Bab 5

1505 Words
 Sendok berdenting dalam hening. Fahri sudah puas memaki adiknya yang tak tahu diri itu. Berpenampilan buruk dan mabuk-mabukan. Entah set*n dari mana yang telah merasuki Farhana.  Kini Farhana hanya bisa bergumam. Semua orang telah merutuki tingkah liarnya. Dan tak ada satupun yang mengerti, apa yang dilakukan Farhana adalah bentuk dari sebuah protes. Percuma dia bicara, Fahri akan semakin emosi.  Rahmi sudah puas menangisi Farhana. Dia merasa apa yang dilakukan Farhana mungkin karena dia kurang mendoakan anaknya itu.  “Mau kamu apa?” tanya Fahri setelah dia merasa tenang.  Beruntung Farhana tidak tersedak, dia berhenti mengunyah dan menatap kakaknya. “Kalau Hana tidak mengabulkan wasiat ayah, gimana?” tanyanya dengan mulut penuh. Kepala Fahri kembali berasap. Sudah tahu wasiat itu harus dan wajib untuk dijalankan anak-anak yang ditinggalkan.  Diana yang tahu Fahri akan kembali meluapkan amarah segera menggenggam tangan suaminya itu. Bisa-bisa Fahri terkena serangan jantung jika terus menerus seperti ini.  Rahmi membelai puncak kepala anaknya. “Antara cita-cita dan wasiat ayah, pasti sulit buat kamu. Lalu kenapa kamu tidak jalani saja dua-duanya?” Kali ini Farhana benar-benar tersedak. Kenapa ibunya tidak mengerti, bukankah sudah Farhana katakan kalau dia menikah, sudah pasti fokusnya banyak terbagi, bahkan mungkin apa yang dia cita-citakan pasti sulit terwujud.  Farhana segera menenggak air putih yang tersedia di dekat piringnya. beberapa kali berdehem untuk mengusir rasa gatal di tenggorokannya, setelah itu Farhana menarik napas dan berkata, “Tantangannya lebih besar, Bu.” “Bagus,” tukas Fahri. “Bukankah kamu suka tantangan?” Farhana merengut. “Kata siapa? Nggak,” dengkusnya.  “Buktinya, kamu melawan ayah, pergi dari rumah dan ngekos di sana. Bahkan, kamu menjauh dengan tidak pulang beberapa minggu, apa itu namanya kalau bukan menantang?” cibir Fahri. Farhana mencebik, bola matanya berputar malas mendengar racauan Fahri.  “Terus tengah malam kamu pergi ke bar, berpakaian mini, mabuk-mabukkan. Gimana kalau ada yang melecehkan kamu, hm? Apa itu namanya kalau bukan menyukai tantangan?” cibir Fahri lagi. Farhana terus tertunduk, begitupun dengan Diana dan Amelia. Sementara Rahmi sudah tidak kuat menahan air mata yang sedari tadi tergenang di pelupuk mata.  “Ibu sudah kenyang,” ucap Rahmi seraya bangkit. “Kalian habiskan makannya,” imbuhnya. Rahmi kemudian mendorong kursi dan melangkah pergi dari ruang makan itu.  Pandangan mata Farhana mengikuti seiring kepergian ibunya. Hatinya seperti tertusuk duri tajam.  “Kamu lihat!” Fahri menunjukkan telapak tangannya yang teracung ke arah ibunya yang sudah berlalu. “Apa susahnya kalau kamu jadikan saja wasiat ayah sebagai tantangan?” Bibir Farhana menganjur ke depan, air matanya turun beriringan. Haruskah dia lakukan itu?  Diana tak enak mengunyah. Nafsu makannya seketika hilang saat melihat ibu mertua meninggalkan ruang makan dengan khidmat.  “Kalau begitu besok aku akan menemui anak sulung keluarga Pranaja. Aku harap dia memberiku waktu dua tahun sebelum pernikahan," pungkas Farhana, berharap dia bisa membungkam mulut Fahri agar tidak mendesaknya terus.  Fahri tersenyum penuh kemenangan. “Bagus. Lakukan yang menurutmu benar tanpa harus melukai.”  Farhana mengangguk, dia mengerti kalimat ambigu Fahri dan dia akan memikirkan kembali apa yang akan dia lakukan setelah kalimat itu tercetus.  Setelah menemukan titik terang, mereka membubarkan diri dari ruang makan, hanya tersisa Diana dan Farhana yang merapikan piring kotor di atas meja.  Farhana mencuci piring kotor itu di tempat pencucian piring. Tangannya bergerak lambat. Namun, pikirannya sibuk berkelana memikirkan kejadian kemarin, dia menyesal karena telah merendahkan diri di depan Gias juga di depan Raka.  “Han, melamun,” ucap Diana sembari menepuk bahu adik iparnya itu. “Air jangan dibiarkan mengalir terus,” imbuhnya sembari memutar dan menutup keran air itu. “Kalau kakak kamu tahu, bisa-bisa dia marah.” “Kak Diana bilang dong sama kak Fahri, jangan marah-marah terus, biasanya penyakit tua cepet banget datengnya.”  Diana mengulas senyum, untuk menanggapi guyonan Farhana. *** Farhana menarik ulur jilbab yang akan dia kenakan. Jika dia mengingat kejadian malam itu, dia merasa tidak pantas. Namun, jika dia kembali menanggalkannya, apa Gias tidak makin kecewa padanya? “Perbaiki niat,” ucap Nesya sembari duduk di kursi dekat ranjangnya. “Tumben ke sini, ada apa?”  Farhana menoleh pada sahabatnya itu. Namun, dia terdiam sejenak, sementara Jilbab pashmina itu masih menyampir di bahunya, kemudian Farhana duduk di ranjang Nesya. “Nes.” “Apa?” “Aku datang ke sini, mau maksa kamu buat bantuin aku.” Nesya yang lebih akrab di sapa Ines itu malah menatap Farhana dengan heran. “Selama tidak keluar dari aturan agama, aku akan bantuin kamu, Han.” ucapnya.   Farhana tersenyum. “Iya, aku janji.” Dia percaya Nesya tidak akan mengkhianatinya, mereka bersahabat sudah sejak SD. Farhana memberikan surat wasiat peninggalan ayahnya dan mengizinkan Nesya untuk membacanya.  Nesya segera mengambil surat beramplop putih itu. Dia menanyakan apa yang ada di dalamnya sebelum memutuskan untuk tahu isinya.  “Itu surat wasiat dari ayahku,” ucap Farhana.  “Ini rahasia. Kamu yakin, nggak apa-apa kalau aku tahu?” “Justru aku mau minta bantuan kamu soal itu.” Kedua tangan Farhana mengatup. “Please.” Nesya menarik napas, kemudian membacanya perlahan sehingga tidak ada yang terlewat. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya usai membaca surat wasiat dibawah tangan itu.  “Aku janji akan membayar semua utang-utang ayah, tapi untuk menikah dengan anak sulung keluarga Pranaja, aku--” Nesya menarik napas dan meneruskan kalimat menggantung sahabatnya itu. “Tidak bisa?” Farhana mengangguk. “Aku ingin membangun kembali bisnis properti ayah, dan aku nggak mau pernikahan hanya akan merusak apa yang sudah aku rencanakan sejak aku duduk di bangku SMA.” Sesaat Nesya ikut bimbang dengan apa yang kini dihadapi Farhana. Maka dia pun bertanya kembali. “Apa yang bisa aku bantu?” Nesya berharap bisa meringankan beban di pundak sahabatnya itu, meski hanya sedikit.  Farhana terdiam cukup lama. Seolah sibuk menyusun rencana. Bukankah dia sudah memiliki rencana dengan mendatangi Nesya, lalu kenapa dia menunda waktu untuk mengatakan semuanya? “Bagaimana kalau kamu jadi aku?” usulnya. “Ya …. “ Nesya memberi jeda. “Aku pasti akan jalani wasiat ini tanpa banyak mikir, biar orang yang meninggalkan wasiat ini tenang,” ucap Nesya memberikan pendapat.  Farhana mendengkus, jelas dia bukan Nesya, dan Nesya bukan dirinya. “Bukan itu maksudku.”  “Lalu apa?”  Farhana menarik napas. Dia bangkit dan memegang kedua bahu sahabatnya itu. “Aku mau kamu pura-pura jadi aku.” “Hah?” Nesya terperanjat. Dia segara menjauhkan tangan Farhana dari bahunya. “Nggak ah ….”  “Ayo dong, Nes. Ya Nes, ya. Please.”  Nesya memejamkan mata seraya menggelengkan kepala. “Nggak!” “Nes, kamu hanya perlu menggantikan aku tanpa menjadi aku,” terang Farhana.  “Terus gimana kalau ketahuan?” dengkus Nesya.   “Aku yakin kalau orang itu sudah jatuh cinta sama kamu, dia tidak akan lagi bersedia menjalankan perjodohan ini. Dia akan tetap menjalani hubungan dengan kamu, meski semuanya diawali kebohongan.” Farhana terlalu yakin kalau ini akan berhasil. Nesya menggaruk kepalanya dengan kasar. “Terlalu yakin kamu.” Dia kemudian beringsut.  Farhana kembali mendekat dan merapikan jilbab Nesya yang sempat berantakan akibat ulah tangan Nesya sendiri.  “Percaya sama aku. Aku minta waktu dua tahun.” Farhana mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.  Nesya merengut. “Lama sekali, Farhana,” rengeknya.  “Aku minta kamu nikmati semuanya. Biar waktu dua tahun terasa begitu singkat,” kekeh Farhana seraya bangkit. “Tapi maaf, Nes, aku juga nggak tahu orang itu seperti apa.” Farhana mengedikkan bahu.  “Hah?” Lagi-lagi Nesya terkejut. Dia bangkit dan mendekat pada Farhana. “Jadi, kamu?” Farhana mengangguk.  “Lalu gimana kalau dia om-om hidung belang. Atau--” Farhana menoleh dan meletakkan telunjuknya di bibir Nesya. “Jangan suudzon,” desisnya.  “Astagfirullah ….” Bahu Nesya turun.  Farhana tertawa melihat Nesya. “Bersyukurlah kalau dia masih bujang, meski bujang tua.” “Hana ….” Nesya menjatuhkan diri ke ranjang. “Kalau begitu aku tidak mau bantu kamu.” “Ines, please.” Farhana kembali mengatupkan tangannya. “Kalau semua gagal, aku nggak bisa bantu lebih.” Farhana mengangguk. “Aku nggak akan lupain jasa kamu.” Farhana memberi jeda. “Besok kita atur pertemuanmu dengan pria itu. Tapi aku nggak bisa nemenin kamu, karena besok aku mulai kerja di Bandung.” Nesya mencoba mengerti dengan keinginan Farhana. Dia tahu betapa susahnya keluarga Farhana setelah kebangkrutan orang tuanya. Dia juga mengerti dengan perubahan sikap Fahri yang menjadi keras terhadap Farhana setelah kepergian ayahnya.  “Semoga kamu sukses dengan mimpi-mimpi kamu, Han,” ucap Nesya yang langsung mendapat pelukan hangat dari Farhana.  Farhana tahu, Nesya berhati baik. Dia orang yang tidak enakkan sehingga susah untuk menolak saat Farhana meminta bantuan. Atau Farhana sendiri yang sedang memanfaatkan kelemahan Nesya demi keinginannya.  “Aku pulang ya,” ucap Farhana seraya bangkit. “Besok aku kasih tahu di mana kamu harus bertemu dengan pria itu.” Nasya terperangah. Apa Farhana benar-benar akan menjadikannya seperti itu?  “Han, aku--” Nesya ikut bangkit.  Sebelum Nesya melanjutkan kalimatnya, Farhana segera memeluk perempuan itu. “Makasih ya, Nes.”  Nesya semakin merasa tidak enak jika harus menolak. Farhana terlanjur percaya kalau dia bisa membantunya.  ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD