Teman Lama

1139 Words
“Dira!” Adel memanggil Dira sesaat setelah pemuda itu keluar dari kelas setelah mendengar bel istirahat berbunyi. Namun pemuda itu tak menggubrisnya sehingga Adel mengulangi panggilannya. “Adira! Adira Prasaja!” Pemuda itu akhirnya berhenti lalu menoleh dengan jengkel pada Adel. Adel menegakkan kepala berusaha tampil berani. “Ikut aku sebentar, aku mau bicara,” kata Adel.  Dira mengerutkan dahinya namun mengikuti gadis itu tanpa berkomentar. Adel mengajaknya ke tempat yang sepi. Setelah memastikan tidak ada orang, Adel mulai bersuara. “Aku mohon jangan menyebarkan gosip apa pun tentangku,” pinta Adel dengan sangat. Dira menyeringai dengan sinis. “Gosip apa? Gosip kalau kamu operasi plastik?” Adel merasa tertampar mendengar pertanyaan Dira. Dengan menekan seluruh amarah dan rasa sedihnya gadis itu bertanya. “Apa maksudmu?” Dira mengangkat bahu. “Bukankah sudah jelas? Penampilanmu berubah dari itik buruk rupa jadi angsa cantik? Penjelasan apa yang masuk akal selain operasi plastik?” tanya Dira. Hati Adel mencelus seketika. Bukan karena tuduhan Dira yang menyebutnya operasi plastik, tapi karena pemuda itu menyebut dirinya yang dulu “Itik buruk rupa”. Itukah padangan Dira yang sebenarnya terhadap dirinya? Adel menarik napas sembari menekan air matanya yang mulai menggenang. “Terserah apa katamu. Tapi aku pindah ke sini untuk memulai hidup baru. Aku mohon dengan sangat berpura-puralah kita nggak saling kenal,” tegas Adel. Dira menatap Adel selama beberapa detik kemudian mengedikan bahunya. “Oke. Aku juga nggak tertarik ikut campur urusan Cinderella kampungan.” Dira lalu mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk hidung Adel. “Dan jangan memanggilku dengan nama itu lagi!” Adel menautkan alisnya bingung. “Dira?” tanyanya. “Iya, yang itu! Jangan berani memanggil aku dengan nama itu!” Dira membalikkan punggung lalu menjauhi Adel yang terpaku. Adel tidak menyangka waktu dua tahun ternyata bisa merubah segalanya. Dira, sahabatnya yang dulu baik, tampan dan populer kini telah berubah menjadi seorang berandalan. Adel merenung sejenak. Tunggu dulu, Adel telah menunda sekolahnya dua tahun sejak peristiwa itu. Berarti seharusnya Dira sekarang menjadi kakak kelasnya, kan? Tapi kenapa mereka tetap satu angkatan? *** Kegiatan MOS benar-benar menyita energi. Kakak kelas sepertinya menjadikan acara MOS sebagai ajang balas dendam atas perlakuan yang pernah mereka dapatkan dari pendahulu mereka. Ada saja kesalahan yang membuat pada siswa baru kena marah. Adel kena semprot Silvi, kakak kelasnya yang paling judes. Adel dituduh memakai lipgloss gara-gara bibirnya berminyak setelah makan gorengan. Dira mendapatkan dera paling banyak dari senior. Tapi pemuda itu bertingkah bak revolusioner yang tak mengenal takut. Semua kalimat pedas dari senior ditangkisnya dengan satu dua kata yang malah menimbulkan humor. Cukup efektif menghibur para siswa baru namun juga membuat senior semakin keki dan memberikan banyak hukuman. Akhirnya pukul empat sore, Adel dan temannya berteriak girang karena diijinkan pulang. “Aduh capek banget. Masih kurang dua hari lagi nih, nerakanya,” keluh Dini. Adel hanya tertawa kecil dan menghibur sahabat barunya itu saat mereka pulang bersama. Tepat di sebuah perempatan mereka berpisah karena mengambil jalur yang berbeda. Adel melangkah sendirian dengan was-was, takut kejadian tadi pagi terulang lagi. Adel terperanjat saat melihat dua meter di depannya, Dira sedang berjalan sendirian. Adel segera mengenali pemuda itu dari rambut pirangnya. “Cih, kenapa harus ketemu dia lagi,” umpat Adel kesal. Seolah mendapat wangsit, Dira menoleh ke belakang kemudian menatapnya dengan tajam. “A-aku nggak mengikutimu! Rumahku memang lewat sini!” Adel membela diri bahkan sebelum Dira berkata apa-apa. Dira hanya berdecak kemudian meneruskan langkah. Baru beberapa meter mereka melangkah, Dira sudah berhenti lagi. Tanpa menoleh ke belakang Dira berkata. “Jangan mengikutiku!” Adel jelas melotot mendengar tuduhan Dira itu. “Sudah kubilang aku nggak─” Sebelum Adel menyelesaikan kalimatnya, Dira berlari dengan kecepatan luar biasa. Hampir bersamaan dengan itu, munculah seorang pemuda dari belakang Adel. Pemuda itu berlari mengejar Dira. Adel mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. Dia baru sadar ada orang lain yang membuntuti mereka. Terlebih orang itu adalah Nino! Sang wakil ketua OSIS yang penuh kharisma itu! Dipicu oleh rasa penasarannya, Adel ikut serta dalam lomba maraton dadakan tersebut. Namun, karena staminanya yang payah dia sangat kesulitan mengejar dua pemuda itu. Setelah berlari beberapa meter lamanya hingga kehabisan napas, Adel melihat Nino berdiri ujung pertigaan sambil memegangi kepala dan menstabilkan napas. “Sial! Larinya cepat juga. Ke mana dia?” umpat Nino sambil terengah-engah. Nino terperanjat saat mendapati Adel yang tiba-tiba berdiri di sampingnya dengan ngos-ngosan. “Kenapa... kalian... kejar-kejaran?” tanya Adel, dia masih penasaran walau napas sudah diujung tanduk. “Kamu siapa?” tanya Nino bingung. Adel baru saja mau memperkenalkan diri saat Nino tiba-tiba menyahut. “Oh! Kamu cewek yang jadi buah bibir itu, ya? Adel, kan! Katanya kamu akan menggeser Lani dari singgahsana karena kecantikanmu,” kata Nino sambil tertawa. Dia memperlihatkan giginya yang rata dan memesona. “Kamu kenal Dira?” “I-iya kami sekelas.” Adel menjawab dengan tergagap. Meskipun pertanyaan Nino hanya pertanyaan biasa, Adel takut ketahuan memiliki hubungan dengan berandal itu di masa lalu. Nino tersenyum sehingga membuat detak jantung Adel seketika meningkat dua kali lebih cepat. “Oh begitu. Tolong bantu dia ya. Sebenarnya dia itu adikku,” kata Nino. Adel terperanjat mendengar ucapan Nino. “Adik?!” Nino menunduk dengan sendu. “Seenggaknya aku menganggapnya begitu.” Nino kembali tersenyum lalu mengulurkan tangannya. “Oh iya, kita kan belum kenalan. Kenalkan aku Elnino Diego.” Adel balas menjabat tangan Nino. “Saya Adelia Zahra. Salam kenal, Kak.” Nino tampak tertegun, dia lalu mengawasi wajah Adel lekat-lekat. “Adelia Zahra...” Adel melirik jam tangannya lalu terkesiap. “Maaf kak, ini sudah sore saya harus pulang dulu,” kata Adel gugup. Ibunya sering paranoid jika Adel pulang lebih sore dari tanpa mengabari dulu. “Oh iya. Sampai jumpa besok.” Adel berjalan dengan tenaganya yang masih tersisa menuju halte. Nino mengamati sosok Adel yang menjauh sambil memegangi dagunya. “Adelia Zahra... Adelia Zahra... di mana gue pernah dengar nama itu?” Nino merenung mencoba menggali ingatannya. Nino tertegun saat terigat pada suatu kenangan. Saat itu dia sedang berlibur di Surabaya. Dia melihat Dira yang sedang sedang mencorat-coret buku di balkon. Dira yang dulu rambutnya hitam dan memiliki gaya rambut yang sangat mirip dengan Nino sehingga mereka sering dikira kembar. Nino mengendap-endap di belakang Dira untuk mengejutkan pemuda itu. Namun, Nino mengurungkan niatnya saat melihat satu kalimat yang tertulis pada buku tulis Dira yang dipandangi Dira sambil cengar-cengir tidak jelas. Nino membaca nama itu dengan suara pelan. “Adelia Zahra.” Dira terperanjat dan segera menutup bukunya dengan gugup. Nino duduk di sampingnya sambil tertawa. “Siapa itu? Pacarmu?” tanya Nino. “Berisik! Jangan ikut campur!” Dira mengumpat, namun Nino bisa melihat rona di pipi Dira yang membara. Pikiran Nino yang melayang-layang ke masa lalu kembali ke tubuhnya. Nino menatap Adel yang sudah hampir menghilang dari pandangan. “Oh, Adelia Zahra! Apa mungkin dia?” Nino tertawa kecil kemudian melangkah pergi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD