“Kamu akrab banget sama anak baru itu?” tanya Lani.
Lani berusaha menahan emosinya setelah sedari tadi melihat pacarnya sibuk bercengkrama dengan cewek lain ketika dirinya tengah memberi penjelasan pada juniornya. Dia sengaja menggunakan nada yang manis dan lembut. Lani tak ingin dianggap over protective. Dia berusaha tampak biasa saja meskipun sebenarnya dia cemburu berat.
Nino mengulum senyum. Senyuman manis yang bisa membuat serangan jantung mendadak. “Iya, dia teman SMP Dira,” terang Nino.
“Oh.” Lani balas tersenyum meski hatinya mulai terbakar api cemburu. “Aku lihat kamu ngobrol sama dia pakai bahasa aku-kamu,” protes Lani tetap dengan nada yang lembut sehingga Nino sama sekali tak menyadari kejengkelannya.
Nino adalah tipe cowok yang hanya menggunakan aku-kamu untuk orang yang spesial baginya. Lani salah satu yang mendapatkan kehormatan itu. Lani sungguh tak sudi jika harus membagi kehormatanya itu dengan gadis lain.
“Iya, dia itu asli Surabaya. Nggak enak, kan, kalau ngobrol pakai lo-gue. Aku jadi merasa sombong aja,” dalih Nino.
Nino memang ingin menjadi akrab dengan Adel. Nino ingin tahu bagaimana kehidupan Dira saat di Surabaya dulu. Nino ingin tahu seberapa besar pengaruh Adel terhadap Dira. Nino juga ingin tahu, dapatkah dia meminta bantuan Adel untuk mengembalikan adiknya itu seperti dulu.
Lani mengumpat-umpat dalam hati. Dia bersumpah akan memperingatkan anak baru itu untuk menjauhi pacarnya sebelum kesabarannya benar-benar hilang.
***
Seisi kelas mendadak hening ketika Adel memasuki kelas. Dia melihat beberapa anak tampak berbisik-bisik sambil cekikikan. Adel menunduk, berusaha tak mengacuhkan mereka.
“Hei, gentong berjalan!” olok salah seorang teman sekelasnya.
Adel makin merunduk, berusaha menahan perasaannya. Tiba-tiba dia terjembab karena kaki salah seorang temannya sengaja menyandung langkahnya. Mereka terbahak melihat Adel tersungkur hingga buku-buku yang dibawa Adel berserakkan di lantai. Adel menahan air matanya yang mulai menggenang. Dia meremas buku-buku jarinya kuat-kuat.
Sepasang kaki terlihat berdiri di hadapannya. Pemilik kaki itu lalu berjongkok sehingga Adel bisa melihat wajahnya dengan jelas. “Kamu nggak apa-apa?” tanya pemuda itu.
Adel tersenyum kecil. Rasa sedihnya menguap seketika karena melihat kehadiran pemuda itu. Pemuda itu membantu membereskan barang-barang Adel yang tercecer lalu membantunya berdiri.
“Kalian ini keterlaluan! Untuk apa sih kalian melakukan hal seperti ini? Kalian kekanak-kanakan!” tegur pemuda itu pada teman-temannya. Semuanya terdiam. Beberapa orang yang tertawa berpura-pura tak ikut campur. Tak ada yang berani melawan Dira, cowok paling pintar dan tampan di sekolah.
Adel tersenyum kecil. Dia kagum pada kebaikan Dira. Dira turut tersenyum padanya dengan senyuman manis. Namun senyuman itu perlahan berubah menjadi seringaian jahat. “Kenapa kamu senyum-senyum! Itik buruk rupa!”
Adel terperanjat. Napasnya memburu. Tiba-tiba saja mimpi indahnya berubah menjadi mimpi buruk. Dia mengamati sekelilingnya dan terkejut menyadari posisinya. Rupanya dia masih berada di kelas dan sedang mendengar pengarahan dari kakak kelas. Rupanya dia benar-benar lelah hingga tertidur.
Silvi berdiri di hadapannya sambil mendongak. “Berani-beraninya lo tidur di kelas!” sentak Silvi. Adel terkesiap dan hanya bisa menggumamkan permintaan maaf.
“Sudah Sil,” tegur Lani. Senior Adel itu tersenyum padanya. “Kasihan dia sepertinya kecapekan.”
Adel terpana memandangi Lani. Dia tak menyangka kakak kelasnya itu ternyata sangat baik. Dia benar-benar seperti dewi khayangan. “Bagaimana kalau kamu istirahat saja di UKS? Mau kuantar?” tawar Lani.
Adel semringah. Rejeki nomplok nih! Tentu saja Adel memanggut. Dia lalu bangkit dan mengikuti langkah Lani. Setelah beberapa saat, Adel tampaknya sadar bahwa Lani membawanya ke arah yang salah. Seingatnya saat berkeliling sekolah tadi UKS ada di sebelah timur dari kelasnya, tapi Lani justru membawanya ke arah barat.
“Kak, apa kita nggak salah jalan? Bukannya UKS di sana?” Adel menunjuk arah timur.
Lani berbalik lalu memandang Adel dengan senyumannya yang menawan. “Lo pikir gue bakal beneran nganterin lo ke UKS? Ha?”
Adel tepekur mengawasi Lani. Ekspresi manis bak dewinya telah berubah menjadi setan alas. Kakak kelasnya yang cantik itu melotot padanya dengan garang. Dia menunjuk Adel dengan jari telunjuknya. “Jangan mimpi! Cabuti tuh rumput di belakang sekolah!” Lani mendengus kesal. Mengeluarkan seluruh unek-uneknya yang sempat tertahan selama berhari-hari.
“Dan satu lagi! Jangan keganjenan! Jangan sok akrab sama cowok gue!” semburnya.
***
Nino baru saja mau kembali ke ruang OSIS saat melihat Dira melintasi koridor. Cowok itu rupanya hendak membolos MOS. Nino lantas menghampiri adik tirinya itu untuk menegurnya.
“Dira, kamu mau ke mana?” tanya Nino.
Dira menatap Nino dengan datar. “Bukannya kamu tadi mengusirku?” tanyanya.
Nino menghela napas. “Sampai kapan kamu mau begini?” Nino balik bertanya.
“Apa maksudmu sampai kapan? Selamanya aku memang begini,” jawab Dira tak acuh. Dira bahkan tak menatap mata Nino saat bicara sehingga tempramen Nino meningkat.
“Jangan kekanak-kanakan! Tak seharusnya kamu bersikap seperti ini hanya karena kamu marah pada ayahmu!” tegas Nino.
Dira tertawa sinis mendengar nasihat Nino itu. Emosinya ikut tersulut. “Kamu sebenarnya senang, kan? Kamu senang, kan, melihat semua ini!” bentak Dira dengan tatapan tajam bak pedang yang menghunus tepat di jantung Nino. “Dia ayahmu sekarang! Ambil saja dia!”
d**a Nino terasa sesak mendengar ucapan Dira itu. Dia hanya menatap Dira dengan nanar tak tahu harus menjawab apa. Dira melewati Nino. Dengan segaja dia menabrakkan bahunya ke bahu Nino. Nino hanya bergeming. Dia tak mampu menghentikan Dira.
***
Terik mentari serasa menyengat kulit. Adel berjongkok, dia mencabuti rumput di halaman belakang samping sekolah. Tempat itu tampaknya luput dari petugas kebersihan sekolah sehingga rumputnya dibiarkan tumbuh tinggi.
“Cabut semua rumput-rumput ini. Kalau gue balik, semua harus sudah bersih!” titah Lani. Gadis cantik namun culas itu lalu meninggalkan Adel.
Adel mendengus. Dia tak menduga bahwa sikap baik dan ramah yang ditunjukan Lani di kelas tadi ternyata hanya kedok saja. “Dasar musang berbulu domba!” umpat Adel kesal. Dia terpaksa menjalani hukuman dari seniornya itu dengan asal-asalan.
Sebuah ide tebesit di benak Adel. Dia membayangkan rumput-rumput itu adalah rambut Lani. Dia lalu mencabutnya dengan dengan penuh emosi. Ternyata rasanya cukup menyenangkan. Dia jadi makin bersemangat mencabuti rerumputan itu.
“Rasakan! Aku cabuti semua rambutmu!” geram Adel.
“Mukamu serem banget.”
Adel tertegun saat mendengar suara itu. Dia menengok ke asal suara dan mendapati Dira yang tengah berdiri dua meter di depannya sembari menenteng tas ransel hitamnya. “Ngapain kamu bicara sendiri?” tanyanya.
Adel mengerut. “Kamu sendiri ngapain di sini? Seharusnya kamu mengikuti MOS dengan benar! Bikin malu kakakmu saja.” Adel balas mengolok.
Dira mengangkat sebelah alisnya. “Kakak?”
“Kak Nino. Dia kakakmu, kan?” Adel menegaskan.
“Dia saja yang mengaku-ngaku!” Dira membalikkan badan lalu menghampiri pohon mangga di belakang taman itu, bersiap memanjatnya. Adel terdiam sambil memandangi punggung Dira. Entah mengapa rasanya dia jadi ingin menangis. Mengapa Dira menjadi terasa asing baginya?
Kata-kata Nino saat acara perkenalan lingkungan tadi menggema dalam pikiran Adel. “Meskipun kini dia sangat kasar, sebenarnya dia anak yang baik. Aku mohon jangan benci dia.” Adel menunduk. Seandainya dia bisa membenci Dira, mungkin segalanya akan jadi lebih mudah.
Adel lalu teringat kembali pada kata-kata Nino yang sebelumnya. “Banyak hal yang terjadi dalam dua tahun.” Adel tepekur. Memang waktu telah berlalu. Mungkinkah ada alasan dibalik perubahan perilaku Dira ini?
“Kenapa kamu bisa berubah drastis menjadi seperti ini?” tanya Adel.
Dira tak langsung menjawab, untuk beberapa saat dia menatap gadis itu dengan sudut matanya tajam dan dingin. “Tanyakan hal itu pada dirimu sendiri!” jawab Dira dengan angkuh.
Adel terdiam beberapa saat lalu memberanikan diri untuk kembali bertanya. “Apa terjadi sesuatu lama dua tahun kita tidak bertemu?”
Adel memandangi Dira lagi. Cowok itu hanya diam sembari terus memunggunginya. “Bukan urusanmu!” tegasnya. Dira memanjat pohon sehingga dia lebih mudah meloncati tembok Berlin yang membatasi wilayah SMA Dharma dan SMA Nusantara. Pemuda itu pun menghilang dari pandangan.
Adel tertegun. Ingatannya mulai kembali ke masa-masa SMP dulu, ketika dia masih berteman baik dengan Dira. Pada suatu saat Dira memergoki Adel menangis sendirian di kelas. Pemuda itu menghampirinya kemudian bertanya dengan khawatir.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Dira.
Adel terkejut saat menyadari keberadaan Dira. Buru-buru dia menghapus air matanya lalu berupaya tersenyum. “Nggak apa-apa. Mataku hanya kemasukan debu,” dusta Adel.
Dira menggeret kursi di depan Adel kemudian duduk di sana sambil tersenyum. “Ayolah beri tahu aku! Urusanmu itu urusanku juga. Kita kan teman.”
Bulir-bulir air menetes dari pelupuk mata Adel saat mengingat peristiwa itu. Tangannya mencengkram rumput kuat-kuat. Adel mengulangi ucapan Dira saat itu meskipun Dira telah pergi dan tak mungkin mendengarnya. “Urusanmu itu urusanku juga. Kita kan teman.”
***