aku pulang dulu ya.” Anak perempuan itu tanpa sengaja menyenggol telapak tangan Axel sebelum pergi. Ada beberapa hal yang aneh terjadi saat tangan Axel bersentuhan dengan gadis itu. Dia seakan mendapatkan bayangan semu, melihat temannya itu tertabrak sebuah mobil dalam kecepatan tinggi. Secara instingtif, Axel berseru pada gadis itu. “Hati-hati, Terry!” Merasa dipanggil, gadis itu berhenti dan menoleh ke belakang dengan pandangan tanya. Bahunya terkedik heran mendengar ucapan Axel. “Apa?” Belum sempat Axel membalas lagi, sebuah mobil datang dari arah timur melesat dalam kecepatan tinggi dan menabrak gadis itu hingga membuatnya terpental jauh. Seluruh orang di sekitar sana berseru gaduh dan berbondong-bondong menghampiri gadis tersebut untuk menolong. Axel tercengang melihat kejadian itu. Jantungnya mencelos berdebaran seolah apa yang baru saja dilihatnya adalah sebagian dari delusinya. Baru saja dia mendapat penglihatan seperti itu dan beberapa detik kemudian terjadi begitu saja. Siapa yang tidak tercengang jika berada di posisinya? Dari kejauhan, Axel mendapatkan tatapan aneh dari Justin yang bersandar di badan mobilnya. Tatapan Justin beralih seketika dan dia melangkah memasuki mobil. Axel masih mematung di tempatnya seperti orang t***l. Sangat syok.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.0K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.8K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook