Aksa membongkar koper yang ia bawa. Ada juga tas ransel yang ia isi dengan beberapa alat elektronik dan kabel kabel yang entah mengapa ia kepikiran untuk membawa semua alat alat tersebut. Aksa adalah remaja dengan berjuta rasa penasarannya. Siapa tahu dirinya bisa jadi detektif dan menemukan ayah sekaligus kakeknya dengan mudah jika ia memiliki semua alat tersebut.
Pertama yang ia lakukan adalah membuka laptop yang telah ia berikan daya dari salah satu power bank dari 10 power bank yang ia bawa. Setidaknya Aksa merasa semua barang yang ia bawa akan sangat berguna di sini. Cahaya layar laptopnya kini mampu menerangi kamarnya yang hanya memiliki penerangan dari sebuah obor yang di tancapkan dekat dinding.
Sebenarnya Aksa tak yakin dengan apa yang akan ia lakukan. Secara di tempat ini sama sekali tak ada akses internet. Jangankan internet. Listrik aja nggak ada.
Namun Aksa mulai menampakkan rasa puasnya dengan hasil yang ia dapat. Dengan sangat jelas suara percakapan antar orang orang yang ada di kedai kemarin itu terdengar di telinganya. Bahkan bisa terulang dengan sempurna. Hanya saja ia tak mengerti apa yang telah mereka bahas. Yang bisa ia lakukan hanya menyalinnya di sebuah tape recorder yang akan ia tunjukkan kepada kakek Monggo.
Dengan sangat cekatan ia mengetik beberapa tombol di keyboard laptopnya. Akhirnya Aksa selesai mengcopy suara mereka ke dalam tape recorder dan memberikan pada kakek Monggo. Ia berharap itu akan berguna dan membantu. Karena dirinya sama sekali tidak mengerti dengan arah pembicaraan dalam rekaman suara tersebut. Kakek Monggo lah yang lebih tahu dengan semua arti dari percakapan tersebut.
Kakek monggo benar benar dibuat heran bukan kepalang. Dengan jelas suara seseorang itu menyebutkan nama nama tempat yang bahkan sama sekali tak diketahui Aksa.
"Ilmu apa yang kau miliki nak Aksa? Aku belum pernah mendapati seseorang bisa melakukan hal seperti ini sebelumnya."
"Ilmu teknologi modern kek." Jawab Aksa dengan senyum.
Kakek Monggo semakin terkejut. bagaimana bisa suara para bandit pemberontak yang ia temui kemarin bisa didengar dalam sebuah kotak.
"Apa ini kotak ajaib?" Serunya berulang kali membalik alat yang dari tadi mengeluarkan suara percakapan yang kemarin ingin ia dengar.
Dan Aksa hanya tersenyum melihat tingkah kakek Monggo. Ah konyol sekali. Ia bahkan memiliki 10 kotak seperti itu. Andai memang itu kotak ajaib ia akan dengan senang hati membuat sang ayah kembali. Sayang sekali semua itu masih terasa tidak mungkin baginya.
***
Hari ini Aksa di tinggal sendirian oleh kakek Monggo entah kemana. Tadi pagi hanya pamit untuk berkunjung ke suatu tempat yang tak di ketahui oleh Aksa. Tentu saja hal tersebut di jadikan kesempatan untuk Aksa mengetahui lebih banyak lagi seluk beluk rumah yang masih di anggapnya aneh ini.
"Apa gue perlu ngukur luas rumah ini?" Gumamnya sendiri saat berada di ruangan luas rumah tersebut.
Rumah ini terbuat dari kayu. Dan beberapa ada anyaman bambu yang melekat. Ada juga dinding yang terbuat dari tumpukan batu dengan tanah liat. Seharusnya sih ini sudah bisa di katakan layak sesuai rumah di pedesaan.
Ada banyak tatanan guci dari tanah liat yang Aksa yakin kalau di jual di kotanya harganya pasti tinggi. Melihat betapa rumit ukiran ukiran di permukaan guci tersebut.
Dengan yakin Aksa melangkah menuju pintu belakang rumah, yang sebenarnya bisa di katakan kuga sebagai pintu utama. Ketika keluar, hamparan danau dan pohon pohon rindang menjadi pemandangan utamanya.
Lalu ia beralih ke pintu lainya. Saat ia keluar terlihat beberapa orang dengan pakaian kuno berlalu lalang dengan jalan kaki. Ah yang benar saja. Aksa tak mampu mempercayai ini semua.
"Apa ada pintu lainya yang bakal buat gue masuk ke dunia modern." Gumamnya lagi. Dia jadi mengingat sosok kucing bundar yang bernama doraemon. "Ini seperti pintu ajaib miliknya doraemon." Lanjutnya berkata sendiri sambil terkekeh aneh.
Aksa kembali ke kamar tidurnya, untuk mengambil i phone miliknya. "Sepertinya akan menyenangkan kalau gue pergi jalan jalan sebentar." Lagi lagi ia bergumam sendiri. Merasa ide yang muncul di otaknya akan sangat menarik untuk di lakukan.
Meskipun kakek Monggo berpesan agar dirinya tetap di dalam rumah saja. Namun itu adalah hal yang membosankan jika ia tak bisa melakukan apapun. Berbeda kalau ia di kamarnya sendiri yang penuh dengan alat alat penelitian miliknya. Pasti akan menyenangkan. Sedangkan di sini listrik aja tak ada. Tentu akan membuat Aksa bosan setengah mati.
Aksa ingin sekali memakai kaos oblong dan celana pendek namun itu diurungkannya karena takut dianggap mencurigakan. Akhirnya, pakaian yang kemarin di berikan Kakek monggo pun dipakainya kembali. Ah s**l, Aksa tak terbiasa memakai baju yang belum dicuci meskipun dirinya sendiri yang telah memakainya.
Aksa mulai menelusuri jalan pedesaan seperti yang ia lalui kemarin. Lalu memandang beberapa koin yang ia dapat dari kamarnya. Ia tahu itu adalah uang yang masih berlaku di desa ini. Karena bentuknya sama seperti pemberian kakek Monggo saat ia membeli barang barang di pasar kemarin.
Suasananya sama seperti kemarin. Riuh dengan manusia yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya. Yah, setidaknya kegelisahan Aksa tak akan terlihat di keramaian ini.
Bagaimana tak gelisah kalau dirinya seperti sedang tersesat di zona lain. Iya sebuah tempat yang dianggapnya zona lain karena berbeda jauh dengan keadaan kotanya.
Aksa kembali menghampiri sebuah pohon rindang yang kemarin ia gunakan untuk istirahat. Tidak lupa ia mengeluarkan kamera handphone nya untuk mengambil gambar barang barang yang tak pernah ia temui. Sebuah tempat air minum di sampingnya tak luput dari potretannya. Ia memanfaatkan keadaan sepi hanya untuk membuka kameranya. Padahal di kotanya, berfoto di tempat umum bukanlah hal yang perlu di lakukan secara sembunyi sembunyi.
Masih di bawah pohon randu yang memberikan kesejukan. Tentu saja membuat Aksa nyaman, karena pohon besar itu memberinya oksigen yang masih sejuk untuk dihirup. Membuat Aksa betah berlama lama di sana. Kalau kemarin Aksa mengantuk, sekarang ia lebih memilih mengedarkan pandanganya ke segala penjuru. Lagi lagi ia melihat perempuan yang sama seperti kemarin.
"Sangat cantik." Gumam Aksa pelan. Ia mulai berjalan mendekat. Ah yang pasti ia tak akan membuang momen langka seperti ini. Ia jelas berulang kali mengamankan foto perempuan itu.
"Apa yang sedang kamu lakukan wahai pemuda?" Suara itu membuat Aksa gelagapan sesaat. Sebelum jiwa remajanya menguat saat melihat pemandangan di depanya. Hei yang benar saja perempuan di depanya hanya memakai kemben tanpa lengan.
"Mulus." Alih alih menjawab, Aksa malah mengungkapkan isi otaknya yang kotor. Astaga Aksa kau tak seperti biasanya.
Aksa mulai menyadari kalau semua perempuan yang ia jumpai di pasar juga memakai pakaian yang modelnya sama.
Aksa tersenyum melihat seorang perempuan yang tengah memandangnya jengkel.
"Ah, maaf, maksud saya emmm." Dan Aksa tiba tiba seperti orang bingung.
"Itu barang apa?" Sepertinya perempuan tersebut penasaran dengan apa yang dipegangnya.
Tentu saja Aksa gelagapan. Dirinya seperti ketahuan menyembunyikan sesuatu yang tidak baik. Ia segera mengantongi handphone miliknya. Ah bukan mengantongi sebenarnya tapi menyelipkannya di antara lilitan kain yang ia gunakan untuk mengikat celana hitamnya.
"Oh maaf, ini hanya tanah liat yang ingin saya buat menjadi sesuatu?" Elaknya.
"Tapi barang itu bercahaya?"
"Benarkah?" Aksa gelagapan. " Ah, mungkin itu cahaya cermin yang saya tempelkan."
"Cermin?"
"Iya cermin."
"Apa itu cermin."
Aksa ingin mengumpat dalam hati. Yang benar saja apa di sini belum ada yang namanya cermin. Ia baru saja ingat Bukankah dirinya juga tak pernah menjumpai barang itu di rumah Kakek Monggo?.
Lalu apa yang harus dijelaskan Aksa. Ia tak ingin tertangkap basah kalau dirinya bukan warga di sini. Sekarang ia merasa seperti tersesat di negara orang tanpa pasport maupun visa. Sayang sekali. Jangan sampai dirinya dideportasi.
"Kau seperti ketakutan? Aku tak akan menggigit dirimu pemuda tampan," Di luar nalarnya. Aksa tertegun melihat perempuan itu tersenyum lalu terkikik geli.
Aksa masih diam seribu kata. Sebelum melihat perempuan di depanya akan beranjak pergi.
"Tunggu!" Aksa mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya. Itu sebuah cermin yang entah kapan ia bawa. Memberikan pada perempuan itu.
Perempuan tersebut memperhatikan Aksa dengan seksama. Sebelum melihat Aksa mengulurkan tangan dan memberinya sesuatu.
" Ini adalah sebuah cermin, bisa untuk memantulkan wajah seseorang seperti air." Jelas Aksa. Ia tahu orang jaman dahulu melihat wajahnya dengan bantuan Air yang tenang.
Aksa jelas melihat perempuan tersebut bingung sekaligus takjub. Dengan begitu ia bisa memanfaatkan waktu tersebut untuk segera pergi dari sana. Meninggalkan perempuan cantik yang Aksa sendiri sebenarnya ragu untuk mengenalnya. Tentu saja karena Aksa sendiri masih ragu dengan dunia dimana ia berpijak.