Kurang lebih sudah hampir satu tahun Listya bekerja di perusahaan Relix, sudah banyak pula masalah pelik yang atasannya itu hadapi. Hal yang tidak Listya duga adalah yang menjadi dalang dari masalah bosnya adalah sahabat istri bosnya sendiri, Listya sendiri tidak pernah menyangka apalagi dengan Syafira. Kini Syafira sudah keluar dari perusahaan ini dan bekerja sebagai seorang CEO di perusahaan keluarganya, pengganti Syafira adalah Maura dan Listya sangat tidak menyukai Maura karena wanita itu terlihat sangat licik sekali. Bekerja selama itu dengan Relix membuat Listya merasa nyaman dan menganggap Relix sebagai seorang teman, jika Syafira tidak bisa bertemu terus dengan Relix maka ia yang akan menjaga Relix untuk Syafira.
Hal yang sering Listya tangkap adalah Maura berusaha menggoda Relix dan beruntung pria itu sama sekali tak tergoda, Listya jelas merasa takjub akan hal itu. Wanita itu tak menyangka sesetia itu cinta Relix pada Syafira, ah dia jadi membayangkan bagaimana indahnya hidup jika memiliki seorang suami seperti Relix. Ia jelas tidak menyukai Relix ya, ia hanya kagum dengan sikapnya saja. Ia juga sadar diri kalau bosnya itu sudah memiliki seorang istri, tak ada tempat di hati Relix untuk wanita lain. Bahkan di saat pelik pun, Relix tetap mencintai istrinya yang berada di ambang kematian.
Untunglah Tuhan masih memberikan kehidupan bagi istri bosnya itu, ia tidak bisa membayangkan sekacau apa hati Relix jika Syafira pergi. Ia sendiri adalah saksi dari perjalanan cinta dan bisnis bosnya, di samping sudah menganggap Relix teman ia juga sudah menganggap Syafira sebagai keluarga. Walau mereka tidak dekat, entah mengapa Listya rasanya ingin sekali lebih dekat dengan keluarga itu. Bukan bermaksud mencari pamor atau apapun itu, hati nuraninya lah yang memintanya seperti itu.
Hal yang begitu menyebalkan bagi Listya adalah ketika ia pulang ke rumah maka orangtuanya selalu saja mendesak agar ia mengenalkan pacarnya, ya selain menghadapi masalah kantor ia juga menghadapi masalah rumah yang begitu membuatnya kesal. Untuk itu ia sempat berbohong pada kedua orangtuanya kalau ia sudah memiliki kekasih dan kekasihnya sedang sibuk makanya ia tidak sempat mengenalkan, dan sepertinya istilah senjata makan tuan itu memang benar adanya. Nyatanya ia kembali dimintai kedua orangtuanya untuk pulang sekaligus membawa pria yang katanya adalah pacarnya, sekarang ia bingung harus melakukan apa.
"Ma, aku enggak bisa pulang. Kantor lagi sibuk-sibuknya," ujar Listya memberikan alasan berjuta kali pada mamanya.
"Kamu ini! Alasan itu mulu tiap Mama mintain pulang dan ajak pacar kamu ke rumah, ah Mama tahu sekarang. Jangan-jangan sebenernya kamu enggak punya pacar tapi kamu mengaku punya biar Mama enggak kenalin kamu ke anak teman papa 'kan?" tebak Mama Lira yang memang benar adanya.
Listya merutuki perkataan mamanya yang kenapa bisa benar itu, sekarang dengan alasan apalagi ia harus berbohong. Ia benar-benar tidak bisa pulang, ia tidak mau mamanya mengenalkannya pada pria lagi.
"Umur kamu itu udah mau 28, masa iya mau sendiri terus? Kamu enggak kasihan sama papa dan Mama kamu yang udah tua dan kepingin nimang cucu dari kamu, apalagi kamu itu anak kami satu-satunya." Listya merasa sangat lemah jika mamanya sudah membawa-bawa usia.
"Iya, aku ngaku kalau selama ini aku enggak punya pacar, Ma. Ma, aku masih muda. Belum sampai juga kepala tiga, enggak usah terlalu gencar gitu mojokin aku biar cepat nikah. Nanti juga aku pasti nikah kok," ucap Listya.
"Ya Mama tau, tapi apa salahnya kalo kamu kenal sama dia dulu. Mama juga enggak maksa kamu nikah dalam waktu seminggu ini kok, Mama cuma pengen kamu punya calon aja. Dekat sama cowok, udah itu aja. Kamu bisa kenal dulu sama dia, kalo emang masih enggak cocok Mama enggak maksa kamu buat nikah sama dia. Ya, Sayang? Mau ya hari ini kamu pulang? Kan hari ini kamu libur, jangan kamu kira Mama enggak tahu kalau hari ini kamu cuma rebahan di apartemen." Listya bungkam mendengar ucapan mamanya, mengapa mamanya itu bisa tahu? Jangan bilang kalau mamanya sudah menaruh CCTV di kamarnya agar mamanya tahu kapan ia libur dan bekerja.
"Mama enggak naruh CCTV di kamar kamu," ucap Mama Lira seakan ia mengetahui kalau sang anak akan menuduhnya yang tidak-tidak.
"Loh? Mama kok tahu kalau aku mau bilang itu?" tanya Listya terkejut.
"Mama bisa baca pikiran kamu, udah ah Mama tahu itu enggak penting dari mana. Yang harus kamu tahu kamu harus datang siang ini, kita makan siang bersama sekalian kenalan sama anak teman papa. Mama enggak mau tau, kamu harus datang. Kalau enggak datang, Mama enggak mau lagi anggap kamu anak!" Tut ... Secara sepihak telepon itu dimatikan.
"Hallo? Ma!?" Listya memandangi layar ponselnya yang sudah tidak tersambung lagi panggilan, wanita itu berdecak kesal. Mamanya itu begitu pemaksa, ancaman yang jelas saja tidak akan mungkin Listya terima.
Ini masih jam setengah sebelas siang, masih ada waktu satu jam setengah untuk dia bersiap-siap kemudian pergi ke rumah orangtuanya. Tanpa membuang banyak waktu lagi Listya pergi ke kamar mandi membersihkan dirinya, padahal tadi ia berniat bermalas-malasan di atas ranjang tanpa mandi. Ini semua gara-gara paksaan mamanya, mau tak mau ia harus terbangun dari rasa malasnya.
"Satu jam lagi, cukuplah kayaknya kalo gue berangkat sekarang." Listya bergumam pelan sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
Wanita itu keluar dari apartemennya dengan penampilan yang begitu manis, jika saja orang lain tak mengenalnya kemungkinan besar mereka mengira kalau Listya masih kuliah. Wajah baby face yang dia miliki membuat Listya terlihat lebih muda beberapa tahun dari umurnya yang sebenarnya. Listya harus rela berdesakan dengan orang-orang lain ketika berada di dalam lift, entah kebetulan atau bagaimana tiba-tiba saja banyak orang yang ingin turun ke bawah. Atau mungkin karena ini mendekati jam makan siang, sehingga ramai orang yang ingin mencari makan.
Cukup melegakan ketika ia keluar dari dalam lift yang penuh itu, tanpa membuang waktu lebih banyak lagi ia menaiki mobilnya kemudian mengendarai mobilnya menuju kediaman orangtuanya. Setengah perjalanan, ia harus mengalami sial karena jalanan begitu macet. Lima belas menit ia menunggu barulah perlahan-lahan mobil-mobil itu mulai berjalan, tetapi ada yang membuat Listya heran dan kesal karena mobil hitam mewah di hadapannya tak jua berjalan. Berkali-kali ia menekan klakson mobilnya berharap kalau orang di depannya yang entah siapa itu bisa sadar kemudian tidak menghalangi jalannya lagi.
Kesal karena orang di depannya tak kunjung melajukan mobilnya, Listya turun dari mobilnya kemudian mengetuk kaca mobilnya.
"Woy! Lo enggak tahu apa kalau lampu udah hijau? Lo ngalangin jalan gue!" Tanpa tahu siapa orangnya, Listya sudah menumpahkannya kekesalannya.
"Listya?" Tubuh Listya membeku begitu mendengar suara yang teramat ia kenali, apalagi ketika kaca mobil perlahan terbuka dan menampilkan wajah seorang pria yang tidak ingin ia temui lagi.
Sejenak Listya masih membeku, rasa sakit kembali hadir ketika melihat wajah si b******k itu. Kalau di perhatikan, wajahnya tak seceria dulu. Wajahnya nampak pucat dan seperti tidak bahagia, apakah dia sudah menikah dengan selingkuhannya? Buat apa lo peduliin dia? Dia aja enggak pernah peduli sama lo! Hati kecilnya kembali mengingatkan Listya agar kembali ke alam sadarnya.
"Ehem ... Maaf Anda menghalangi jalan, bisakah Anda segera menjalankan mobilnya? Saya buru-buru." Setelah mengatakan itu, Listya segera memasuki mobilnya dengan perasaan campur aduk.
Listya berpikir kalau pria itu akan menjalankan mobilnya, tetapi yang ada pria itu malah menepikan mobilnya kemudian berlari dengan cepat menghampiri mobilnya. Listya yang tidak ingin lagi bertemu dengan orang itu pun akhirnya mengambil kesempatan, ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh. Apalagi ketika melihat mobil hitam itu seakan mengikutinya, tidak ia tidak mau lagi bertemu dengan pria b******k itu.
"Jangan nangis ... jangan nangis ... lo kuat, Tya, jangan nangis." Ia berusaha menenangkan hatinya sendiri walau tak bisa, nyatanya sepanjang perjalanan tanpa diminta air matanya luruh membahasi kedua pipinya.
Dengan menangis perasaannya pasti akan jauh lebih baik, walau nantinya ia pasti akan merasa bingung bagaimana cara ia menjelaskan kenapa matanya bisa sembab. Sambil mendengarkan lagu di radio, Listya menjalankan mobilnya dengan tenang. Ia tidak lagi mengingat pertemuan itu, ia anggap pertemuan itu adalah kesialan baginya.
Sementara itu, di tempat lain Sandi Ananda merasa begitu kesal karena ia kehilangan jejak Listya. Ia yakin sekali kalau itu adalah Listya dan bukannya halusinasinya saja, ia yakin sekali. Wajah yang akhir-akhir ini murung tiba-tiba tersenyum tipis, setidaknya ia merasa lega karena Listya baik-baik saja. Namun, wajah itu kembali murung ketika mengingat kalau pernikahannya pasti akan segera berakhir, besok adalah sidang perceraian antara ia dan Laura. Rasa benci itu memang begitu mendominasi, tetapi tak dapat dipungkiri kalau sebenarnya Sandi perlahan mulai menerima Laura sebagai istrinya.
Ia menganggap kalau ini adalah hukuman karena ia telah menyakiti hati Listya, mungkin sakit yang ia rasakan tak sebanding dengan perasaan sakit di hati Listya di saat ia melakukan kesalahan satu malam itu bersama Laura. Apakah Listya juga sudah menikah? Apakah dia sudah memiliki anak? Apakah dia bahagia dengan pernikahannya? Tiba-tiba saja tiga pertanyaan itu langsung terbesit dalam pikirannya. Entah mengapa kini ia merasa begitu menyesal, penyesalan itu memang berada di akhir. Jika berada di awal, maka orang-orang pasti tidak akan melakukan kesalahan.
"Semoga kamu bahagia, Tya. Aku berharap aku bisa bertemu dengan kamu agar aku bisa meminta maaf secara langsung," gumam Sandi kemudian menjalankan mobilnya kembali ke kantor. Seberantakan apapun hidupnya, ia tetap harus bekerja. Apalagi adiknya baru saja dalam masa pemulihan, tidak ada yang bisa mengurus perusahaan selain dirinya. Sebagai seorang direktur tentu saja ia memiliki tanggung jawab yang begitu besar.
***
Hai hai author up lagi, boleh minta comennya dong para readers hehehe
Tap love dan follow akun author jgn lupa ya wkwk