4. Tatap Muka

1808 Words
Setiap hari sebelum ke kantor, Sandi menyempatkan diri menemui Syafira di rumah sakit. Hal itu berawal dari ancaman Syafira yang tidak mau makan jika tidak ada Sandi, hingga akhirnya Sandi terus saja menjenguk adiknya itu. Tentunya hal itu tak lepas dari permintaan Syafira, sebenarnya ada hal yang membuat Syafira meminta agar Sandi terus menjenguknya. Syafira tahu kalau kakaknya itu baru saja bercerai dari Laura, sahabat yang kini telah menjadi mantan sahabatnya. Ia tahu kesedihan yang Sandi rasakan dan Syafira tidak ingin kakaknya itu terlalu larut dalam kesedihannya. Syafira ingin di saat Sandi menjenguknya, maka kakaknya itu bisa setidaknya sedikit lebih ceria. Melihat perjuangan Listya sang asisten suaminya yang membantu sang suami menyelamatkan perusahaan membuat Syafira berpikir, apakah perlu ia menjodohkan kakaknya dengan Listya? Mengingat mereka berdua sama-sama lajang dan tentunya Syafira yakin kalau bersama Listya, kakaknya akan merasakan kecocokan itu. Sekaligus ia ingin agar Sandi bisa mengobati luka di hatinya setelah bercerai dengan Laura. Kelihatannya juga keduanya begitu cocok jika disandingkan, maka dari itu Syafira hari ini akan memulai rencananya untuk mempertemukan keduanya di sini. Syafira tersenyum, berharap kalau rencananya akan berhasil. Ia yakin Sandi pasti akan tertarik ketika melihat Listya, Listya itu cerdas, cantik dan juga anggun, jelas banyak yang menyukai wanita sepertinya termasuk Sandi sepertinya. "Akhirnya lo datang juga," ujar Syafira ketika melihat Sandi membuka pintu kamar inapnya. "Sesuai janji gue," balas Sandi yang memilih duduk di tepi ranjang Syafira. "Suami lo ke mana?" tanya Sandi ketika ia tidak mendapati keberadaan Relix. "Tadi katanya dia ke bawah ada yang mau dibeli, Kak," jawab Syafira. Wanita itu akan duduk, dengan cepat Sandi membantu sang adik hingga adiknya itu duduk sambil bersandar. "Lo gimana? Udah membaik? Udah makan? Udah minum obat? Apa ada yang masih sakit?" Sandi bertanya beruntun membuat Syafira terkekeh dan bukannya menjawab pertanyaan sang kakak. "Bukannya dijawab juga, malah ketawa," ujar Sandi kesal. "Ya habisnya lo berlebihan banget, Kak. Gue sekarang udah baik, udah makan, udah minum obat, enggak ada lagi yang sakit. Gue jawab semuanya itu pertanyaan lo, puas!?" Sandi mengangguk sambil mengacak-acak rambut Syafira. "Ih, apaan sih, Kak? Rambut gue jadi berantakan," protes Syafira. "Rambut lo emang dari tadi udah berantakan, Adik Tersayang!" Dengan sengaja Sandi kembali mengacak-acak rambut Syafira hingga membuat wanita itu semakin mendelik kesal karena ulah kakaknya. Sandi memang sangat suka sekali menjahili Syafira, sedari dulu dan mungkin sampai sekarang. "Relix mana sih, Dek? Kok lama bener keluarnya?" tanya Sandi ketika ia sudah hampir setengah jam menunggu, tetapi Relix tak jua menampakkan batang hidungnya. "Sabar kali, Kak, lo kangen sama suami gue? Gue yang istrinya aja santai-santai gini. Kok lo kayak lagi nungguin Relix sampai segitunya deh, kangen sama suami gue? Jangan bilang setelah lo cerai lo jadi gay, ya, awas aja kalau beneran!" Kata-kata Syafira itu mendapat sentilan di dahinya hingga ia meringis. "Lo pikir gue gitu? Gue nyariin Relix karena ada perlu, hilangkan otak kotor lo ini. Habis dioperasi kok makin melantur kalo ngomong." Syafira mengerucutkan bibirnya sambil mengusap bekas sentilan kakaknya. CKLEKK .... "Bro, akhirnya lo datang juga. Gue dari tadi nungguin ...." Sandi tak lagi dapat melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang wanita yang berjalan di belakang Relix. "T-Tya?" Tanpa sadar Sandi mengeluarkan suaranya untuk menyebutkan nama wanita masa lalunya itu. "Loh? Kalian saling kenal?" tanya Relix ketika Sandi menyebutkan nama sang asisten yang telah banyak membantunya. Relix memasuki ruangan itu disusul oleh Listya kemudian ia menutup pintu kamar inap sang istri. Tubuh Listya membeku setelah memasuki ruangan itu, pikirannya sedang dipenuhi beribu tanya. Mengapa Sandi bisa ada di sini? Apa yang sedang pria itu lakukan? Dan mengapa takdir seakan ingin agar mereka kembali bertemu? Ingin Listya segera berlari dari sini, menjauhi orang yang pernah membuatnya terluka. Namun, ia menghargai sang atasan, ia tidak ingin di cap sebagai atasan yang tidak sopan karena pergi begitu saja. Ia sudah janji ingin menjenguk Syafira sekalian mengantarkan berkas penting untuk Relix, tadi mereka bertemu di jalan, akhirnya mereka berjalan bersama ke sini. "Iya!" "Tidak!" Sandi dan Listya menjawab serempak, jawaban mereka begitu berbeda membuat mereka sejenak saling pandang. Dalam hati Listya mendesah kesal, mengapa Sandi harus menjawab 'iya' ia tidak mau Relix dan Syafira bertanya macam-macam nantinya. Ia juga belum tahu hubungan mereka bertiga itu apa. Wah jangan bilang kalau ternyata Sandi kini tengah menyukai istri orang? Tak bisa dimaafkan! Seenaknya saja ingin menjadi pebinor. "Jadi yang benar bagaimana? Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Relix sekali lagi karena bingung dengan jawaban keduanya yang seakan tidak sinkron satu sama lain. "Hmm ... jadi begini, Pak. Dia adalah kakak tingkat saya sewaktu di kampus, kami pernah bertemu beberapa kali." Listya yang menjawab, ia tak mengakui kalau dulu ia pernah memiliki hubungan dengan Sandi. "Oh jadi begitu," ucap Relix sambil menganggukkan kepalanya. "Kalau boleh tahu mengapa dia ada di sini, ya, Pak? Apa dia berniat ingin merebut istri Bapak?" tanya Listya polos. Hal itu menimbulkan gelak tawa dari Relix dan Syafira, Sandi sendiri melotot kesal. Menyesal ia dulu tidak mengenalkan Listya secara resmi di depan keluarganya hingga akhirnya wanita itu jadi salah menuduhnya seperti ini. "Bukan, dia itu kakakku, Mbak," ucap Syafira setelah menghentikan tawanya. "Kakakmu?" tanya Listya tak percaya. Listya memang tak terlalu mengenal dekat keluarga Sandi. Hal itu karena mereka berpacaran memang secara sembunyi-sembunyi alias backstreet, ada alasan di balik itu. Baik kedua orangtua Sandi maupun Listya ingin agar anak-anaknya fokus dulu terhadap kuliah, kedua orangtua mereka menentang keras berpacaran sebelum kuliah selesai. Hingga pada akhirnya mereka menjalani hubungan itu tanpa diketahui oleh siapapun. Hanya, waktu itu mereka pernah kepergok oleh Syafira ketika Syafira masih duduk di bangku SMP. Sepertinya Syafira sudah tidak mengenalinya lagi karena hal itu terjadi sudah cukup lama, bertahun-tahun yang lalu. "Iya kakakku," balas Syafira sambil mengangguk. Listya shock mendengarnya, ia tak menyangka kalau selama ini ia dekat dengan keluarga dari sang mantan pacar. Mengapa takdir sepertinya ingin mempermainkannya? Bagaimana bisa selama kurang lebih satu tahun ini ia bekerja, tetapi ia sama sekali tak pernah bertemu dengan Sandi? Sebenarnya rencana apa yang tengah Tuhan persiapkan untuknya? "Ada apa, Mbak?" tanya Syafira ketika melihat wajah Listya yang nampaknya begitu pucat. "A-ah aku tidak apa-apa. Pak, apakah boleh saya ke kantor duluan? Sepertinya ada beberapa pekerjaan yang tengah menunggu saya," ucap Listya menatap Relix, memohon izin. "Boleh." Relix bersuara, sebenarnya agak heran dengan reaksi tak biasa sang asisten ketika bertemu dengan kakak iparnya, sebenarnya ada apa? "Kalau begitu saya permisi, cepat sembuh, Syafira." Setelah berpamitan ia langsung keluar dari ruangan itu, berjalan dengan langkah yang begitu cepat seperti dikejar hantu. "Gue keluar bentar!" ujar Sandi kemudian ikut keluar dengan langkah tergesa-gesa. "Mereka kenapa?" tanya Relix pada sang istri. "Enggak tahu, mungkin ada sesuatu," jawab Syafira sambil mengulum senyum. Ia berharap semoga saja memang ada sesuatu diantara keduanya, agar ia yang bertugas sebagai mak comblang bisa berhasil. "Tya!" Sejenak Listya menghentikan langkahnya ketika mendengar suara yang berteriak memanggil namanya. Namun, ia memutuskan untuk semakin mempercepat langkahnya tanpa melihat ke belakang, bagaimanpun caranya ia harus berhasil menghindar dari Sandi. Ia tidak ingin lagi melihat wajah pria bréngsek yang sudah menyakiti hatinya. Tidak ada maaf untuk pria yang sudah membuatnya kecewa, sakit hati dan patah sepatah-patahnya itu. "Tya! Tunggu!" Sandi berteriak, ia berlari secepat mungkin untuk menyusul langkah Listya. Hingga akhirnya ia berhasil, ia tiba tepat di depan Listya. Hati Sandi sakit ketika Listya memilih memalingkan wajahnya, enggan menatapnya. Sandi tahu kalau dosanya pasti tidak akan termaafkan, tetapi ia ingin berusaha menerima maaf dari Listya. Ia tidak ingin membuang kesempatan lagi, selagi Listya ada di hadapannya ia harus meminta maaf. "Kita perlu bicara, Tya," ucap Sandi dengan napas terengah karena tadi berlari mengejar Listya. "Enggak ada yang perlu kita bicarakan lagi, tepat hari itu, semua sudah berakhir," tukas Listya dingin. Wanita itu mendorong tubuh Sandi agar tak menghalangi jalannya kemudian ia berjalan cepat meninggalkan Sandi yang masih mematung. "Untuk kali ini aku enggak akan lepasin kamu, Tya," gumam Sandi menatap kepergian Listya. Sandi kembali pergi ke ruang inap adiknya, ia terlihat acak-acakan dan murung dari awal tadi pertama ke sini. Relix dan Syafira yang melihat itu pun bingung, ada apa gerangan hingga kakaknya itu bisa seperti ini? "Kakak kenapa?" tanya Syafira ketika Sandi duduk di sebuah sofa yang berada di ujung ruangan ini. "Enggak apa-apa, Dek. Lo istirahat aja," jawab Sandi. Syafira tentunya tak puas dengan jawaban Sandi karena ia yakin ada sesuatu yang kini menjadi beban pikiran Sandi. "Lo kenapa enggak bilang kalau wanita tadi adalah asisten lo?" tanya Sandi tiba-tiba sambil menatap Relix. "Lah? Kenapa gue harus ngasih tahu lo, lo enggak nanya juga asisten gue siapa," balas Relix tak mau disalahkan karena ia memang tidak salah. "Emangnya ada apa sih, Kak? Kakak kenal sama Mbak Tya?" tanya Syafira ikut-ikutan karena penasaran. "Asal kalian tahu aja, Listya itu mantan pacar gue yang putus karena kesalahan gue." Mendengar penjelasan Sandi, Syafira menutup mulutnya. Iya, ia ingat sekarang, dulu saat SMP ia pernah bertemu dengan seorang gadis yang ternyata adalah pacar backstreet kakaknya, mengapa selama ini ia tidak mengenali Listya, ya? Itu semua karena ia tak tahu nama dan juga wajah Listya kini sudah berubah. "Yang lo ceritain itu, San?" tanya Relix. "Iya." Sandi menjawab sambil menutup wajahnya gusar. "Bagus dong kalo gitu, Kak!" Kata-kata Syafira itu membuat dua pria yang ada di ruangan ini langsung menatap ke arahnya. "Apanya yang bagus?" tanya Sandi. "Ya bagus, awalnya 'kan gue mau ngenalin kalian berdua karena menurut gue kalian itu cocok banget. Eh enggak tahunya kalian pernah pacaran, bagus kalau gitu. Kalian pasti cocok kalau bersama," ujar Syafira begitu antusias sekali menjadikan Listya kakak iparnya. "Emangnya dia masih sendiri? Siapa tahu dia udah punya pacar atau suami, mungkin." Ketika mengatakan itu entah mengapa ada rasa tak rela di hati Sandi. "Enggak, Mbak Tya itu masih lajang, Kak. Dia belum punya suami ataupun pacar," balas Syafira membuat Sandi tanpa sadar mengembuskan napas lega. "Dia masih marah atau bahkan sangat benci sama gue, gue enggak mau berharap lebih. Dia maafin gue aja gue pasti akan senang, hanya itu. Kalaupun dia enggak mau balikkan sama gue, gue enggak apa-apa." Sandi begitu pesimis kali ini. "Astaga, ke mana seorang Sandi yang biasanya begitu optimis? Kok tiba-tiba lo berubah jadi melow dan lembek gini?" BUKKK! "Síalan, lo!" teriak Sandi sambil melemparkan bantal sofa ke arah Relix. "Hahahaha!" Relix sangat puas sekali menertawakan Sandi. "Gue yakin kalau sebenarnya Mbak Tya masih ada rasa sama lo, kebukti dia enggak pernah pacaran semenjak putus sama lo. Gue yakin lo masih punya kesempatan, Kak." Walaupun begitu, hal itu tetap tidak bisa membuat Sandi berharap lebih. "Gue enggak mau terlalu berharap, Dek. Gue hanya ingin dapat maaf dari dia aja, menurut gue itu lebih dari cukup." Ya, awalnya begitu, Sandi hanya berharap dapat maaf dari Listya. Namun, semakin hari ketika melihat Listya, ada hal yang membuat Sandi ingin menjerat Listya agar tak lagi pergi darinya. Hati manusia memang tidak ada yang tahu, bisa cinta berubah menjadi benci dan benci yang berubah menjadi cinta. Kali ini maaf lebih utama ketimbang hal lainnya menurut Sandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD