2. Awal Perjalanan

1125 Words
Perjalanan ini di penuhi dengan kegelapan. Hanya cahaya obor kecil yang menempel di dinding dinding batu yang ia lewati. Seperti sebuah lorong goa yang memanjang. Membuat langkah mama Rere semakin berat. Apalagi untuk melepas anak laki lakinya. Aksa memasuki goa ini dari rumah pamannya Datasa. Di belakang rumah pamannya yang sangat luas itu terdapat satu Paviliun tersembunyi yang akan menghubungkannya dengan lorong panjang yang sekarang ia lewati. Aksa berjalan dengan tekad yang pasti. Ditemani oleh paman dan ibunya. Sampai ia melihat ada sebuah sekat putih yang ia tahu kalau itu adalah batas di mana hanya sampai situ lah ibunya bisa mengantar kepergiannya. Setelah itu, ia akan berjalan sendiri. "Pergilah mengikuti lorong ini! Kamu akan menemukan sebuah danau. Temukan sebuah rumah kecil di pinggiran danau. Itu milik teman kakekmu. Ia akan menolong dirimu selama di sana. Namanya paman Monggo. Tapi ingat untuk selalu berhati hati." Jelas Datasa saat mengantar keponakannya. Aksa melepas pelukan sang ibu yang masih saja memegang erat tangannya. Ia Tahu sang ibu berat melepaskan kepergiannya. Hanya dengan memandang tulus wajah ibunya, dan memberi keyakinan dari hati ke hati. Kini ibunya memberikan sepenuhnya doa dan kepercayaan. Satu langkah melewati batas putih itu, Aksa tak lagi bisa menoleh ke belakang. Ia memikul semua kepercayaan sang ibu. Menyimpan janji yang harus ia penuhi pada ibunya. ia merasakan seperti terperosok pada lubang yang curam. seketika merasakan kekosongan yang tiba tiba. Dan pijakan kedua membuatnya kembali sadar kalau dirinya telah berada di tempat berbeda. Masih berjalan lurus dan sesekali menoleh kebelakang. Sepi. Sang ibu dan paman Datasa yang mengantarnya sudah tak terlihat. Kini hanya sisa tekat dan keyakinan. Sampai pada akhirnya Aksa menemukan cahaya terang di ujung lorong. Yang ia yakini itu adalah ujung dari goa ini dan awal dari perjalananya. Danau itu terlihat sangat luas dan masih bersih. Bening. Sangat bening. Ia bahkan tak pernah melihat danau sebening ini sebelumnya. Seperti pantai dengan pasir hitam yang eksotis. Aksa menghirup udara segar yang sangat ia dambakan. Begitu sejuk. Tanpa polusi dan pencemaran. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mengeratkan gendongan ransel besarnya , lalu melangkah dengan pasti. layaknya seperti mau menyebrang jalan saja. Aksa melihat jarum jam yang melingkar di tangannya. Sudah menunjukkan waktu hampir tengah hari, namun di sini ia sama sekali tak merasakan sengatan terik matahari. Bahkan ia merasa di tempat yang ia pijak sekaran masih terlalu pagi. Menelusuri pinggiran Danau, ia bahkan tak merasakan lelah sama sekali. Pemandangan indah membuatnya semakin bersemangat. Sampai ia menemukan sebuah rumah. Entahlah. Itu rumah kecil atau gubuk. Di sisi rumah itu terdapat empat pohon beda jenis yang sama sama menjulang tinggi. Dengan daun daun rindang yang melindungi rumah tersebut dari teriknya sinar matahari. Sangat menakjubkan. Aksa berjalan mendekat. Mengedarkan pandanganya di setiap sudut yang terjangkau oleh indra penglihatannya. "Sedang mencari sesuatu anak muda?" Aksa terkesiap. Hanya sekejap setelah ia mendapati seorang laki laki tua yang ia perkirakan umurnya sudah berkepala enam. Entahlah, Aksa belum juga menjawab pertanyaan itu, kakek tua itu sudah tersenyum tulus. Rambut putih yang memanjang, yang hanya di rapikan dengan gulungan kecil di puncak kepalanya. Aksa masih menimbang siapa kakek tua yang penampilannya seperti pendekar itu. "Mari masuk!" Ucapnya sekali lagi dengan senyum merekah yang membuat Aksa tak bisa menolaknya. "Maaf kek", Aksa ingin berusaha menanyakan sesuatu namun ia masih ragu. "Aku adalah Monggo, kamu pasti anak dari Hanaka bukan?" Tepat seperti apa yang Aksa perkirakan sebelumnya. Aksa memandang dengan teliti laki laki yang terlihat tua namun masih tampak kekar itu. Tongkat kayu yang di genggam laki laki tua itu pun tampak tak berguna untuk kakek itu. Aksa mengangguk pelan. Dan di balas dengan senyuman pasti. Lalu menggiringnya memasuki sebuah rumah yang terlihat kecil itu. "Masuklah!" "Iya kek." Aksa bukan cuma terkejut setelah memasuki rumah tersebut. Bukanya tadi ia memasuki sebuah rumah kecil? Lalu mengapa ia berada di sebuah ruangan besar dengan perabotan yang cukup lengkap di dalamnya ? "Anggap saja rumah sendiri. Kamu akan tinggal di rumah ini selama kamu berada di Desa ini." Aksa memiliki banyak sekali pertanyaan yang ingin ia ajukan pada kakek di sampingnya ini. "Apa nama desa ini kek?" Tanya Aksa ragu sambil menampung beberapa pertanyaan lain di otaknya. "Di kerajaan Kambalang ini ada tujuh desa. Dan desa di sini bernama desa Taling." "Kerajaan?" Aksa sungguh di buat heran? Berada di mana dirinya sekarang. "Ya, anakku, dirimu sekarang berada di wilayah Kerajaan Kambalang" Aksa berfikir keras. Rupanya dirinya tengah dioper ke tempat asing oleh pamannya. "Kakekmu adalah seorang penasehat kerajaan. Sebelum 17 tahun yang lalu, ada yang memfitnahnya sehingga membuat kakekmu berada di penjara bawah tanah sampai sekarang." " Sampai sekarang?" "Ya. Selama ia tak bisa membuktikan kebenaran untuk membersihkan namanya, maka selamanya kakekmu tak akan bisa keluar dari sana." Kakek Monggo berbicara dengan memandang langit langit rumahnya, seperti sedang mengingat ingat kejadian masa lalu yang tak bisa terkubur itu. "Lalu ayahku?" Dengan hati hati Aksa bertanya. Karena dari tadi kakek di sampingnya itu tak menyebutkan perihal ayahnya. "Dulu ia juga tinggal di sini. Setelah pergi dan tak kembali." "Maksud kakek monggo?" " Ia bertekad mencari kakekmu dan berkata ketemu atau tidak ketemu, ia tetap akan kembali untuk pulang ke anak istrinya. Tapi ia lupa. Kalau ia tak bisa pergi dari sini sebelum ia meninggalkan satu keturunannya di sini." "Lalu di mana ayah?" "Saya tidak tahu. Yang jelas ia masih ada di kerajaan ini" Aksa semakin bingung dengan apa yang terjadi. Di otaknya banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan semuanya. "Lalu- " "Mandilah dulu, lalu istirahat. nanti akan saya ceritakan semuanya." Potong kakek monggo saat aksa ingin mengajukan pertanyaan berikutnya. Aksa begitu heran. Rumah yang di lihatnya kecil memiliki perabotan rumah yang cukup banyak. Meski semua perabotan itu terlihat kuno. Namun memberikan kesan antik yang bernilai jual tinggi. Tempat untuk dirinya membersihkan diri juga terlihat sangat kuno. Sumur dengan timba yang di tarik tali besar, lalu sebuah tempat air yang besar terbuat dari tanah liat. Apalagi tempat tidur yang kini ia tempati. Hanya tempat tidur kecil yang beralaskan kasur yang berisi kapuk dan satu meja kecil yang hanya ada satu tempat minum seperti kendi yang terbuat dari tanah liat. Ah ya, masih ada sebuah Almari besar yang belum ia buka. Bahkan belum ia sentuh sama sekali. Almari kayu yang terlihat usang. Namun masih kokoh. Ada banyak sekali goresan di permukaanya. Membuat Aksa penasaran untuk mendekatinya. "Almari itu berisi semua barang ayahmu dan juga kakekmu." Belum sempat Aksa menghilangkan rasa penasarannya, kakek Monggo datang mengejutkan dirinya. " Boleh aku membukanya kek?" Kakek monggo tersenyum. "Boleh" itu jawaban yang membuat aksa sedikit lega. "Tapi nanti saja." Sergahnya saat aksa akan memegang gagang Almari tersebut. Lagi lagi itu membuat Aksa semakin penasaran. "Makanlah dulu, lalu kita akan keluar melihat suasana desa. Setelah itu kau bisa melakukan apapun di kamarmu saat waktu istirahatmu." Perkataan kakek Monggo seolah menjadi perintah karena Aksa tak mampu menolaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD