3. Desa Taling

1257 Words
Langkah kakinya mengayun dengan sangat pelan. Karena pandangan matanya mengedar ke segala penjuru. Aksa bukan hanya takjub melihat suasana asri di depan matanya. Namun beribu pertanyaan karena keheranan memenuhi isi kepalanya. Setelah ia keluar dari rumah milik kakek Monggo, yang dilihat bukanlah tepi danau dan pepohonan rindang. Akan tetapi, hiruk pikuk masyarakat desa dengan segala aktifitasnya. Pakaian adat kuno melekat di setiap tubuh manusia di sana. Ah, untung saja ia memakai pakaian yang diberikan kakek monggo padanya. Awalnya ia ragu dan menolak. Tapi kini ia mengerti mengapa kakek monggo memberikan pakaian kuno itu padanya. Ditambah lagi, sesaat setelah keluar rumah, ia menoleh ke belakangnya. Bukan rumah mewah seperti yang ia tempati sebelumnya. Rumah kakek monggo terlihat seperti rumah limasan kecil yang sederhana. Dengan diam Aksa mulai mencerna setiap hal yang ia temui. Kakek Monggo berjalan tenang di sampingnya. Seolah tak ingin menjelaskan keresahan yang terjadi pada Aksa. "Ini adalah desa Taling. Desa yang paling dekat dengan istana kerajaan Kambalang. Letaknya ada di sebelah utara kerajaan." Jelas kakek monggo pada Aksa. "Di sini terlihat tentram." Perkataan itu terlontar begitu saja saat Aksa menikmati pemandangan di depanya. Suasana desa yang riuh namun penuh dengan keharmonisan. "Ada beberapa hal yang terlihat tak seperti kenyataanya." Aksa segera menoleh saat mendengar perkataan kakek Monggo. "Maksud kakek?" "Bukankah dari tadi kamu juga heran dengan apa yang kamu lihat anakku?" Jawaban Kakek monggo benar, namun perkataan itu membuat jiwa penasaran Aksa makin menjadi. Ah andai ia bisa meminta penjelasan pada mbah Google seperi yang sering ia lakukan saat ingin menjawab tugas tugas sekolahnya. Ah, rupanya Aksa sudah berjalan sampai pasar sampai tak menyadari berapa jauh jarak yang telah ia lalui. Beberapa pedagang Barang antik berjejer rapi di sana. Aksa menggunakan sedikit waktu untuk melihat lihat dan membeli beberapa barang yang terbuat dari tanah liat. "Kakek bisa membuat yang lebih bagus dari benda itu." "Benarkah?, Kakek mau mengajariku?" "Iya, suatu saat nanti bukan sekarang." "Kenapa?" "Kakek sudah lapar lagi, ada sebuah kedai makan di situ. ayo kamu mau pesan apa?" Ucapan kakek Monggo membuatnya kesal, karena tak sedikitpun membantu meringankan rasa penasaran dibenaknya. Bukanya menjawab, kakek Monggo malah dengan santainya memasuki kedai dan menawari Aksa berbagai menu yang menjadi andalan di kedai itu. Saat pelayan rumah makan datang, kakek Monggo menyebutkan beberapa jenis makanan yang tak asing di telinga Aksa. Makanan sederhana yang sering ia jumpai di lesehan pinggir jalan. Ayam bakar, bebek bakar, beserta pelengkapnya. Satu hal yang tidak disesali olehnya saat ikut makan di kedai kecil itu adalah, masakannya benar benar membuatnya ketagihan. Diakuinya ini lebih pas di lidahnya dari pada masakan sang ibu. Ah, Aksa lagi lagi teringat dengan sang ibu yang baru saja sehari tak ia temui. Aksa banyak sekali menanyakan perihal rasa penasarannya pada kakek Monggo namun lagi lagi jawaban Kakek monggo membuatnya jengkel karena tak satupun jawaban itu menjurus pada pertanyaan yang ia ajukan. "Apakah kakek pernah pergi ke tempat paman Datasa atau ayah?" "Tidak, apa kau ingin istirahat? Ada sebuah pohon rindang di depan sana." Tunjuk kakek Monggo jauh beberapa meter di depannya. " Kakek selalu mengalihkan pertanyaan saya." Ucap Aksa kesal dengan penuh dengan decakan. Kakek monggo menghela nafas panjang dengan berat. "Anakku, ada beberapa hal yang perlu kamu tau dan tak perlu kamu ketahui. Di sini banyak sekali pengintai. Kita harus berhati hati saat bicara." Jelasnya di telinga Aksa. Jawaban kakek Monggo membuat sedikit bulu kuduknya berdiri. Membuat aksa seketika mengedarkan kepalanya melihat sekeliling. Siapa tau ada orang mencurigakan yang sedang menguping pembicaraan mereka. "Nikmati perjalananmu, dan bertanyalah saat kita tiba kembali di rumah." Tambahnya yang di angguki oleh Aksa dengan penuh pemahaman. Namun masih menyimpan berjuta pertanyaan di otaknya. Aksa menelusuri jalan setapak , kanan kirinya banyak sekali rumput liar yang tumbuh. Seperti hutan belantara tak terurus. Meskipun begitu, banyak sekali pejalan kaki yang berlalu lalang melintasi jalanan itu. Kakek Monggo mengajaknya berhenti sejenak di bawah pohon rindang yang di dekatnya terdapat sebuah gentong antik yang Aksa yakini itu berisi air. Dan benar saja. Aksa melihat kakek Monggo membuka penutup dari mulut gentong tersebut dan mengalir air bening yang langsung diminum kakek Monggo melalui tangannya. "Minumlah! Ini, air yang disediakan masyarakat desa untuk para pejalan kaki." Pertama Aksa Ragu untuk mengikuti apa yang dilakukan Kakek Monggo. Namun rasa haus di perjalanan tak bisa ia tahan lagi. Dan mengalirkan air bening itu ke tenggorokannya. Rasa dingin dan segar menjalar sempurna di tubuhnya. Andai saja di kotanya di sediakan air minum seperti ini. Bukan malah di sediakan banyak minimarket. Aksa duduk dengan santai. Menikmati angin semilir di bawah rindangnya pohon randu yang menjulang tinggi. Tiba tiba pandanganya lurus. Mengamati sosok menakjubkan di depanya. Seorang gadis cantik. Dengan rambut panjang yang terurai indah, dan Aksa semakin terhipnotis saat mendapatkan senyuman langsung dari gadis tersebut. Ada yang aneh dengan dirinya. Bukankah ia tak pernah tertarik dengan banyak gadis cantik di kelasnya?, Sesaat, Kakek Monggo menepuk bahunya. Membuatnya hampir terlonjak kaget. Dan tiba tiba saja sosok yang tadi ia perhatikan lenyap begitu saja. Tak ada siapapun. Ah, mungkin ia tadi hanya melamun saja. "Ayo kita kembali dan istirahat di rumah. Sepertinya kau tampak lelah sekali." Bagaimana tidak. Perut yang kenyang, angin semilir dan suasana yang tenang membuat Aksa jadi mengantuk. Sewaktu perjalan pulang, Aksa di buat terkejut dengan sikap tiba tiba kakek Monggo yang memintanya untuk waspada. Aksa menilik ke sekitar yang tampak Aneh namun terlihat biasa. Apa yang di khawatirkan oleh kakek Monggo. Sehingga, Aksa hanya menurut saja ketika kakek Monggo membawanya lagi kesebuah kedai. Dan anehnya, ia menjadi lapar lagi saat memasuki kedai tersebut. Ditambah lagi saat mencium aroma masakan yang sangat menggugah selera makan. "Pesanlah dua gelas kopi pahit" Perkataan kakek Monggo tak ada yang di tolaknya. Namun dalam hati Aksa ingi sekali memesan kopi dengan varian rasa lain seperti kopi late dan sejenisnya. Ia tak terbiasa dengan kopi pahit. Hanya seteguk saja kopi pahit itu membuatnya melupakan aroma makanan yang dari tadi mengganggu penciumannya. Aksa dengan lekat memperhatikan kakek Monggo yang memasang wajah waspada. Entahlah. Semua hal ini membuat Aksa semakin tak mengerti. "Di sini adalah tempat para pemberontak mengatur strategi perang dan tempat membahas semua informasi informasi penting."Suara pelan Kakek Monggo membuat Aksa mengangguk dengan pelan. Lalu pandanganya mengikuti arah pandang kakek Monggo pada segerombolan orang yang duduk melingkar di sebuah meja makan. Ada seorang dengan pakaian yang cukup bagus ada juga beberapa laki laki dengan wajah garang dengan pakaian yang lusuh. "Lalu mengapa kita kemari Kek? Bukanya kita akan pulang?" "Siapa tahu kita akan mendapatkan informasi penting di sini" "Memang Kakek mendengar percakapan mereka?" Kakek Monggo menghela nafas. "Tidak. Tapi Itu masalah mudah." Aksa memperhatikan kakek Monggo yang tengah menyewa pelayan kedai untuk mendengarkan percakapan di meja para segerombolan laki laki itu. "Apa itu akan efektif?" Ucapan pelan anggar hanya di dengar oleh kakek Monggo saja. "Apa?" Tanya kakek Monggo yang tak memahami ucapan Aksa. Aksa mendekati orang-orang tersebut. Dan kelakuan Aksa sukses membuat wajah kakek monggo menjadi panas dingin. "Apa yang di lakukan anak itu? Benar benar bodoh." Batin Kakek Monggo dalam benaknya. Lalu ia kembali duduk dan pura pura tak peduli. Kakek Monggo melihat Aksa yang dengan sikap sopan menawarkan beberapa barang antik yang dibelinya di pasar tadi pada kerumunan lelaki itu. Tak ada yang tertarik. Dan itu sudah diduga oleh kakek Monggo. Namun, setelah kembali, sekarang kakek Monggo yang dibuat heran dengan sikap tenang Aksa yang tengah tersenyum kemenangan. "Ayo kek, kita Pulang" Dengan menghela nafas kegagalan, kakek monggo mengiyakan permintaan Aksa. Sedangkan Aksa tersenyum puas dengan apa yang berhasil ia tinggalkan di meja makan para segerombolan orang tadi. Ah tentu saja. Ia berhasil meninggalkan alat penyadap suara yang ia bawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD