Farhana kembali menikmati nasi goreng yang dibuat sahabatnya itu. “Aku mohon, aku nggak mau menikah dengan cara seperti ini,” dengkusnya usai menelan nasi yang selesai dia kunyah. “Ini terkesan seperti aku dijadikan alat untuk membayar semua utang-utang ayah.”
Gias menoleh cepat. “Apa yang bisa aku lakukan?” Pertanyaan tersebut terkesan seperti basa-basi.
Farhana tercenung. Dia sendiri tidak memiliki ide apapun, mengganti mempelai pria dengan Gias bukanlah pilihan, lagipula Gias belum tentu mau. “Sebenarnya aku juga nggak tahu,” gumam Farhana sembari menggoyang-goyangkan sendok di atas piring.
“Ya udah pulang,” titah Gias.
“Kamu ngusir aku?” Farhana menjatuhkan sendok di atas piring hingga dentingan itu membuat Gias terkesiap. Wanita itu tidak sopan, apa dia lupa sedang berada di mana?
Gias terdiam sejenak sembari meletakkan sendok yang tengah dipegangnya pelan. “Pernikahan tidak akan terjadi tanpa izin Allah. Pernikahan itu janji manusia dengan Allah. Jadi kamu harus tawakal, Han.”
Farhana menghela napas. “Jadi, menurut kamu aku harus pasrah, gitu?”
Gias kembali terdiam. Dia mengambil dua gelas kosong dan mengisinya dengan air putih. Lalu memberikan segelas air itu pada Farhana dan satu gelas lagi untuknya. “Kamu percaya deh, kalau laki-laki itu bukan jodohmu, pasti Allah sendiri yang akan membatalkan pernikahanmu.”
Farhana tercenung dengan apa yang dikatakan Gias. Sepertinya Gias memang tidak ingin membantu. “Aku tahu kalau kamu nggak mau bantuin aku.”
“Apa aku harus bicara sama ayah kamu, agar beliau menulis ulang surat wasiat itu?” Gias menoleh pada Farhana. “Itu yang kamu mau?”
Jantung Farhana mencelus, perkataan Gias terkesan seperti sebuah ejekan. Gias kembali menyuapkan nasi ke mulutnya. “Kenapa harus kabur? Padahal semua bisa dibicarakan secara baik-baik, masih ada banyak waktu buat kamu bisa mengenal pria itu. Semua belum terlambat, Hana. Jika calon suamimu itu orang baik, tentu dia akan membebaskanmu untuk memilih jalan hidupmu.”
Lagi-lagi Farhana hanya tercenung. Dia menggelengkan kepala. “Tapi bagiku pernikahan itu seperti sebuah akhir, jalan yang berbelok dari tujuanku. Aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan menjadi ibu rumah tangga.”
Gias mengedikkan bahu.
“Gias, aku--” Tiba-tiba saja peluh membasahi kening Farhana, “sebenarnya aku--” Lagi-lagi Farhana tak bisa melanjutkan kalimatnya, seolah terkunci oleh lidahnya sendiri.
“Aku harus kerja,” ucap Gias menginterupsi. Dia mendorong kursi dan segera bangkit, lalu meninggalkan Farhana yang sedang tercenung di sana sendiri.
Namun, Gias kemudian menoleh. “Oh iya, aku pulang malam, kalau kamu masih mau sembunyi di sini, sembunyilah.” Gias lalu mengayun kakinya lagi, tapi kemudian dia kembali menoleh pada Farhana yang masih tercenung di situ. “Tapi, kamu harus ingat tengah malam nanti ibuku pulang dari Batam.”
Farhana memejamkan mata kuat-kuat. Untuk sekarang Farhana merasa sendiri. Dia tidak memiliki siapa-siapa, bahkan Gias yang mengaku sahabat dan akan selalu ada untuknya pun, malah bersikap dingin seperti beruang kutub.
Farhana berlari mengejar Gias ke depan rumah. Tak tahu malu dan dalam keadaan seratus persen sadar, wanita itu memeluk Gias dari belakang. Seketika Gias terkesiap, ketahanan tubuhnya hampir koyak karena pergerakan Farhana yang tiba-tiba. Jantungnya berdegup kencang, lebih kencang dari kejadian semalam.
“Hana, aku mohon,” ucap Gias sembari mencoba melepaskan tangan Farhana yang melingkar di perutnya.
“Gias, aku mohon.” Kepala Farhana bersandar di punggung Gias. Dia semakin merapatkan pelukannya.
Gias menghela napas sembari terus mencoba melepaskan tangan Farhana dari perutnya. “Tolong jangan seperti ini, Han.” Gias takut, jika warga melihat ini, apalagi pintu dalam keadaan terbuka.
Farhana segera mengurai pelukannya. Dia tertunduk begitu Gias berbalik menatapnya. Telunjuk Gias tertahan di udara. Alih-alih memarahi dia hanya bisa menghela napas.
“Aku nggak tahu, cara apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu,” ucap Gias sembari menurunkan telunjuknya.
Farhana menarik napas, dia melipat bibirnya ke dalam. Tiba-tiba saja air mata ingin jatuh melintasi pipi. Farhana tak bisa berpura-pura dan tak bisa memperlihatkan kalau semua baik-baik saja.
Gias menelan liurnya. Dia hanya menatap bagaimana Farhana menangis di depannya. Bahkan dia tidak mencoba menenangkan Farhana dengan membantu wanita itu menyeka air matanya.
“Aku capek,” desis Farhana seraya tertunduk. “Aku memerangi batinku sendiri. Aku tidak ingin mengorbankan semua mimpi-mimpiku.”
Gias segera menarik tangan Farhana untuk mengajaknya ke sofa. “Duduklah,” ucapnya kemudian.
Farhana mengikuti permintaan Gias.
“Kalau kamu tidak ingin menikah, lalu apa rencana kamu, jika aku membantumu membatalkan pernikahan ini?”
Sedari tadi, mereka membicarakan pernikahan, padahal Farhana sendiri tidak tahu siapa calonnya dan kapan pernikahan itu akan dilangsungkan. Ini hanya tentang ketakutan Farhana karena di surat itu jelas tertera bahwa setelah lulus kuliah dia harus jadi menantu Pranaja.
Farhana menarik napas. “Seminggu yang lalu aku dapat tawaran untuk kerja di Bandung.” Farhana mengangkat wajahnya. “Gajinya lumayan besar, dan--”
Gias tak meminta Farhana untuk cepat-cepat melanjutkan perkataannya, lagipula dia pikir, jika Farhana memang ingin bercerita tentu saja wanita itu tidak akan memberi jeda cukup lama. “Sudah?” tanya Gias sembari menatap arlojinya.
Farhana mendelik. Pria di depannya itu lebih kaku dan lebih dingin dari beruang es, binatang paling karnivora di antara keluarga beruang lainnya.
Gias bangkit dari duduknya dan Farhana pun ikut bangkit, saat Gias berbalik dan bersiap untuk pergi, Farhana memekik, “Aku cinta sama kamu, Gias. Jika aku harus menikah dalam waktu dekat, aku mau cuma kamu yang jadi suamiku,” ucap Farhana dalam keadaan seratus persen sadar.
Gias berbalik. Wajahnya terlampau datar untuk memberi jawaban pada Farhana melalui ekspresinya. Hanya saja jantungnya terus bertabuh dalam keheningan.
Farhana terengah, seolah dia mengucapkan kalimat tersebut sambil berlari. Dan air mata yang terbendung itu akhirnya jatuh. Farhana menggelengkan kepala. Jika dia ingin tetap waras, dia tidak boleh berharap pada pria seperti Gias. “Aku pulang,” imbuhnya seraya bangkit. Dia mengambil kunci motor yang teronggok di atas meja bersama tas kecil dan kantong karton berisi baju yang dia pakai semalam.
Farhana mengeluarkan motornya dari rumah Gias. Meski dia terus berharap beruang es itu mencegahnya pergi dan siap membantunya. Namun, sepertinya itu tidak akan terjadi. Gias malah mematung, membiarkan Farhana pergi.
Menjadikan pria itu sebagai pacar pura-puranya adalah hal konyol yang Farhana harapkan dari Gias, beruang Kutub dari Alaska itu benar-benar telah membuatnya kecewa. Gias sama sekali tak menghiraukan perasaannya.
“Terima kasih,” ucap Farhana sambil menghidupkan motor. “Assalamualaikum,” lanjutnya sesaat sebelum memutar gas, dan pergi dari halaman rumah Gias.
“Waalaikumsalam,” gumam Gias. Otak dan hati Gias sedang berdebat, hati memakinya karena Gias yang tak bisa menghalangi Farhana pergi. Namun, otak sebagai pemimpin organ tubuh yang lain, setuju dengan apa yang Gias lakukan.
Baguslah perempuan itu pergi, sekarang Gias aman. Dia tidak akan mendapat kecaman sebagai pria yang membawa lari calon istri orang, meski itu sahabatnya sendiri.
Farhana menggeber motornya dalam keadaan emosi. Seketika dia mempertanyakan tentang janji Gias sebagai sahabat yang akan selalu ada untuknya. Lalu bagaimana Farhana harus menghadapi ini sekarang?
Dia berhenti di depan sebuah bangunan tua. Entah apa yang akan Farhana lakukan di sana. Dia tidak mungkin kan meminta bantuan roh jahat. Perbuatan syirik adalah dosa besar.
Farhana cukup lama berdiam di sana tanpa turun dari motor. Pikirannya menunjuk Raka. Apa dia harus meminta bantuan pria itu?
Sementara Fahri terus memutar roda kemudi. Dia diarahkan oleh GPS dalam mencari kediaman Gias. Wanita pemandu dalam GPS tersebut meminta Fahri berhenti tepat di depan sebuah rumah yang nampak sepi. Meski begitu dia tetap turun dan berdiam di depan pintu. Sesaaat kemudian dia mengetuk daun pintu itu dengan keras, seperti ingin merobohkannya.
Tetangganya merasa terganggu dengan kedatangan Fahri. Wanita paruh baya berdiri di belakangnya sembari memegang sapu.
Fahri menyadari ada seseorang berdiri di belakangnya, dia pun segera menoleh dan mengangguk takzim. “Saya mau ketemu Gias, atau mungkin orang tuanya.”
“Bu Marini sedang ke Batam, mungkin nanti malam pulang. Kalau Gias jam segini kerja,” tutur wanita bertubuh tambun itu.
Fahri mengangguk paham. Itu artinya Farhana memang tidak ada di sini, atau mungkin dia sudah pulang ke rumah.
“Apa Mas ini cari perempuan yang menginap di rumah Gias?”
“Iya. Ibu tahu?”
Ibu itu mengangguk. Tadi kebetulan perempuan itu pergi. Dan saya tanya, kata Gias itu temannya. Maaf Mas ini siapanya?”
“Saya kakaknya.”
“Kenapa adiknya dibiarkan menginap di rumah cowok, nggak takut hamil?” celetuk si ibu.
Fahri membasahi tenggorokannya, ingin sekali memaki. Namun, dia sadar meluapkan amarah pada orang yang tidak dikenal dan tanpa alasan yang tepat adalah perbuatan tidak baik. Lagi pula apa yang dikatakan ibu itu memang ada benarnya.
“Ibu tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa, saya ini sodara jauh Gias. Kebetulan adik saya sedang mencari pekerjaan, Gias sudah berjanji akan membantunya. Mungkin terlalu malam untuk pulang ke rumah, itulah sebabnya dia menginap di sini.” Terpaksa Fahri harus berbohong. Ini semua demi kebaikan Farhana dan Gias.
Ibu itu mengangguk paham. “Saya juga percaya sama Gias. Dia orang yang cukup paham soal agama. Dia anak yang shalih. Tidak mungkin Gias melakukan hal yang dibenci Tuhannya sendiri.”
“Iya, Bu. Kalau begitu saya permisi,” ucap Fahri. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Fahri melenggang pergi dan masuk ke dalam mobilnya. “Ke mana anak nakal itu pergi?” Dia memukul roda kemudinya dengan keras. “Arrggghhh ….”
Fahri tak habis pikir kenapa Farhana begitu dogol, padahal ayahnya meminta menikah dengan orang kaya, bukan orang melarat, sudah pasti dia akan dengan mudah mengabulkan semua keinginannya tanpa harus bersusah payah.
Kali ini motor Farhana berhenti di depan rumah petak bercat coklat.
“Hana?” Raka ke luar dari tempat kosnya. “Ada apa?” Kemudian mendekati Farhana yang masih duduk di atas jok motornya. “Tumben?”
Raka tergemap melihat Farhana mengeluarkan air mata. Dia memiringkan wajah dan bertanya, “Kamu kenapa?”
Alih-alih menjawab, Farhana terus saja menangis membuat Raka merasa semakin khawatir. “Duduk dulu yuk,” ajak Raka sembari menunjuk kursi di depan tempat kosnya. “Aku tahu kamu pasti kangen, ‘kan nongkrong di sini.” Raka hanya sedang mencoba menghibur Farhana.
Melihat Raka bersikap seperti biasanya, Farhana merasa bersalah karena pernah menolak pria itu. Dia turun dari motor, kemudian duduk di sebelah Raka.
“Mau aku bikinkan minum?” tanya Raka sembari mengayun kaki untuk masuk ke dalam kostnya. Namun, Farhana menahan tangan pria itu. Seketika Raka menoleh dan menatap tangannya. Dia kemudian duduk di sebelah Farhana.
“Ada masalah?” tanya Raka lembut.
Farhana mengangguk pelan sekali.
“Katakan!”
Farhana merasa bimbang mengatakan ini. Mungkin sahabat sebenarnya adalah Raka, bukan Gias.
“Katakan, Han,” pinta Raka lagi.
“Ayah jodohin aku,” gumam Farhana. “Surat wasiat itu tertulis,” isak Farhana.
Raka tergemap. “Han, kamu?”
“Aku nggak mau, Ka,” rengek Farhana.
Raka menghela napas. Sebenarnya dia tidak suka melihat Farhana seperti ini. “Sssttt … semua bisa dibicarakan baik-baik,” ucapnya sembari membelai puncak kepala Farhana.
“Kak Fahri mendesakku untuk segera menunaikan surat wasiat ayah,” isak Farhana lagi.
Raka semakin merasa teriris kala melihat Farhana seperti ini. “Please, Han. Jangan nangis lagi,” ucapnya sembari menyeka pipi Farhana dengan ibu jarinya.
Farhana menahan tangan Raka. Dia kemudian menatap pria itu. “Bantu aku,” pintanya.
“Kalau aku bisa, aku pasti bantu kamu, Han.”
Farhana mencoba menyunggingkan bibir. Dia kemudian menelan liurnya. “Aku tahu, kamu sayang sama aku, ‘kan?” tanya Farhana penuh keyakinan.
Raka tercenung. Andai Farhana tak menanyakan itu saat ini, kenapa tak dari dulu dia menyadari perasaan Raka terhadapnya.
“Iya, ‘kan, Ka?” tanya Farhana lagi.
Raka kemudian mengangguk. Selalu, Han. Aku sayang dan cinta sama kamu. Raka hanya bisa mengumandangkan itu dalam hati saja. Penolakan Farhana kala itu membuat hati Raka terasa seperti di lempar ke ujung langit. Dia tidak ingin itu terulang kembali.
“Ka?” Farhana memiringkan wajahnya. “Aku tahu kamu nggak pernah buat aku kecewa.”
Raka mencoba tersenyum, meski sebenarnya kalimat Farhana terasa percuma, karena Raka tahu di hati Farhana tidak pernah ada dirinya.
“Maaf, kalau aku pernah kecewain kamu,” desah Farhana penuh penyesalan.
Raka menatap tangan Farhana yang berada di atas bahunya. Apa wanita itu akan bercerita tentang sebuah penyesalan?
Farhana kemudian menurunkan tangannya. Dia menatap langit biru yang cerah dengan matahari panas dan menyengat. “Sebenarnya aku malu datang ke sini,” ucap Farhana tanpa menoleh pada Raka. Napas Farhana terasa begitu getir. “Aku nggak tahu lagi harus ke mana. Semalam aku nginep di rumah Gias,” imbuhnya.
Raka tergemap. Sudah dia duga, sekeras apapun Raka menunjukan perasaannya terhadap Farhana, tetap saja wanita itu tidak melihatnya. Hanya Gias dan Gias saja yang dia lihat, seolah di dunia ini Raka tak pernah ada.
Farhana kembali menarik napas. “Aku minta bantuan dia, buat batalin pernikahan aku.” Farhana menoleh dan menatap Raka. “Tapi--” Farhana menggelengkan kepala. Kemudian dia bangkit. “Aku menyesal karena telah merendahkan diri dihadapannya.”
Raka hanya bisa menghela napas sembari menatap punggung Farhana. Sesaat Raka menyesal telah mengenalkan Gias pada Farhana. Dia tidak pernah mengira kejadiannya akan seperti ini.
Perasaan mereka bertiga tak ubahnya seperti logo segitiga dalam plastik daur ulang. Berputar dan tak ada ujungnya.
“Ka.” Farhana kemudian menoleh. “Kamu masih mau jadiin aku pacarmu, ‘kan?” tanya Farhana dengan yakin.
Bibir Raka tersenyum miring. Dia tidak mengira, Farhana akan menjadikannya pelarian. Apa Farhana pikir Raka tidak memiliki harga diri?
“Maaf, Han.” Raka kemudian bangkit dan berdiri di depan Farhana. “Aku sudah menjalin hubungan dengan Sarah,” bohong Raka.
Farhana merengut. “Aku kira kamu beda dengan laki-laki lain, ternyata sama aja,” tuduh Farhana.
Itulah, sesaat Raka menyesalkan perasaannya yang tumbuh untuk Farhana. “Aku minta maaf, Han.”
“Aku ngerti,” ucap Farhana sesaat sebelum dia angkat kaki dari tempat itu.