3. Perceraian

1893 Words
Hari ini langit begitu cerah sekali, tetapi tak secerah hati seorang pria yang sebentar lagi akan menyandang status duda tanpa anak. Ya, tepatnya hari ini adalah sidang perceraiannya dengan sang istri yang sebentar lagi akan menjadi mantan istri. Meskipun ada sedikit rasa cinta di hatinya untuk sang istri, tetapi tidak menutupi rasa benci yang ia miliki karena kekecewaannya atas sikap Laura–istrinya. Sandi tidak akan pernah memaafkan Laura atas apa yang telah wanita itu lakukan pada sang adik, seberapa besar ia mencintai istrinya, cinta itu tak akan terkalahkan dengan rasa kasih sayangnya pada adiknya yang sejak dulu sudah bersama-sama dengannya. Ia telah siap dengan kemeja berwarna putih serta celana bahan dan juga jas berwarna hitam, rencananya setelah sidang perceraian ia akan langsung pergi ke kantor. Entah itu bisa ia lakukan atau tidak, tergantung suasana hatinya apakah ia mampu bekerja ketika hatinya telah patah. Pria itu menatap rumah yang pernah ia dan Laura tinggali, rumah ini akan dijual dan uangnya akan Sandi kirimkan untuk Laura. Hitung-hitung ini adalah pemberian terakhir untuk istri yang sebentar lagi akan menjadi mantan istri. Pernikahan mereka diawali dari sebuah kesalahan, tidak ada rasa cinta di hati mereka saat menikah waktu itu. Dan kini di saat hatinya mulai luluh, perceraian yang teramat menyakitkan lah yang harus terjadi. Sandi menghela napas sebelum ia akhirnya memilih keluar dari rumah itu, memasuki mobil hitamnya kemudian menjalankannya menuju pengadilan agama. Sepanjang perjalanannya pikirannya begitu kosong, tetapi ia berusaha memfokuskan pandangannya ke depan. Ia tidak mau mati mengenaskan karena kecelakaan di saat hari perceraiannya. Hingga akhirnya ketika mobilnya berhenti di parkiran pengadilan agama, ia dapat bernapas lega. Mungkin, untuk hari-hari ke depannya, ia harus kuat. Kuat untuk sendiri dalam kesepian dan juga harus kuat menjalani hidupnya layaknya seperti pria lajang lagi. Ya, dalam beberapa menit atau jam ke depan status duda akan melabelinya. "Sandi!" Langkah Sandi terhenti ketika ia mendengar suara berat memanggil namanya, tanpa menoleh pun jelas saja Sandi tahu suara siapakah itu. "Ada apa, Pak?" tanya Sandi bersikap formal layaknya pada seorang klien. Di hadapannya ada Pak Rahmat–mantan mertuanya dan di sampingnya ada Laura, Sandi hanya melihat ke arah Pak Rahmat tanpa berniat menatap ke arah Laura. Ia sudah muak melihat wajah wanita iblis yang tega-teganya menyakiti hati adiknya, padahal Laura dan Syafira dulu adalah sahabat yang sangat dekat bahkan sudah bertahun-tahun lamanya. Dan hanya karena obsesi cintanya Laura pada Relix semuanya berubah seratus delapan puluh derajat. "Kamu tidak berniat memikirkan hal ini lagi? Apa kamu yakin ingin menceraikan Laura? Coba kamu pikirkan baik-baik, Nak. Berikan Laura kesempatan kedua," pinta Pak Rahmat. "Untuk apa saya mempertahankan seorang wanita yang bahkan tidak mencintai suaminya sendiri, Pak? Dan bahkan dia dengan teganya menyakiti hati adik ipar sekaligus sahabatnya sendiri," balas Sandi dingin. "Laura bisa berubah, Sandi. Saya yakin itu." Namun, Sandi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Keputusanku sudah bulat untuk menceraikannya, lagipula sepertinya anak Bapak itu harus segera dibawa ke RSJ. Ada yang bermasalah dengan otaknya," ujar Sandi melirik sekilas ke arah Laura yang nampak tenang-tenang saja seakan tak pernah terjadi apa-apa. Sandi memasuki ruang persidangan, ia langsung duduk di kursi yang disediakan untuknya begitu pun juga Laura yang ikut masuk. Nampaknya wanita itu baik-baik saja ketika ia akan berpisah dengan Sandi, ya tentu saja karena selama ini memang tidak ada cinta di hati Laura untuk Sandi. Ia merasa kalau mereka telah bercerai maka ia akan bebas, tidak lagi terkekang dengan pernikahan yang selama ini membuatnya harus bersandiwara bahwa ia bahagia dengan pernikahannya. "Jadi, kalian yakin bahwa masing-masing dari pihak semuanya sudah memikirkan matang-matang bahwa tepat hari ini kalian akan bercerai sah secara hukum?" tanya hakim ketua itu. "Ya, saya yakin, Pak hakim!" ujar Sandi sangat mantap. Ia sudah sangat yakin bahwa keputusannya ini begitu tepat, menggugat cerai Laura. "Saya yakin," balas Laura singkat sesekali ia tertawa. Entah apa yang ia tertawakan, seakan kalau persidangan yang terjadi ini adalah sebuah lelucon. Hingga akhirnya persidangan itu berjalan begitu lancar. TOK ... TOK ... TOK .... Palu diketuk pertanda kalau hakim telah memutuskan kalau mereka sudah resmi bercerai. Sandi merasa lega seakan beban-beban berat akan beranjak dari hidupnya, Laura sendiri hanya memandang tak minat ke arah hakim. Baginya bercerai dari Sandi sama sekali tidak memberikan efek apapun padanya, tetapi entah beberapa bulan kemudian. Akankah penyesalan datang menghampiri? Setelah sidang perceraian itu sudah selesai, Sandi langsung keluar dari ruangan itu. Bahkan, ia sama sekali tidak mau menatap wajah sang mantan istri karena luka yang sudah wanita jahat itu torehkan begitu besar, baginya adalah kebahagian keluarganya itulah yang terpenting. Sempat ia berpikir kalau kata-kata yang papanya lontarkan ternyata benar adanya, Laura bukanlah wanita yang baik. Namun, karena kesalahannya dan permintaan seseorang lah ia harus menikahi Laura untuk mempertanggung jawabkan semua kesalahan satu malam itu. Tiba-tiba saja, wajah penuh tangis air mata dan juga kekecewaan muncul dalam ingatan Sandi sepanjang ia berjalan menuju mobilnya. Wajah penuh tangis itu adalah Listya, sang mantan kekasih yang telah ia kecewakan karena ketidaksengajaannya. Ia telah dijebak dengan minuman beralkohol dan mengandung obat perangsang, entah siapa pelakunya waktu itu. Sandi yakin kalau pelakunya adalah salah satu pengunjung club waktu itu yang ternyata salah target hingga akhirnya ia yang terkena dampaknya. Sandi berpikir, apakah perceraian ini termasuk karma untuknya? Karma karena ia telah menyakiti hati wanita sebaik Listya. Dulu, ketika ia dan Listya masih berpacaran, Listya selalu bersikap baik padanya dan bahkan sangat pengertian. Sandi bahkan merasa sangat beruntung memiliki kekasih seperti Listya, tetapi hal itu hanyalah tinggal kenangan manis sekaligus pahit. Kenangan manisnya di mana saat-saat ia dan Listya merasakan indahnya cinta mereka dan juga pahit ketika insiden itu terjadi, di mana Listya pergi meninggalkannya karena kebodohannya. Andai waktu itu ia tidak pergi ke club, semua pasti tidak akan terjadi. Hubungannya dengan Listya pasti baik-baik saja dan bahkan mungkin kini mereka sudah menikah. Sandi menggelengkan kepalanya, tak seharusnya ia memikirkan masa lalu. Mungkin kini Listya sudah bahagia dengan pria lain, apalagi semuanya sudah lama berlalu. Pria itu memilih segera memasuki mobilnya kemudian menjalankan mobilnya tak tentu arah, entahlah mood-nya jadi lebih memburuk ketika ia kembali mengingat nama sang mantan kekasih yang sudah ia sakiti hatinya. Bahkan, waktu itu ia tak sempat meminta maaf karena Listya sudah pergi ke luar negeri, entah pergi ke negara mana. Baik orangtua maupun teman-teman wanita itu bungkam, tak mau memberitahu keberadaan Listya padanya. Mobilnya terus berjalan hingga ada lampu merah membuatnya langsung mengerem mendadak, ia menghela napas dan lagi-lagi melamun. Tak sadar kalau lampu merah sudah berubah menjadi hijau, pertanda kalau ia harus segera menjalankan mobilnya karena kendaraan-kendaraan di belakang sudah menyembunyikan klaksonnya. "Woy! Lo enggak tahu apa kalau lampu udah hijau? Lo ngalangin jalan gue!" Suara teriakan itu terdengar familiar di telinga Sandi, pria itu membuka kaca mobilnya dan betapa terkejutnya ia ketika melihat wajah seorang wanita yang beberapa tahun yang lalu sudah ia sakiti hatinya. "Listya?" Bibirnya bergetar ketika menyebutkan nama itu, nama yang selalu ia ingat dan orang yang selalu ingin ia temui. "Ehem ... maaf Anda menghalangi jalan, bisakah Anda segera menjalankan mobilnya? Saya buru-buru." Sandi terus memperhatikan wajah Listya, wajah yang dulunya pernah atau mungkin sekarang pun masih bersemayam di hatinya. Penampilan wanita itu nampak berbeda, jika dulu Listya tampil sangat cantik dan manis dengan rambut panjangnya, kali ini potongan rambutnya Listya sedikit berbeda. Rambut Listya yang sebahu digerai membuat wanita itu terlihat anggun dan cantik dengan blouse dan juga rok span-nya. Tanpa sadar Sandi terus memperhatikan Listya, ia langsung menepikan mobilnya ketika bunyi klakson itu semakin terdengar riuh. Sandi turun dari mobilnya dan berniat menghampiri Listya, tetapi ia kalah cepat karena mobil Listya sudah berjalan meninggalkannya. "Apakah kamu masih membenciku, Tya?" tanya Sandi sambil memperhatikan mobil Listya yang semakin tak terlihat lagi. "Semoga kamu bahagia, Tya. Aku berharap semoga saja aku bisa bertemu denganmu lagi agar aku bisa meminta maaf secara langsung," gumam Sandi. Pria itu memutuskan memasuki mobilnya dan kembali menjalankan mobilnya, ia akan pergi ke kantor. Ia berharap dengan kesibukannya di kantor ia bisa melupakan suatu hal yang menyakitkan baginya. Namun, Sandi merasa begitu senang sekali ketika ia melihat Listya yang ternyata terlihat baik-baik saja, semoga kehidupan Listya benar-benar bahagia. Ada sesuatu yang sesak di dàdanya ketika membayangkan kalau Listya hidup bahagia bersama pria yang dicintai juga mencintai sang mantan kekasih, seakan ada belati tak kasat mata yang menghantam tepat di ulu hatinya. Inikah yang Listya rasakan saat melihat kebejatannya waktu itu? Dering ponselnya tiba-tiba saja berbunyi membuat Sandi langsung mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa orangnya. "Hallo ...." "Sandi, saya begitu minta maaf atas apa yang telah Laura lakukan kepada keluarga kalian. Kamu benar, Laura sepertinya memang harus pergi ke rumah sakit jiwa." Dan ketika suara itu terdengar, Sandi tahu kalau itu adalah Pak Rahmat. "Hmm, semoga saja dia cepat sembuh dan saya harap dia tidak akan lagi melakukan hal berbahaya bagi orang sekitarnya," ucap Sandi. "Pak, Laura bukan lagi urusan saya. Saya harap Bapak sebagai ayahnya bisa menjaganya dengan baik, saya sedang di perjalanan pulang. Saya tutup teleponnya, Pak. Permisi." Sandi langsung menutup panggilan secara sepihak. Menurutnya Laura bukan lagi urusannya, terserah saja apa yang terjadi pada wanita itu. Bukan lagi ia yang bertanggung jawab, kekecewaannya sudah berada di ubun-ubun dan tidak akan pernah bisa terlupakan begitu saja. Dering teleponnya kembali berbunyi membuat Sandi berdecak kesal, itu pasti Pak Rahmat lagi yang meneleponnya. Padahal ia sudah mengatakan dengan jelas kalau ia tidak lagi ingin berurusan dengan mereka, tidakkah mereka tahu itu? Dan jika mereka memang punya malu, seharusnya tidak perlu lagi menghubunginya. Tidak ada kesempatan kedua bagi mereka untuk kembali mengusiknya lagi. Sejenak Sandi terdiam, apakah jika Tuhan mempertemukan mereka kembali, apakah tidak ada maaf untuknya lagi dari Listya? Dosa yang telah ia lakukan begitu besar. Meskipun semua ini bukanlah kesalahannya, tetapi tetap saja ia yang telah menyakiti hati Listya. Jika pun ia harus berlutut dan mencium kaki Listya untuk menerima maaf dari wanita itu, maka akan ia lakukan. Bukan bermaksud berlebihan, tetapi ia sadar kalau luka yang telah ia torehkan begitu dalam. Dan ia tidak tahu siapa atau apakah luka itu sudah terobati atau belum. "Saya 'kan sudah bilang kalau saya tidak ada urusannya lagi dengan dia!" Tanpa melihat si penelepon, Sandi langsung berteriak. "Hei santai, lo kenapa marah-marah sih?" Suara berat itu terdengar berbeda, ia melihat si penelepon yang ternyata adalah Relix, sahabat sekaligus adik iparnya. "Eh, sorry. Gue pikir tadi siapa, hmm ada apa lo nelepon gue? Gue lagi di jalan nih." "Ini, Syafira katanya mau ketemu sama lo," ujar Relix mengatakan maksud dan tujuannya menghubungi Sandi. "Tapi gue harus ke kantor." Sandi menolak secara halus, bukan bermaksud tidak mau bertemu dengan adiknya. Namun, ketika melihat wajah Syafira ia merasa begitu bersalah karena tidak bisa menjadi kakak yang bisa menjaga adiknya dengan baik, ia telah gagal. "Kata Syafira dia enggak mau makan kalau lo enggak ke sini." Sandi kalah! Ia selalu kalah kalau Syafira sudah mengancam dirinya seperti ini. "Oke, gue otw ke sana sekarang. Bilang sama Fira kalau gue sampai sana dia harus langsung makan." Di seberang sana, Syafira yang mendengar kata-kata kakaknya pun tersenyum senang karena Relix memang meloudspeaker pembicaraannya dengan Sandi. "Makasih, Kak!" teriak Syafira penuh semangat. "Hmm, iya. Gue tutup dulu, ya, teleponnya. Ini lagi di jalan," ucap Sandi lembut. Setelah mendapatkan persetujuan itu, ia langsung menutup panggilannya kemudian menjalankan mobilnya menuju rumah sakit di mana Syafira masih dirawat untuk masa pemulihan. *** Hallo semuanya, alhamdulilah bisa up jg. Insyaallah cerita ini akan di up tiap hari menemani kalian di bulan September ini. Yuk mana suaranya yang lagi nunggu cerita ini up ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD