Bab 3

2145 Words
Fahri terus saja mendesak, agar Farhana segera memenuhi surat wasiat ayahnya. Memang tugas Harun sebagai ayah, kini digantikan oleh Fahri, dia sendiri yang akan memecut Farhana, jika anak itu terus saja membangkang.  Sudah sejak kemarin Farhana memikirkan ini. Sejujurnya dia lelah dan dia sudah tidak tahan lagi dengan desakan Fahri terhadapnya. Farhana terus memerangi batinnya sendiri, dia tidak ingin menyesal dengan menikahi pria yang tidak dia cintai, bahkan sampai harus mengorbankan semua mimpi-mimpinya.  Sudah sejak kemarin pula air mata Farhana kering, seolah habis tak bersisa, percuma saja dia menangisi hidupnya tanpa ada upaya, toh isi surat wasiat itu tidak dapat diubah.  Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, Farhana berjinjit ke luar dari rumah, pintu dia buka dengan sangat pelan, lantaran takut jika deritnya membangunkan seluruh  penghuni rumah yang baru saja terlelap.  Dia berhasil ke luar mengenakan pakaian super mini dilengkapi cardigan panjang hanya agar tidak kedinginan saat mengendarai motor. Farhana telah menanggalkan pakaian muslimahnya, kini dia menuntun motor menuju jalan yang jauh dari rumah, setelah dirasa aman, Farhana menghidupkan motor dan melesat pergi dari depan rumahnya.  Dalam keadaan frustasi, seseorang memang bisa saja kehilangan akalnya. Farhana bahkan berani menentang apa yang sudah Tuhan wajibkan pada dirinya sebagai muslimah. Jika saja keluarganya tahu, tentu itu akan membuat mereka kecewa. Mungkin Fahri akan katakan, “Ayah akan sedih jika dia lihat kamu seperti ini.”  Farhana tak mempedulikan apa yang akan terjadi jika Fahri dan ibunya tahu soal ini. Dia terus saja menggeber motornya.  Hiruk pikuk Ibu Kota memang tak pernah sepi, meski langit semakin gelap, waktu semakin malam, tetap saja ramai orang-orang yang sengaja datang ke bar, tempat Farhana berdiri sekarang.  Entah bisikan gaib dari mana, hingga Farhana memutuskan untuk datang ke tempat seperti ini. Setelah dia memarkirkan motornya, dia pun masuk ke dalam, menunjukkan tanda pengenal pada orang yang berjaga di depan bar. Cara seperti itu dilakukan agar orang yang masuk ke sana tidak sembarangan. Hanya orang-orang yang sudah cukup umur yang boleh datang ke tempat seperti itu.  Farhana duduk di depan bartender. Dia memesan satu gelas alkohol jenis gin, kadar alkohol yang dikandungnya berkisar 35 sampai 55 persen. Farhana mengangkat gelas itu di depan wajahnya, dia menatapnya cukup lama, haruskah dia lakukan itu? Hatinya terus berbisik agar Farhana tidak melakukan dosa dengan meminum minuman haram itu. Namun, otak secara sadar memberi Farhana izin untuk mencobanya.  Entah makhluk jenis apa yang sedang menguasai Farhana saat ini. Dia benar-benar seperti orang yang kehilangan akal sehat. Selain Farhana mengumbar aurat, dia pun hendak minum minuman yang sudah diharamkan oleh agamanya. Farhana bukan tidak tahu, kenapa khamar dilarang, itu karena dapat memabukkan.  Namun, Farhana tak menghiraukan larangan itu, dia langsung menenggaknya sembari tengadah. Rasa asam begitu kuat di mulutnya. “Kenapa orang suka minuman seperti ini?” gumamnya sembari mengetukkan gelas ke meja.  “Saya mau yang lain,”  ucapnya pada bartender. “Saya mau coba semua jenis minuman yang ada di sini,” tambahnya dengan angkuh.  Tugas bartender adalah menyajikan minuman di balik meja bar. Dia menyediakan tujuh gelas minuman beralkohol di atas meja bar tepat di depan Farhana.  Satu gelas alkohol jenis gin sudah kosong. Kini tersisa enam gelas dengan kadar alkohol yang berbeda-beda. Menggunakan shot glass, gelas berukuran kecil yang hanya menampung 30 mililiter air saja. Sehingga memudahkan Farhana untuk menenggak minuman itu satu-persatu.  Di gelas ketiga, Farhana sudah bersendawa. Perutnya terasa seperti di kocok. “Kamar mandi di mana?” tanya Farhana pada pria yang sedari tadi fokus padanya.  Riuh musik yang dimainkan DJ membuat gendang telinga Farhana sakit. Dia berjalan gontai ke luar dari bar tersebut. Farhana naik ke atas motor dan siap melaju. Namun, bartender menyusulnya. “Hei dia belum bayar,” pekiknya seraya mengejar motor Farhana yang sudah melesat dari tempat terkutuk itu.  “Mana?” tanya satpam seraya ikut mengejar.  Farhana terus melajukan motornya, dia sadar pria berbadan besar sedang mengejarnya menggunakan motor. Sepanjang jalan Farhana tertawa, tak pernah dia sebebas saat ini.  Farhana terus melajukan motornya dengan kencang. Dia melakukan itu di luar kendalinya. Kemudian, Farhana masuk ke sebuah halaman rumah dan turun dari motor.  Tanpa adab dia mengetuk pintu rumah itu dengan keras. Sebelum si pemilik rumah membukakan pintu, dia terus membuat kebisingan dengan memukul-mukulkan tangan ke daun pintu.   Tiba-tiba pintu terbuka dengan lebar, namun Farhana yang masih setengah sadar tak sengaja memukul d*da Gias. Gias segara menahan tangan Farhana.  “Hana?” Gias terkejut saat mendapati Farhana dalam keadaan seperti ini. “Kamu kenapa?”  Dia segera membawa Farhana masuk ke dalam. Beruntung ibunya Gias sedang ada di Batam. Hanya ada dirinya sendiri di rumah itu. Farhana menjatuhkan kepalanya yang sudah berdenyut itu ke d*da Gias.  Dia kemudian menangis sembari memeluk pinggang pria itu.  Gias hanya mematung dengan kening yang mengkerut, akibat rasa herannya melihat Farhana yang menjadi seperti ini, dengan pakaian terbuka dan dalam keadaan bau alkohol. “Kamu mabuk?” tanyanya sembari tertunduk menatap kepala Farhana di dad*nya.  Farhana tak menjawab. Dia masih menyandarkan kepala di d*da Gias. Gias masih tak membalas pelukan wanita itu, tangannya masih menjuntai ke bawah. Kemudian Farhana terdongak dan mendaratkan bibir di bibir Gias cukup lama, membuat Gias terkesiap dengan kedua mata yang membola. Jantungnya berdenyut keras, seolah sesuatu meronta di balik dad*nya.  Sungguh Gias bukan laki-laki amoral yang mencuri kesempatan dalam kesempitan. Dia hanya laki-laki biasa yang mencoba bertahan di tengah godaan besar menerpa. Dan kini dia hanya terdiam, mematung tanpa membalas apa yang dilakukan Farhana terhadapnya.  Perlahan Farhana menjauhkan wajahnya. “ Aku cinta sama kamu, Gias,” bisiknya. Dalam keadaan terhuyung, Farhana menegakkan tubuhnya, kemudian dia bersendawa. Gias mengibaskan tangan di depan wajahnya. Sungguh dia dapat merasakan bau alkohol menyeruak dari mulut Farhana.  “Jika aku harus menikah.” Farhana menunjuk d*danya sendiri. “Aku hanya mau--” dia kemudian mengarahkan telunjuknya itu ke d*da Gias, “kamu yang menjadi suamiku.” Sedetik kemudian dia kembali menjatuhkan tubuhnya di pelukan Gias.  Gias terus saja mematung. Dia terperangah dengan apa yang baru saja diungkapkan Farhana padanya, apalagi setelah melihat Farhana mengungkapkannya sembari menjatuhkan air mata, sungguh Gias merasa teriris. “Kamu sedang mabuk,”  ucapnya pelan sembari membantu Farhana untuk duduk di sofa. “Aku akan ambilkan air,”  imbuhnya.  Namun, Farhana menahan tangan pria itu. “Gias, aku mau kamu nikahi aku malam ini.” Gumaman Farhana terdengar seperti racauan di telinga Gias.   Dengan tergesa-gesa Gias melepaskan tangan Farhana dan pergi dari ruang tamu yang gelap itu menuju dapur, meninggalkan Farhana sendirian. Sungguh dia tidak ingin dikuasai lelembut. Membuahi perempuan dengan alasan kesurupan adalah perbuatan abnormal.  Jantung Gias masih berdebar dengan keras, seolah kejadian barusan tidak akan memberinya ampun. “Ada apa dengan Farhana? Kenapa menjadi seperti ini?” gumamnya.  Gias kemudian menuangkan air putih ke dalam gelas. Dia kembali mematung saat terbayang apa yang dilakukan Farhana terhadapnya. Gias tidak ingin besar kepala, lagi pula Farhana sedang ada dibawah kendali minuman keras.  Perlahan Gias berjalan menuju ruang tamu. Di sana Farhana sudah terlelap, tungkai kakinya yang panjang itu terekspos dengan indah. Gias sampai kesulitan menelan liurnya yang mendadak seperti bongkahan kerikil. “Astaghfirullah.” Dia hanya menghela napas.  Setelah meletakkan gelas di atas meja, Gias pergi ke kamar untuk mengambil selimutnya. Namun, Farhana bergerak saat Gias menyelimuti tubuhnya. Wanita itu bergumam dengan mata yang tertutup rapat. “Gias … aku cinta sama kamu.” Farhana mengulangi kalimat yang sudah dia ucapkan sebelumnya.  Jantung Gias kembali berdebar. Dia mundur selangkah dan duduk di sofa kecil dekat Farhana tertidur. Dalam remang cahaya Gias terus menatap Farhana yang terlelap.  Gias merasa kalimat tersebut datang dari hati Farhana. Namun, lagi-lagi Gias meyakinkan diri, bahwa Farhana sedang mabuk dan mungkin saja wanita itu tidak sadar dengan apa yang diucapkannya saat ini.  Gias bangkit, dia berjalan ke luar untuk memasukkan motor Farhana ke dalam rumah. Setelah selesai, pria itu kini menemani Farhana dan ikut tertidur di sofa sambil duduk melenggut. Hingga pagi menjelang, Gias terbangun saat adzan subuh berkumandang. Dia mengambil wudhu dan pergi salat ke masjid. Namun, sesaat sebelumnya Gias telah mengunci pintu dari luar agar Farhana tidak bisa keluar dari rumahnya.  Enak saja, jika Farhana ke luar dari rumahnya dalam keadaan seperti itu dan diketahui warga, apa yang akan dipikirkan warga terhadapnya. Hampir tiga puluh menit Gias di masjid, selesai salat, dia nampak tergesa untuk segera pulang. Farhana pasti sudah terbangun dan teriak-teriak mencarinya.  “Mau ke mana, Gias? Buru-buru amat?” tanya salah seorang jemaah masjid tersebut. “Iya, Pak. Mari saya duluan, Assalamualaikum,” ucapnya sembari mengangguk takzim.  “Iya-iya. Waalaikumussalam.” Setengah berlari Gias pulang ke rumahnya. Langit benar-benar masih gelap. Hanya sebagian orang yang sudah terbangun. Sisanya sama seperti Farhana. “Masih tidur,”  ucap Gias usai membuka pintu, bahunya turun, dia segera berjalan mendekat ke arah wanita yang masih bergumul dengan selimut.  “Han, sudah subuh. Bangun,” kata Gias pelan. Dia tak berani menggoyangkan pipi atau anggota tubuh Farhana lainnya untuk membangunkan wanita itu. Sungguh kejadian semalam masih berputar di otak Gias.  Gias mengambil Al-Quran dan melantunkan ayat suci itu di dekat Farhana. Baru dua ayat yang Gias baca membuat Farhana terbangun dari tidurnya. Farhana memegang kepalanya yang berdenyut nyeri.  “Shadakallah Hul'adzim,”  ucap Gias sembari menutup Al-Qurannya. “Kamu sudah bangun?”  tanyanya pada wanita yang bahkan belum sempurna membuka mata.  Namun, setelah mendengar suara Gias, Farhana terkesiap. Dia baru menyadari telah berpakaian mini di depan Gias. “Astaghfirullah, jadi aku pulang ke sini,”  ucapnya.  Gias hanya mengangguk. “Mandi dan salatlah. Punya masalah larilah pada Allah, bukan pada khamr,” tutur Gias.  Farhana tertunduk malu. Dia telah menghinakan dirinya sendiri di depan Gias.  “Ini baju bekas almarhumah kak Aqna.”  Gias menyodorkan sepotong gamis dan jilbab. “Pakailah, ganti pakaianmu.”  Samar-samar Farhana dapat mengingat apa yang dia yang lakukan pada Gias semalam. Namun, antara nyata dan tidak nyata. Wanita itu kemudian bangkit sembari mengambil baju yang sudah Gias sediakan di atas sofa. Saat hendak melangkah dia berhenti karena Gias seperti terdengar bergumam, “Aku lebih suka kamu yang cantik dengan hijabmu.”  Farhana terenyuh. Pipinya memerah, namun, tak ingin ketahuan Gias, dia segera berlalu dari hadapan pria itu.  Awal mula Farhana berjilbab karena dia ingin sesuai dengan tipe wanita idaman Gias. Namun, dia pikir setelah kejadian ini, mungkin Gias akan kecewa padanya.  Setengah jam, Farhana habiskan untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai muslim. Farhana masih menganut agamanya, meski kejadian semalam telah membuatnya melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta.  Farhana memohon ampun pada Sang Maha Pemurah, dia menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya. Dalam balutan mukena dia mengangkat tangan.  “Ya Allah, Hana tahu Hana salah, Hana mohon, ampunilah dosa-dosa Hana. Dan jika berkenan jangan jadikan Hana berjodoh dengan orang yang ada dalam wasiat ayah. Hana hanya minta, ridhai langkah Hana untuk mewujudkan cita-cita Hana,” ucapnya dalam hati. Tak perlu keras karena Farhana yakin Tuhannya Maha mendengar.  Setelah selesai Farhana melipat mukena yang tersedia di sana, dia meletakkannya ke tempat semula. Namun, sesaat kemudian Farhana terdiam karena dia mendengar sudip mengenai wajan cukup berisik. Aroma bawang bercampur nasi dan telur menguar membelai penciumannya.  “Gias?” Farhana baru tersadar dia tidak melihat orang tua Gias. Apa mungkin ini kebetulan atau memang takdir Tuhan. Farhana menginap di rumah pria yang dia cintai dan seperti menjalani rumah tangga. Dia mendapati Gias sedang memasak di dapur. Bukankah seharusnya memasak itu tugas istri?  Ah … apa yang Farhana pikirkan. Dia menggelengkan kepala. Kemudian mendekat dan berdiri di belakang pria itu. “Aku nggak mau pulang,”  ucapnya tiba-tiba.  Gias segera mematikan api. Dia mengambil piring dan menuangkan nasi. “Pulanglah, karena aku tidak akan menampungmu di sini,” ucapnya sembari meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.  Farhana mengenyakkan bok*ngnya. “Bantu aku, mau ya.”  “Aku nggak bisa, aku takut dituduh bawa kabur calon istri orang,”  ungkap Gias.  Farhana mendengkus. Kemarin di telepon dia sudah ceritakan semuanya pada Gias. Farhana memang tidak berharap Gias akan banyak membantu. Dia sudah bisa menebak, pria seperti Gias akan memintanya untuk memenuhi wasiat itu.  “Makanlah,” ucap Gias sembari duduk. Farhana tidak mengerti apa yang dipikirkan Gias, bahkan pria itu tidak menyangkut paut kejadian semalam, padahal Farhana sudah mengingat semuanya.  “Maaf untuk kejadian semalam,” ucap Farhana pelan sembari menatap kepulan asap tipis dari nassi goreng tersebut.  “Yang mana?” tanya Gias sambil mengunyah. “Yang kamu mabuk sama pakai baju seksi itu?” tebak Gias. Farhana menggelengkan kepala. “Maaf karena aku lancang. Tapi aku--”  Gias tiba-tiba terbatuk akibat tersedak butiran nasi. Dia memegangi tenggorokannya sendiri. Tidak mungkin Gias harus mati konyol gara-gara tersedak.  “Gias?” Farhana panik dan segera menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu memberikannya pada Gias. Wajah Gias merah padam, matanya merah berair. Kejadian semalam sungguh telah memukul ulu hatinya.   Farhana hanya mematung menatap Gias yang sedang menenggak air putih. Dia fokus pada bibir Gias yang mengenai bibir gelas. Sungguh pikiran Farhana tertuju pada kejadian semalam, meski seperti mimpi. Namun dia yakin itu nyata, termasuk saat dia mengungkapkan isi hatinya pada pada pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD