Aku, Freya.
Aku terdiam di pojok ruangan salah satu kamar mandi sekolah, menahan diri untuk tidak menangis karena ejekan mereka semua. Mereka yang mendatangi ku untuk meledek dan mencaci. Mereka yang tidak mengetahui siapa aku sebenarnya. Mereka yang selalu membuatku bertanya-tanya tentang keadilan di dunia.
Apa salah ku? Apakah aku merugikan mereka? Aku hidup bukan dari uang mereka, aku pun makan bukan dari keluarga mereka, aku juga berjalan dengan kakiku sendiri, bahkan aku tak pernah mengusik kehidupan mereka. Ada apa dengan mereka? Pernahkah mereka berpikir mengenai phttps://www.dreame.com/workBench?book_id=RUE6O27Yk9LznNLVc%2BFf3w%3D%3Dosisiku? Pernahkah mereka berpikir mengenai rasa sakit yang aku rasakan? Pernahkah mereka merasakan apa yang aku rasakan saat ini?
"Fey?" terdengar seseorang memanggil nama ku dengan kencang. "Fey! Freya!"
Aku tidak menjawab; bertahan untuk menghindari diri dari sesuatu yang tidak aku inginkan—diledek dan di hina. Siapa yang memanggilku? Salah satu dari mereka? Apa yang dia inginkan?
"Fey! Ini gue, Stein! Fey!"
Stein? Steiner? Kenapa dia mencari ku?
"Fey!" aku tetap tidak menjawab, kini terdengar suara keras; suara seperti pintu yang dibuka paksa—dihentak, di dorong dan di tendang.
"Come on! Ini gue, temen lu! Bukan salah satu dari mereka!" aku tidak menjawab, tetap diam, menahan nafas, dan menjauh dari area pintu. Aku ingin tetap bersembunyi, tak ingin bertemu dengan siapapun. Meski orang yang mencari ku bukan salah satu dari mereka, aku sengaja tidak bersuara hingga aku yakin mendengar suara langkah menjauh dari tempat ku bersembunyi.
Apa yang Steiner inginkan dari ku? Kenapa ia mencari ku? Peduli apa dia tentang ku?
Ku putuskan untuk melangkah keluar dari tempat persembunyian ku; setelah keadaan sekitar ku benar-benar tenang, hening dan sunyi, walau sesungguhnya aku merasa jika persembunyian ku adalah satu-satunya tempat yang aman.
Perlahan, aku menggapai gagang pintu dan mengintip keadaan sekitar, jantung ku berdegup kencang, tanganku gemetar dan aku masih belum bisa sepenuhnya menahan diri untuk tidak meneteskan air mata.
"Woy! Si manusia aneh keluar dari kamar mandi!" seseorang berteriak ketika aku baru saja keluar dari salah satu bilik kamar mandi, aku terkejut karena mereka berteriak, berbondong-bondong mendekatiku dengan telunjuk yang menunjuk ke arah ku.
Aku panik; aku kebingungan. Aku mundur beberapa langkah, berusaha menghindar dari serbuan mereka. Aku semakin panik ketika aku tak menemukan apapun di belakang ku—tempat persembunyian ku sebelumnya. Bilik kamar mandi tempat ku bersembunyi berubah menjadi lapangan sekolah. Aku gugup, jantungku semakin berdebar, hingga aku terjatuh saat mencoba untuk berlari jauh dari tempat itu.
Apa yang harus ku lakukan? God. Please help me.
"Lu ngapain sekolah disini! Sekolah kita ga terima siswa kaya lu!" seseorang meneriaki ku sebelum ia melemparkan sesuatu kepada ku. Lengan ku basah dan sedikit lengket karena lemparan itu.
"Pergi lu dari sekolah ini, kita semua ga mau ketularan keanehan lu!" siswa lain berteriak disusul dengan lemparan telur di sisi tubuhku yang lain.
Seandainya aku tidak keluar dari tempat persembunyian ku, mungkin aku tidak akan merasakan hal yang seperti ini; sayangnya, aku memilih untuk keluar dan membiarkan mereka melempari ku dengan sesuatu yang tidak dapat dibayangkan, membuat seluruh tubuhku basah dan lengket.
"Di sini siswanya semua ga ada yang kaya lu! Dasar aneh!"
"Pergi jauh sana! Jangan pernah balik ke sekolah ini lagi!"
Semua siswa mengelilingi ku yang menunduk—tak lagi berusaha menepis semua yang dilemparkan sembari menunduk dan menyembunyikan wajah; menangis tersedu-sedu. Tiap kalimat yang kudengar membuatku semakin meneteskan air mata. Mereka senang mengejek ku, mereka bahagia melihatku menderita. Mereka puas menyaksikan aku tersiksa. Mereka berharap aku mati karena ulah mereka. Meski aku tak pernah membuat mereka seperti ini—hal yang mereka lakukan padaku sekarang; aku tak pernah membuat seseorang menyembunyikan wajahnya hingga menangis, aku tak pernah mengejek mereka hingga ada perasaan untuk membunuh diri sendiri.
Tak ada yang dapat ku lakukan untuk membela diri, aku pasrah. Ku biarkan mereka puas mengejek dan melempari ku sesuka hati mereka. Ku biarkan tubuhku lengket karena lemparan telur, air, pasir, batu bahkan kotoran binatang. Kotoran yang menempel pada bagian d**a dan pipi ku.
"Dasar siswa homo! Pergi jauh-jauh dari sini!"
-***-
Ku buka mata lebar-lebar, nafasku terengah seakan aku baru menyelesaikan lomba balap lari dengan jarak ratusan meter. Keringat berhasil membasahi tubuh dan kasur ku. Aku menarik nafas panjang, menenangkan diri sebelum ku putuskan untuk bangkit menyandarkan punggung dan memproses apa yang baru saja ku mimpikan.
Otak ku bekerja keras melupakan semua itu. Hal yang selalu menghantuiku sejak dulu. Hal yang membuat ku sulit menikmati malam istirahat ku.
Aku turun dari kasur setelah memastikan diri jika semua itu hanyalah sebuah mimpi dan berlalu membawa rokok keluar dari dalam kamar. Aku berniat untuk menenangkan diri di halaman belakang, di teras belakang tempat favorit yang ku jadikan sebagai tempat meditasi jika aku butuh. Kebetulan, hobi ku sejak dulu memang menjauhkan diri dan berdiam di tempat sepi sembari menikmati semilir angin juga sebatang rokok.
Aku menoleh ke arah seseorang yang tertidur pulas dan tenang di atas kasur sebelum melanjutkan langkahku ke halaman belakang.
Mungkin, sudah saatnya aku harus kembali ke rumah sakit untuk mengecek keadaan ku sekarang; aku harus membeli anti-depresan yang sudah hampir habis, di samping itu aku harus kembali melanjutkan konseling dengan dokter kejiwaan ku mengenai insomnia juga kecemasan lainnya yang belum hilang.
Aku bingung, aku masih dikejar oleh masa lalu ku. Kejadian yang sudah lama terjadi dan aku berharap tidak kembali terulang. Apakah aku yang belum dapat melupakan masa lalu ku atau memang aku harus hidup dengan masa lalu yang terus menghantui?
Ku sulut sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke langit-langit. Menarik nafas panjang sebelum kembali menghisap rokok.
Aku memiliki masa lalu yang berbeda dari masa lalu remaja lainnya. Aku selalu menjadi bahan ejekan, buah bibir banyak orang, apa lagi setelah sebagian orang mengetahui jika aku bukan seseorang yang sama seperti mereka—normal dan tidak menyimpang. Entah darimana mereka mendapat informasi tentang diriku begitu lengkap hingga puas menjadikan ku bahan bullying dan membuat ku tertekan seperti ini.
Ku akui, aku bukan orang yang pandai bergaul, aku sangat nyaman menjadi pribadi yang diam, tidak banyak berbicara dan memendam semuanya sendirian. Aku nyaman dengan rasa sepi. Kesunyian adalah hal yang ku puja, semakin sepi suatu tempat, aku semakin merasa tenang dan mampu membius kesadaran ku hingga terlelap. Aku bukan benci dengan keramaian, hanya saja aku tidak suka dan memisahkan diri dari tempat yang penuh dengan orang-orang.
Terkadang aku berpikir, benarkah di dunia ini ada keadilan? Apa hanya aku saja yang merasa diperlakukan tidak adil oleh dunia?
Hanya karena aku tidak sama seperti mereka, aku diperlakukan berbeda dan menjadikan mereka pribadi yang liar untuk mengejek sepuas hati mereka tentang ku. Maksud ku, mereka menyalahkan keluarga ku yang mendidik ku di lingkungan wanita; aku di didik oleh ibu dan nenek, dan setelah nenek ku berpulang, aku memutuskan untuk tinggal sendiri; sebagai seseorang yang mandiri, meninggalkan ibu ku yang setuju dengan keputusan ku. Kenapa dengan ku? Kenapa aku yang menjadi target mereka?
Aku memang anak laki-laki yang tidak pernah tersentuh oleh kasih sayang seorang ayah, dan menurutku itu bukan sebuah alasan untuk menjadikan aku bahan perundungan. Aku tidak menyalahkan Tuhan yang sudah memberiku jalan seperti ini, namun mengapa mereka mengecamku? Mengapa mereka membenciku? Apa yang telah kulakukan?
Aku hanya ingin diterima, aku hanya ingin semua orang menerima ku apa adanya, terlepas dari latar belakang ku yang seperti itu. Aku hanya ingin mereka menerima perbedaan. Tetapi, mengapa mereka begitu benci dengan kata perbedaan? Kenapa mereka memperlakukan ku seperti ini? Kenapa mereka tak dapat membuat hidupku tenang? Tak adakah yang dapat menerima ku? Tak adakah di dunia yang dapat menerima perbedaan? Tak adakah yang dapat membuatku bahagia meski hanya memberi hal terkecil; hal yang benar-benar paling simpel di dunia?
God. I need justice in this world. Aku—Freya—adalah laki-laki yang benci masa lalunya sendiri dan butuh keadilan untuk ku sendiri.
-***-
"So, how?" ia tersenyum padaku melalui cermin di hadapannya. Ia begitu sibuk merapikan kerah kemeja dan dasi, dan aku terpesona dengan aura ketampanan darinya.
"Fey, are you all right?" pertanyaan yang membangunkan ku dari lamunan. Aku benar-benar terhipnotis dengan wajah tampan yang berdiri dengan pakaian kantor di hadapanku.
"Yes, why?" Ku balas tatapan matanya, ku tunjukan senyuman kecil di wajahku.
"Bukan, maksud ku, kamu gak apa apa aku tinggal?" pertanyaannya membuat ku menghilangkan senyuman di wajahku namun tetap memaksakan diri untuk tetap terlihat baik-baik saja.
"Listen, I'll be fine. Don't worry too much." ku melangkah mendekatinya lalu membalikan tubuhnya hingga kami berhadapan. "So, aku harap kamu fokus sama kerjaan kamu, jaga diri, jaga kesehatan, karena kamu punya aku."
Ia tersenyum mendengar kalimat ku, dan memberi kecupan di kening.
"Aku adalah tempat kamu pulang, jangan lupa itu." ku lanjutkan kalimat ku sembari merapikan ikatan dasi yang ia kenakan.
"Thanks, I love you." ucapnya sebelum ia mencium bibirku.
-***-
Dulu, aku terbiasa dengan hidup ku yang sepi, hening tanpa seseorang yang benar-benar menemani ku. Namun tidak kali ini karena seorang pria yang luar biasa—Alexander—memilih untuk menemani ku dan menjaga ku setiap harinya.
Kedatangan Alex dalam hidup ku sekarang mengubah segalanya, ia membantu ku untuk tetap berjalan maju tanpa ragu. Membantu ku untuk melupakan semua kejadian yang pernah ku alami beberapa tahun yang lalu. Tahun-tahun dimana aku berperang melawan logika dan perasaan ku sendiri yang menyiksa. Aku begitu beruntung bertemu dengan Alex, ia hadir di saat yang tepat, ia menghiburku dan selalu membawa ku ke suasana yang baru. Ia memahami ku, walau terkadang aku masih menutup diri ketika ia mulai mencoba mengenal ku lebih dalam. Hampir 3 tahun aku ditemani olehnya meski seringkali aku tidak mengacuhkan Alex dan fokus dengan pekerjaan ku sendiri. Menurut ku Alexander adalah pria hebat, ia tetap membantuku agar tidak terjebak dan terlarut dalam kesedihan—terhimpit antara masa lalu dan saat ini. Mengajakku mengenal dunia luar dan menjadikan aku pribadi yang mampu menerima semuanya tanpa pertanyaan. Walau terkadang aku masih belum dapat terbuka sepenuhnya tentang kehidupan ku yang dulu. Aku masih takut dengan keramaian dan berusaha untuk terlihat tenang di hadapan Alex saat ia mengajakku untuk menonton film atau makan di sebuah restoran. Pengorbanan Alex selama ini membuat ku semakin jatuh cinta, ia mudah sekali mengutarakan isi hatinya dan mampu membuat ku yakin jika dunia ini tidak seburuk seperti yang sering aku bayangkan. Aku sangat yakin ia mengetahui bahwa aku masih berdiam di tempat yang sama, juga memandangi hal yang sama. Ditambah aku dihantui oleh mimpi buruk yang sama setiap malamnya.
Keberangkatan Alex pagi ini, memaksa ku untuk mengingat hal yang pernah kulakukan dulu. Aku teringat seseorang yang pernah ku cintai—seseorang yang pernah membuat hidupku berwarna bak pelangi 10 tahun lalu. Seseorang yang memiliki tingkat kredibilitas yang sama seperti Alexander. Memaksaku mengingat kalimat-kalimat yang diucapkanya sebelum ia pergi, dan itu berhasil membuat bendungan kecil di ujung mataku; tidak menetes hanya membuat genangan.
-***-
"Fey!" aku memutar bola mataku mendengar teriakan wanita yang sangat ku hapal. Suaranya menggema; memenuhi ruangan yang dilewatinya hingga wanita itu sampai di hadapan ku yang duduk dengan tenang di halaman belakang.
"Gila ya, rumah lu luas parah. Gue harus pake maps kayaknya nih biar gak nyasar." ocehnya padaku sebelum ia duduk dan menaruh tas mahal yang ia kenakan di sampingnya. Ia membenahi rambutnya, mengecek ulang makeup, lalu menatap ku dengan tatapan tajam.
"Lebay lu, rumah gue ini kalah jauh sama rumah lu yang luasnya kaya TMII."
"Kaga, rumah lu istimewanya minta ampun. Gue masuk hari ini, kayaknya keluar bisa minggu depan." lagi, aku memutar bola mata ku ketika mendengar hiperbola yang diucapkannya.
"Kenapa, Strid? Tumben banget sore gini lu ke sini."
"Gue mau ajak lu main lah, suami gue kan lagi keluar negeri."
"Hah? Kemana?"
"Tokyo, ada calon pembeli di sana. Dia ramean kok sama temen kantornya—termasuk Alex."
Aku diam, aku lupa jika Alex adalah partner kerja suaminya.
"Well, karena gue adalah satu-satunya sahabat lu yang baik dan cantik, jadi gue kesini buat jenguk lu sekalian mau ngajak lu main."
"Kemana?"
"Pertama anterin gue belanja, then malemnya kita ke tempat biasa."
Astrid, satu-satunya kawan dari semasa sekolah ku yang masih berkomunikasi denganku. Ia membuka usaha seperti bapaknya di bidang kuliner, tempat usaha yang Astrid miliki terletak di salah satu sudut Mall Taman Anggrek. Astrid adalah sahabat terbaikku. Sahabat wanita yang selalu ada disaat aku butuh. Ia mengetahui siapa aku sebenarnya dan ia tidak pernah memedulikan perbedaan yang aku miliki, hebatnya lagi ia selalu mendukungku dan tidak pernah mengeluarkan kalimat yang membuat ku tersinggung. Bagiku, ajakan yang bagus sesungguhnya, lagipula aku butuh udara segar untuk menghilangkan pikiran ku yang penuh dengan aura negatif.
"Gue udah lama gak ngobrol sama elu, setelah gue nikah lu gak pernah nongolin muka ke gue."
Benar juga, aku tidak pernah bertemu dengannya setelah pernikahan mereka 2 tahun lalu.
"Gue khawatir lu kenapa-napa, apalagi setelah gue tau lu ternyata punya—"
"What? Gangguan jiwa?" aku memotong kalimatnya, ia diam, terkejut dan memandangku dengan tatapan heran.
"Uhm... Kurang lebih gitu lah ya, kan gue gak tau pasti vonis dokter itu bohong apa enggak."
"Ya pasti bener lah, Strid." ia masih diam, raut heran yang ia tunjukkan belum menghilang dari wajahnya.
"Gue gak apa apa kok, gue sehat, kalaupun gue kenapa-napa, orang pertama yang gue hubungi—"
"Yes, I know. Gue orang pertama yang lu hubungi."
"Wow, sesungguhnya orang yang pertama gue hubungi ya Alex, bukan lu." aku menahan tawa saat raut wajahnya berubah ketika mendengar kalimat ku.
"Ya udah, lupain, sekarang kita siap-siap belanja."
"Good!"
"Gue nyetir, gue gak mau lu kenapa-napa—lebih tepatnya kita kenapa-napa."
"Eh bentar, sekarang banget?"
"Kaga, sejam lagi. Gue mau ngaso dulu."
-***-
Sepanjang perjalanan Astrid bercerita mengenai kehidupannya setelah menikah diselingi tawa khasnya yang terdengar seperti ibu-ibu PKK.
"So, gimana perasaan lu?" aku memandang Astrid yang masih tertawa karena topik pembicaraan kami sebelumnya—menikah di usia muda.
"Better than before, seriusan deh." Astrid memandang ku, "Lu tau seberapa besar keinginan gue nikah di usia muda and it's so wonderful."
"Oh ya?"
"Yeah!" nadanya naik, menunjukan antusias tinggi dalam obrolan seperti ini. "Before he take off, he fifty shaded me this morning, dan gue gak bisa tahan buat gak mendesah dahsyat and our moans filled the room. So great." aku terbahak-bahak setelah mendengar kalimatnya.
"Serius tuh?"
"Uh-huh." Astrid mengangguk sebelum ia memarkir mobil dengan gaya yang di luar nalar manusia biasa. "Then, di ruang tamu, gue bikin dia minta ampun sama gue, sampe dia ganti pakean, karena berceceran ke celana dia."
"Oh, wow." kami berdua turun dari Fortuner hitam miliknya, membenahi diri sendiri dan melanjutkan langkah ke arah pintu masuk mall.
"Yeah, wow." ia melirik pada ku, "Jadi gue gak salah buat nikah muda, lu tau gue setelah kita lulus—sebelum ketemu sama suami gue—gue orang yang kaya apa. Everywhere is d**k. d**k, d**k, d**k, dick." tangannya bergerak kesana kemari saat ia mengulang kata yang sama. "Gue udah kaya nelayan yang nyari ikan."
Aku berjalan disampingnya, melangkah bersamaan dengannya.
"And then, which fish has the biggest d**k?" alisnya mengernyit mendengar pertanyaan ku.
"The shark in the shore. Si mantan yang pernah bikin gila gue."
"Andre?" nadaku meninggi, aku terkejut—benar-benar terkejut—karena pengakuan Astrid. "Andre temen sekelas lu?"
"Uh-hm." ia mengangguk.
"Astrid, dia itu..."
"Sama kaya lu ke Steiner, Pit. Udah deh gak usah kaget gitu." Astrid memotong kalimat ku.
Aku terdiam.
"Oops, sorry." ia menghentikan langkahnya, menatapku lalu mendekatiku.
"Strid, kenapa harus nama itu yang lu sebut." aku menegurnya, membalas tatapannya dengan tatapan seakan aku ingin membunuhnya.
"Lah, emang lu udah gak ada rasa sama doi?" aku memandangnya sengit.
"Dia, udah mati, dan gue udah kubur dia di tempat yang gak ada orang satupun tau dimana. Paham?"
"Okay, got it. Gak perlu bete gitu kali. Yang udah ya udah." kami bertatapan. "Lagipula, lu udah punya Alex, right?"
Aku terdiam tak merespon kalimatnya, mataku masih menatapnya dengan tatapan sinis. Astrid benar, aku sudah memiliki Alex yang tadi pagi baru saja meninggalkan ku karena pekerjaannya.
"Ya udah yuk, kita lanjut belanja, nanti mampir ke tempat gue, gue bikinin choco-frape buat lu."
Dasar nenek sihir. Aku dibuat lemah olehnya, ia mengetahui aku akan memaafkannya jika ia melakukan penawaran padaku. Memang benar-benar nenek sihir. Aku benci Astrid.