Bu Laila sang guru BP terbelalak menatap pria yang duduk di hadapannya. Bukan karena pria itu adalah pengusaha sukses yang tampan. Bu Laila terpana karena rambut pria itu pirang! Pak Aris menebar senyum berusaha memperoleh simpati dari guru BP tersebut.
“Rambut Anda kenapa?” tanya Bu Laila gugup.
“Hm... saya rasa tidak ada larangan bagi seorang wirausahawan untuk mengecat rambut.” Pak Aris membela diri.
Bu Laila menelaah wajah Pak Aris. Apa ketidakwarasan orang ini telah diturunkan kepada anaknya yang berpenampilan serupa? “Oh ya, tentu saja. Tapi seorang ayah seyogyanya menjadi panutan bagi anak mereka!” desis Bu Laila sembari mencibir.
“Anda benar. Saya memang bukan ayah yang baik.” Pak Aris menundukan kepala dengan sedih sehingga membuat Bu Laila merasa bersalah sudah berkata kasar.
“Dira sedang dalam tahap pemberontakan dan kesedihan yang luar biasa karena kehilangan ibunya. Saya yang bertanggung jawab atas semua itu.”
Bu Laila merasa makin bersalah dan segera meminta maaf. “Maaf saya turut berduka. Saya tidak tahu bahwa Anda baru kehilangan istri.”
“Tidak apa, Bu,” kata Pak Aris sembari tersenyum. “Saya mohon dengan sangat ibu memberikan sedikit kelonggaran pada Dira. Mengecat rambut dan tidak pulang ke rumah masih merupakan protes biasa. Tapi saya tidak tahu harus bagaimana jika dia memilih kabur ke kota lain seperti sebelumnya. Tolong Ibu pahami kondisi psikologisnya,” pinta Pak Aris.
Bu Laila terpaksa mengangguk setuju. Setelah mencapai kata sepakat Pak Aris lantas berpamitan. Begitu keluar dari ruang BP, dia disambut oleh Nino dengan harap-harap cemas.
“Bagaimana, Paman? Dira mendapat sangsi apa?” tanya Nino.
“Kamu kurang paham dengan kharismaku, Nino. Sedikit menggombal cukup membuatnya meloloskan Dira dari sangsi apa pun.” Pak Aris mengusap rambutnya dengan narsis. Nino tak urung dibuat tertawa. Ayah Dira memang sangat humoris.
“Tapi benarkah Dira tidak diberi sangsi?” tanya Nino.
“Satu bulan batas toleransinya. Lebih dari itu Dira harus mengecat kembali rambutnya atau menerima detensi,” jelas Pak Aris.
Nino menelan ludah. “Saya akan berbicara padanya,” kata Nino gugup.
Pak Aris menggeleng. “Ini bukan waktu yang tepat. Sekarang Dira tidak akan menerima apa pun nasihat kita. Dia mirip denganku, jadi aku hampir paham jalan pikirannya.”
Nino termenung sejenak. Memang orang yang sedang sedih biasanya hanya terfokus pada rasa sakitnya, mereka tak akan dengan mudah menerima nasihat dari orang lain yang tak ikut merasakan penderitaannya.
“Kalau begitu kapan waktu yang tepat?” tanya Nino dengan nanar.
Pak Aris mengangkat bahu. “Entahlah. Menurutku yang terbaik saat ini adalah membujuknya pulang dan menunjukkan betapa besar kasih sayang kita padanya.”
Nino menghela napas mendengar ucapan ayahnya itu. Pak Aris menyadari kegelisahan putranya. Dia menepuk pundak Nino, berupaya menenangkan pemuda itu. “Jangan terlalu kamu pikirkan. Aku yakin, nanti Dira akan segera sadar.”
Nino hanya mengangguk meskipun dia sebenarnya menyangsikan perkataan ayah tirinya.
***
Setelah Pak Aris berpamitan pulang, Nino hendak kembali menuju posnya. Namun langkahnya terhenti saat melihat sebuah peristiwa. Anton tampaknya sedang berdebat dengan Dira di kelas X MIA 2.
“Hebat sekali! Ini dia monyet kesayangan kita! Berani sekali masuk sekolah lewat atap!” olok Anton dengan tatapan tajam.
Dira menatap seniornya itu dengan malas. “Berisik amat sih, Gorila!” balasnya.
Anton jelas meledak saat dirinya dipanggil Gorila. Dia mencengkram kerah baju Dira dengan kasar. “Lo bener-bener kurang ajar ya! Berani ngelawan senior!”
Hardikan Anton semakin membahana sehingga membuat beberapa anak kelas X MIA 2 berjengit ketakutan. Namun, sentakan itu tak berpengaruh apa pun bagi Dira. Dia malah berani menepis tangan Anto dari kerah bajunya dengan kasar.
Anton tercengang. Seumur hidupnya belum pernah ada anak seangkatannya yang berani melawannya karena badannya yang bongsor bagai raksasa. Tapi adik kelas songong ini malah berani melawannya.
Anton melirik beberapa adik kelas yang tadi ketakutan. Mereka tampak kagum pada keberanian Dira. Anton berdecak kesal. Dia tidak bisa membiarkan dirinya meremehkan di depan junior dan teman-temannya.
“Lo bener-bener minta dihajar!”
Anton tak dapat menahan amarahnya lagi. Dia melangkan satu tinju ke wajah Dira. Dira dengan sigap mengelak lalu menghantamkan satu pukulan tepat ke ulu hati Anton sehingga cowok itu meringis.
Nino tak dapat tinggal diam melihat peristiwa itu buru-buru dia menghampiri kelas sambil menyegak. “Dira!” Nino segera berdiri di antara Anton dan Dira, berusaha untuk menengahi mereka.
Dira menatap saudaranya itu tak acuh, lalu mengibaskan tangannya seolah baru saja memukul nyamuk. “Cukup! Kalau kamu nggak berniat mengikuti MOS, lebih baik kamu pergi sekarang!” tegas Nino.
“Nggak usah disuruh, gue juga mau pergi!” Dira membalikkan badan lalu menyambar tasnya. Dia meninggalkan kelas dengan jalan melompati jendela dan melalui jalan masuknya tadi.
Adel hanya terduduk canggung di sana sambil mengelus dadanya. Dia tak mampu berkata-kata. Suasana tegang agak mereda setelah Dira pergi. Beberapa anak tampak takut melihat perilaku Dira, namun tak sedikit pula yang memberikan pujian.
Nino mengingatkan pada Silvi yang sedari tadi hanya diam karena takjub dan ketakutan. “Sil, antar adik-adik ke Aula. Sekarang jadwalnya perkenalan lingkungan,” kata Nino.
“Eh, i-iya-ya.” Silvi tergagap. Namun gadis itu segera menguasai suasana dengan mengajak siswa kelas X MIA 2 untuk segera keluar dari kelas.
Nino mengamati Anton yang masih meringis. Meski berbadan besar, Anton sebenarnya tak pandai berkelahi. Berbeda dengan Dira. Meskipun dia terlihat kurus, kering dan lemah, sebenarnya dia pemegang sabuk hitam taekwondo.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Nino.
Anton mengelus dadanya. “Mungkin tulang rusuk gue patah,” keluhnya berlebihan. Nino menahan senyum. Dia bisa mengukur kekuatan pukulan Dira tadi. Nino yakin pukulan semacam itu tidak akan mencederai Anton. Walau begitu, dia tetap menyarankan pada Anton untuk segera ke UKS.
***
Dua ratus siswa itu dibagi menjadi dua puluh kelompok. Setiap satu kelompok dibimbing oleh dua orang kakak pembina untuk berkeliling sekolah. Nino dan Lani secara kebetulan menjadi pembimbing kelompok sembilan yang beranggotakan Dini dan Adel. Dini bersorak girang pada Adel ketika mendengar siapa pembimbingnya.
“Ya ampun! Kita beruntung banget!” seru gadis itu. Adel mengangguk saja sebagai balasan.
“Kelompok sembilan ayo ikuti aku,” titah Nino. Adel dan teman-temannya mengekor di belakang Nino dan Lani. Nino mulai memperkenalkan nama dan letak-letak bangunan dari SMA Dharma kepada para juniornya. Beberapa memerhatikan, yang lain malah sibuk terpesona dengan ketampanan pemuda itu.
Setelah mengeksplor sisi barat SMA Dharma yang hanya berupa ruang-ruang kelas. Kelompok sembilan lalu melewati gedung sebelah timur. Kini giliran Lani yang memberi penjelasan pada juniornya. “Nah, ini gedung olahraga. Di sini ada berbagai fasilitas olahraga yang sangat lengkap.”
Adel menguap dan menggosok matanya yang mengantuk. Dia sudah jenuh berkeliling sekolah. Belum lagi semalam dia bergadang untuk mengerjakan tugas. Nino menjejari gadis itu kemudian tersenyum.
“Kamu mengantuk?” tanya Nino.
Adel tersentak. Matanya langsung terbelalak. Rasa kantuknya menguap seketika. Dia hanya menyengih pada kakak kelasnya itu. “Maaf, Kak.”
Nino tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, kamu nggak akan dihukum hanya karena menguap. Aku juga paham kalau MOS itu capek. Aku pernah muda.”
Kata-kata Nino membuat tawa Adel mengembang. Nino berlagak sudah tua hanya karena menjadi senior setahun di atasnya. Senyuman Adel membuat Nino terpaku. Gadis itu memang sungguh manis. Wajar saja kalau Dira menyukainya.
“Oh iya, kamu teman SMP Dira, kan?” tanya Nino.
Adel tercekat. “Kakak tahu dari mana?” tanyanya.
“Dira yang cerita,” terang Nino. Tentu saja Nino tak dapat menceritakan kejadian sebenarnya bahwa Dira menulis nama Adel di bukunya sambil senyum-senyum sendiri.
Adel mengkerut. Bukankah Dira sudah berjanji untuk berpura-pura mereka tidak saling kenal? Adel mengumpat dalam hati karena Dira mengingkari janjinya.
“Bagaimana hubungan kalian saat SMP? Kamu akrab dengannya?” tanya Nino.
“Tidak! Sama sekali tidak akrab. Hanya tahu nama saja,” elak Adel sembari mengibaskan tangannya. Dia tidak ingin masa lalunya kembali dihubungkan dengan Dira. Atau rahasianya akan terkuak.
Nino tertegun mendengar penuturan Adel. Tak mungkin Dira bisa berekspresi seperti itu jika mereka tak akrab. Nino mengamati Adel. Kenapa Adel berusaha menyembunyikan fakta kedekatan mereka? Apakah karena perubahan sikap Dira sekarang ini?
Nino berdeham meskipun tenggorokannya tidak gatal. Dia lalu kembali bertanya, “Adel, apa menurutmu Dira sekarang berubah?”
Adel mengangguk setuju. Dira yang sekarang memang jauh berbeda dari Dira yang dikenalnya dulu. “Ya.”
“Banyak hal yang terjadi dalam dua tahun. Meskipun kini dia sangat kasar, sebenarnya dia anak yang baik. Aku mohon jangan benci dia.”
Adel menghentikan langkahnya dan menatap seniornya itu. Nino balik menatapnya sambil tersenyum. “Aku rasa, kamu adalah salah satu teman yang berharga baginya. Karena itu, tetaplah berteman dengannya.”
Adel mengumbar senyuman meski hatinya berkata lain. Tidak! Dira tak pernah menganggap dirinya berharga! Bagi Dira, Adel hanya “Itik buru rupa.”
***