5. Taktik Sandi

1817 Words
Listya berusaha menghindar setiap kali ia akan bertemu lagi dengan Sandi, wanita itu merasa hidupnya tak tenang lagi semenjak ia kembali bertemu dengan Sandi. Ia berusaha bersembunyi ketika Sandi seakan ingin menemuinya, seperti itu terus hingga akhirnya sudah hampir dua bulan ini ia menghindar. Syafira sendiri sudah pulih dan Listya merasa senang akan hal itu, ia bersyukur istri atasannya itu akhirnya bisa sehat kembali pasca operasi. Tepat hari ini, Syafira kembali menjadi sekretaris di kantornya Relix. Sedangkan jabatan CEO di perusahaan milik keluarga Syafira diberikan kepada sepupunya. Terkadang ketika melihat kemesraan Relix dan Syafira, terbesit rasa iri karena ia tak pernah mendapatkan perhatian semacam itu karena ia cenderung menutup diri. Namun, sebisa mungkin Listya menepis hal itu, baginya tidak ada pria baik yang akan setia pada wanitanya selain papanya dan atasannya itu tentunya. Hatinya seakan mati rasa untuk mengenal cinta lagi, bahkan ketika orangtuanya beberapa kali memaksanya pulang ke rumah untuk mengenalkan seorang pria. Ia sama sekali tidak tertarik, ia bahkan dengan gamblang menolak hingga ia kerap dicap sombong oleh pria yang orangtuanya itu kenalkan. Terserah saja mereka berpikir tentangnya seperti apa, jika awal bertemu saja sudah seperti itu, apalagi jika menikah? Tidak, Listya tidak ingin sembarangan ingin dekat dengan pria yang kebanyakan sombong karena jabatannya itu. "Ma, udah cukup! Tya enggak mau lagi dikenalkan sama anaknya teman papa!" teriak Listya begitu frustrasi ketika mamanya kembali menelepon dan mendesaknya agar menghadiri kencan buta yang sudah mamanya persiapkan. "Mama hanya ingin kamu mendapatkan jodoh terbaik, Tya. Apa salah Mama mengharapkan itu?" Suara mamanya nampak begitu sendu. "Enggak salah, Ma. Hanya saja Tya enggak mau Mama terlalu mengharapkan dan menggebu. Tya udah berusaha bertemu dengan mereka, tapi emang Tya benar-benar merasa enggak cocoknya sama mereka. Tya mohon sama Mama, stop jodoh-jodohin Tya kayak gini. Tya masih bisa cari jodoh Tya sendiri, Ma." Karena tak ingin menyakiti hati mamanya, Listya melembutkan nada suaranya. "Baiklah, Mama enggak akan maksa kamu lagi. Tapi Mama harap dan berdoa semoga saja kamu segera mendapatkan jodoh, Mama udah enggak sabar ingin nimang cucu dari kamu." Cucu lagi yang dibahas, Listya merasa telinganya panas jika topik ini dibahas oleh sang mama. "Tya tutup dulu, ya, teleponnya. Mama dan papa jaga kesehatan di sana," ucap Listya yang sama sekali tidak menanggapi kata-kata mamanya. "Iya, kamu juga jaga kesehatan, Nak." Setelah berbasa-basi sebagai penutup perbincangannya dengan sang mama, Listya akhirnya bisa bernapas lega ketika panggilan telah berakhir. Listya menghela napas, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Wanita itu memilih segera berangkat ke kantor jika tidak ingin terlambat, ia keluar dari apartemennya, mengunci pintu apartemen, kemudian menaiki lift yang akan membawanya turun ke lantai paling bawah gedung apartemen ini. Ia langsung pergi ke parkiran gedung ini di mana mobilnya berada, tanpa menunggu waktu lama lagi ia masuk ke dalam mobilnya kemudian menjalankan mobil itu menuju kantor yang sudah satu tahun lebih menjadikannya seorang asisten CEO. Tepat waktu! Ia datang di saat semua pegawai berbondong-bondong segera memasuki gedung tinggi itu, itu menandakan kalau jam kerja kini sudah dimulai. Bersegera ia turun dari mobilnya, mengambil tas yang selalu ia bawa kemudian berlari memasuki area kantor. Ia menaiki lift khusus yang akan membawanya menuju ruangannya, beruntung ketika ia sampai di sana Relix dan Syafira belum tiba sehingga ia tidak terlalu telat karena datang lebih awal dari sang atasan. Hari ini akan diumumkan sesuatu yang begitu ditunggu oleh orang-orang yaitu siapakah gerangan sosok istri dari CEO perusahaan ini, ya, Relix akan mengumumkan pada semua orang kalau Syafira adalah istrinya. Mungkin keterlambatan Relix kali ini karena ada sesuatu yang tengah pria itu siapkan bersama Syafira dan baik Listya atau para pegawai lainnya tak sabar menunggu pengumuman itu. "Selamat pagi, Pak, Bu ...." Listya berdiri dari duduknya, ia langsung menyapa dengan ramah kedatangan Relix dan Syafira. "Pagi juga," balas Relix singkat. "Pagi, enggak usah terlalu formal gitu sama aku, Mbak," balas Syafira tersenyum. Mendengar itu, Listya hanya bisa tersenyum kaku, tidak mungkin ia menuruti permintaan Syafira karena meskipun mereka sekarang dekat, tetapi jika di kantor ia haruslah menjunjung tinggi profesionalisme yang Relix junjung tinggi. "Tidak bisa, Bu. Ini di kantor, mohon maaf sekali," ucap Listya sambil menunduk sopan kemudian tersenyum. "Hmm, sebentar lagi akan ada pengumuman penting mengenai saya dan siapa istri saya. Apa kamu sudah mengumumkan pada mereka bahwa mereka harus berkumpul di tempat yang telah saya katakan?" tanya Relix pada Syafira. "Iya, sudah, Pak. Saya sudah melaksanakan perintah, Bapak," jawab Listya. "Bagus, kalau begitu kamu kembalilah bekerja dan kamu juga." Relix menunjuk Listya dan Syafira dengan dagunya, meminta kedua wanita itu agar kembali bekerja kemudian tanpa kata lagi ia langsung memasuki ruangannya. Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga, di mana Relix mengumumkan tentang kembalinya Syafira yang menjadi sekretarisnya sekaligus juga Syafira yang ternyata adalah istri yang selama ini tak banyak diketahuinya oleh orang-orang. Listya yang menonton dari belakang pun tersenyum, ia ikut bahagia ketika melihat atasannya bersama sang istri yang terlihat tersenyum tulus dan bahagia. Sejenak, ada harapan yang terbersit di hatinya yang tiba-tiba saja muncul tanpa ia duga, harapan kalau kelak ia bisa berada di posisi Syafira. Dicintai pria yang hampir sempurna seperti Relix, pria setia yang begitu mencintai istrinya. Setelah pengumuman dan ucapan selamat dari semua karyawan pada Relix dan Syafira selesai, akhirnya mereka diperkenankan kembali ke tempat masing-masing untuk memulai pekerjaan. Listya merasa aneh ketika tiba-tiba saja Relix menghampirinya dan mengatakan kalau pria itu ada perlu dengannya, ia dimintai memasuki ruangan Relix. Memang, sejak kembalinya perusahaan di tangan Relix, ruang kerjanya berada di luar, tak lagi di dalam ketika awal-awal ia bekerja di sini. Batinnya bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat Relix memanggilnya? Apakah ada masalah atau hal penting yang akan dibicarakan? Syafira yang sebagai sekretaris Relix saja tak diperkenankan masuk, Relix hanya ingin berbicara berdua saja dengannya. "Masuk!" Ketika mendengar suara tegas yang mempersilakannya masuk, Listya membuka pintu ruangan sang atasan itu pelan. Ia berjalan memasuki ruangan Relix setelah menutup pintu itu sebelumnya. "Duduk." Listya patuh dengan perintah Relix, wanita itu duduk tepat di hadapan Relix. "Ada apa Bapak meminta saya ke sini?" tanya Listya sopan dengan tak menutupi rasa penasarannya. "Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih karena kamu sudah banyak membantu saya selama ini, diawal saya mempekerjakan kamu, saya merasa ragu dengan kemampuan kamu. Ternyata di luar dugaan saya, kamu begitu hebat. Bahkan, saat perusahaan hampir saja tumbang, kamu bisa mengimbangi saya hingga akhirnya perusahaan bisa kembali berjaya. Terima kasih banyak," ucap Relix tulus. Pria itu mengulas senyum tipis hingga membuat Listya terpana karena sangat jarang sekali Relix memberikan senyum mahalnya pada orang lain selain istri dan keluarga pria itu. "Sama-sama, Pak. Itu sudah menjadi tugas saya, Bapak tidak perlu mengucapkan terima kasih seakan saya melakukan sesuatu yang sangat besar. Saya sangat tulus membantu perusahaan ini," balas Listya sambil tersenyum lebar. "Baiklah, kita tidak perlu membahas terima kasih itu lagi. Karena ada hal penting yang ingin saya bahas dengan kamu." Kali ini Relix berubah menjadi sangat serius. "Hal penting apa, Pak?" tanya Listya begitu penasaran. Tiba-tiba saja Relix menyodorkan sebuah map berwarna biru muda yang sama sekali tidak Listya pahami apa maksud dan isi dari map itu. "Ada tawaran exclusive untuk kamu bergabung dengan sebuah perusahaan besar, yang dibilang lebih besar dari perusahaan ini. Kamu ditawari langsung oleh direktur utamanya, beliau ingin agar kamu bisa menjadi sekretarisnya. Gaji di sana lebih besar dari gaji yang perusahaan ini berikan, beliau menawarkan ini mungkin saja karena melihat kinerja kamu di sini yang sangat bagus sekali. Perusahaan tersebut masih bekerjasama dengan perusahaan ini, bedanya perusahaan itu lebih besar dan berkembang karena sudah lama berdiri." Listya masih diam mematung mendengar penjelasan Relix, antara kaget sekaligus tak menyangka kalau ada tawaran yang begitu menggiurkan itu untuknya. "Untuk lebih jelasnya, kamu bisa melihat isi dokumen ini." Dengan tangan bergetar karena masih dilanda keterkejutan, Listya menerima dokumen yang Relix berikan. Wanita itu membacanya dengan teliti sesekali menggelengkan kepalanya, tak menyangka kalau ada tawaran seperti ini untuknya. Ini terjadi sekali seumur hidup baginya, tetapi ia ragu apakah ia harus menerima tawaran yang menarik sekaligus menggiurkan ini di saat ia masih menjadi asisten Relix dan ia yang mulai nyaman bekerja di perusahaan ini meskipun posisinya masih sebagai seorang asisten dan bukannya sekretaris. "Bagaimana? Apa kamu menerima tawaran itu, Listya?" tanya Relix ketika Listya hanya diam saja padahal wanita itu sudah selesai membaca isi dari dokumen itu. "Kalau saya menerima tawaran bagus dari perusahaan ini apakah Bapak tidak merasa tersinggung atau apa? Saya masih menjadi asisten bapak dan mungkin masih terikat kontrak," ujar Listya yang tanpa disangka-sangka menimbulkan tawa kecil dari sang atasan. Relix terlihat semakin tampan hingga membuat Listya semakin terpesona, astaga! Itu suami orang mengapa tampan sekali? Untung suami orang, kalau bukan sudah ia pepet. "Tentu saja tidak, Listya. Karena yang meminta agar kamu menjadi sekretarisnya adalah orangnya langsung, beliau menghadap kepada saya bahwa dia ingin agar kamu bisa menjadi sekretarisnya, melihat kinerja kamu yang luar biasa itu. Kalau kamu menerima tawaran mereka, saya tidak masalah karena sekretaris saja sudah cukup untuk saya saat ini. Maaf, bukan bermaksud menyinggung kamu, saya tidak suka dengan istilah habis manis sepah dibuang. Hanya saja menurut saya ini adalah tawaran yang sangat bagus, kapan lagi kamu mendapatkan tawaran sebagus ini, bukan? Bahkan dari beliau langsung. Saya tidak memaksa agar kamu menerima atau menolak tawaran mereka. Saya serahkan keputusannya padamu, tolong kamu pikirkan baik-baik." Listya terdiam mendengar perkataan Relix yang memang benar adanya, tawaran bagus ini tidak akan datang dua kali. "Berikan saya waktu tiga hari untuk berpikir apakah saya menerima atau menolak tawaran mereka, Pak," ucap Listya. Ia berpikir kalau ia harus memikirkan hal ini matang-matang, meskipun tawaran ini begitu menggiurkan, tetapi ia harus tetap berpikir baik dan buruknya. "Baiklah, nanti akan saya sampaikan pada beliau kalau kamu masih butuh waktu berpikir. Kamu bawa saja dokumen ini, kalau kamu menerima, kamu bisa langsung menandatanganinya kemudian memberikan dokumen itu lagi pada saya. Kalau kamu menolak, kamu juga harus memberitahu saya dan mengembalikan dokumen itu." Listya mengangguk mendengar penjelasan Relix. "Baik, Pak, saya mengerti. Kalau begitu saya permisi dulu, terima kasih banyak, Pak." Listya berdiri, wanita itu menunduk dengan sopan. "Sama-sama. Saya harap kamu memutuskan sesuatu itu dengan tepat." Listya mengangguk, setelah berpamitan ia segera keluar dari ruangan Relix. Sepeninggal Listya, Relix mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang. Di dering kedua, panggilan itu diangkat. Gesit sekali, pikir Relix. "Dia bilang dia butuh waktu tiga hari untuk berpikir," ujar Relix tanpa basa-basi. "Selama itu?" Terdengar helaan napas gusar dari suara di seberang sana. "Tiga hari itu enggak lama menurut gue, kecuali dia minta waktu berpikir tiga tahun, itu baru lama." Relix berucap dengan datar. "Apa enggak bisa suruh dia berpikir dengan cepat? Satu hari atau 3 jam aja gitu?" tawarnya. "Gila lo! Kalau gitu caranya bisa-bisa dia curiga nantinya, lo kalau mau sesuatu itu harus sabar. Jangan grasak-grusuk, perlahan tapi pasti." "Ya udah iya, gue tunggu kabar baik dari lo!" "Kalau gue punyanya kabar buruk gimana?" Relix sengaja menggoda hingga ia dapat mendengar dengkusan kasar dari suara itu. "Awas aja kalau begitu!" Relix tertawa kencang, heran dengan sahabatnya yang terlihat seperti orang tak sabaran begitu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD