SATU

1488 Words
Selalu dan selalu, Kinan berharap jika dirinya tidak akan dipertemukan dengan Bam— mantan suaminya—oleh takdir Tuhan. Tapi pada kenyataannya, ini memang hanya sia-sia. Bohong jika Kinan sudah tidak memiliki rasa terhadap Bam lagi, karena Kinan bukan manusia munafik. Jika cinta dia akan mengatakan cinta, jika sayang maka dia akan mengatakan sayang. Namun, bukan berarti jika dia merasakan semua itu, maka Kinan akan dengan bodohnya bertahan. "Kana... yang ngasih tau kamu?" tanya Kinan yang sengaja membawa Bam menuju halaman belakang rumah Gina. Dia ingin berbicara agar tidak ada kesalahpahaman. Gina mengira jika Kinan akan gegabah dan membuat adegan dramatis akan kekecewaannya pada Bam, tapi tidak! Kinan tidak sekekanakan Gina. "Bukan." Terlalu singkat. Sebab Bam tidak ingin banyak bicara, Bam hanya ingin menatap wajah wanita berharganya lebih lama dan hikmat. "Kamu nyari?" tanya Kinan kembali, dan diangguki oleh Bam. "Buat apa?" "Untuk memastikan keadaan kamu baik-baik aja. Begitu juga... anak kita." Bagai digerus hingga melebur hancur, Kinan mendapatkan fakta bahwa mantan suaminya mencemaskan keadaan Kinan—sang mantan istri. "Hum... kami baik. Kalo kamu berpikir saya akan mencelakakan anak saya, itu nggak akan terjadi." Kinan membatasi diri, dengan panggilan yang lebih kaku. Kinan tidak lagi menyebut aku, tetapi hanya saya. "Kamu berubah?" Kinan mengernyit. "Pertanyaan kamu kenapa terdengar seperti pernyataan, ya? Saya nggak bisa jawab." "Kenapa harus mengubah panggilan?" "Karena harus ada batasan, sebagai mantan. Kamu dan saya harus ada pembatasnya," Kinan menjeda sebentar. Melihat Bam akan menyanggah, maka Kinan terlebih dulu menyahut. "Tapi saya nggak akan membatasi intensitas kamu bertemu Kanu. Bagaimana pun, Kanu harus tau siapa ayah kandungnya." Bam tidak percaya ini, meski terlihat jelas banyak kekecewaan Kinan terhadap diri lelaki itu, Kinan tetap bisa mengendalikan diri. Usia Bam bahkan lebih dewasa dibanding Kinan, tapi Kinan mampu lebih bijak menghadapi kenyataan. "Mau ketemu Kanu sekarang?" tawar Kinan yang tidak ingin lebih lama lagi diperhatikan oleh manik Bam. "Kalo diperbolehkan," jawab Bam. "Kita masuk kalo gitu." Langkah Kinan mendahului, menuntun Bam yang ada di belakangnya. Acara ulang tahun tersebut khusus mengundang anak-anak. Gina beserta keluarga kecilnya tidak terlihat di mana, sedangkan Kanu sedang bermain. Kanu memang anak yang lebih pasif, bukan berarti tidak suka bergaul, Kanu mewarisi sifat Bam yang memilih diam ketimbang banyak bicara dan ulah. Di dekat kolam ikan—Gina dan Kana memang membuat kolam ikan kecil dekat dapur kotor mereka. Kanu sedang memberi makanan pada ikan-ikan, waktu terasa lebih berarti bagi Kinan ketika melihat putranya bahagia dengan caranya sendiri. "Hai, Mas! Seru ngasih makan ikannya?" Kinan membuat Kanu tersenyum, dan senyuman itu pula yang membuat hidup Kinan lebih cerah. "Mam, ini... pelihara ikan di rumah. Boleh?" tanya Kanu dengan wajah polos. Usia lima tahun, Kanu suka berdebat dengan ibunya, tapi tidak cerewet. "Mau pelihara ikan?" "Iya, Mam." "Mas suka? Bisa jaga ikannya? Memangnya, Mas jamin ikannya nggak akan tersiksa kalo, Mas pelihara?" "Mam, kok bilang gitu? Mas bisa jaganya, tauk. Kan mam yang bilang, kalo ngomong itu juga doa. Masa Mam ngomong Mas nggak bisa jaga, nanti beneran gimana?" Kinan suka argumen Kanu yang membalikan nasehat pemberiannya. Kanu menjadi teman bagi Kinan disaat Kinan sudah sangat jenuh dengan tingkah laku orang dewasa lain. Perempuan itu mengacak rambut Kanu. Dia sempat melirik Bam di samping kanan tubuhnya, tapi saat itu juga, Kanu tidak bertanya ingin tahu siapa lelaki yang berada di samping ibunya itu. "Mas nggak mau kenalan sama..." Karena tidak tahu harus mengenalkan Bam dengan menyebut apa, Kinan memilih memandang Bam. "Teman, Mam, ya?" sebut Kanu tanpa berbasa-basi. "Nama, Om siapa? Om temen Mam dari toko? Atau rumah sakit tempat Om Bara?" tanya Kanu langsung pada Bam. Bara? Tanya Bam dalam hati. "Mas...." panggil Kinan pada Kanu. "Iya, Mam?" "Ini... Ayah, Mas. Namanya Bambang Ksatria Bima. Dia bukan Om, tapi Ayah-" "Ayah?" tanya Kanu menyela Kinan yang berusaha menjelaskan pelan-pelan. "Iya. Mas punya Ayah, dan ini adalah Ayah, Mas." "Ayah... apa?" Mendadak saja suasana menjadi hening, Bam masih bisa mengerti jika Kanu bingung akan kehadirannya. Namun, kasus kali ini berbeda. Kanu tidak tahu apa definisi ayah, itu berarti, Kinan tidak pernah menyinggung laki-laki berstatus ayah dihadapan Kanu. Kanu tidak hanya tidak mengetahui siapa ayahnya, tapi juga tidak mengetahui bahwa tanpa seorang ayah, Kanu tidak akan hadir dalam perjalanan dunia ini. "Kanu. Kamu tau kalo temen-temen Kamu punya orang tua, kan?" Kali ini Bam mengambil inisiatif bertanya, mencoba menjelaskan sedikit demi sedikit. "Iya. Tau, Om." Kanu menjawab pada Bam menggunakan panggilan Om, dan itu membuat Bam merasa sangat jauh dari anaknya sendiri. Apa terlalu lama kita tidak bertemu, Kanu jadi keras seperti Kinan? "Nah, kalo gitu kamu tau kalo orang tua nggak cuma Mama aja, kan? Ada orang tua laki-laki, dan itu Ayah." Kanu terdiam, mengerutkan keningnya dan menyiapkan balasan telak bagi Bam. "Tapi Mam bilang Kanu nggak punya Ayah. Ayah temen-temen Kanu ada di rumah terus. Kan, Om nggak pernah di rumah Kanu. Om beneran Ayah Mas, Mam?" tunjuk Kanu pada Bam saat bertanya pada ibunya. Memang Kinan yang salah, karena selalu membatasi pembahasan mengenai sosok ayah pada Kanu. Tapi Kinan tidak pernah mengajarkan pada Kanu untuk mempertanyakan apakah harus memiliki ayah atau tidak. Kini, pemahaman Kanu tentang ayah malah menjadi salah kaprah. "Mas... nggak boleh gitu!" "Kenapa Om Bara bukan ayah, Mas. Kenapa Om ini Ayah Mas? Mas nggak punya Ayah, Mam! Mas cuma punya Mam!" kata Kanu dengan lebih ngotot. Semua orang kebingungan dengan Kanu yang berteriak. Bam merasakan sakit begitu dalam. Dia ditolak, bahkan oleh anaknya secara langsung. Kanu tidak merindukan sosok ayah. Kanu membenci Bam yang dikenalkan Kinan sebagai ayah bagi Kanu. Kinan menyerah, dia tidak akan melanjutkan argumen ini. Sulit bagi Kanu untuk dijelaskan jika menyangkut hal serumit ini. Tentu saja akan besar perjuangan bagi Bam untuk mendapatkan perhatian Kanu bagi dirinya—ayah Kanu. Melihat ketegangan antara Kinan, Kanu, dan Bam, Gina menghampiri mereka. Gina hanya mengantisipasi agar tidak terjadi keributan di acara ulang tahun Gika. "Hei. Kenapa pada di sini? Ayo, ikut makan ke dalem, Nan." Ajakan Gina tidak diindahkan Kanu yang masih memandang tajam Bam, sungguh Gina miris melihat pemandangan tersebut. Kanu sudah terlihat membentengi diri, bahkan jika mengingat usia Kanu, hal seperti ini benar-benar tidak bisa dipercaya. "Kanu, sayang... ayo ikut makan juga, ya. Mama kamu udah di sana. Yuk!" ajak Gina dengan halus. Kinan sengaja beranjak terlebih dulu, karena menata keheranan sikap anaknya. Kanu mengikuti ajakan Gina, dan Bam mendadak kaku di tempat. "Lebih baik kamu pergi. Kanu nggak akan mudah luluh sama orang baru. Jangan salahkan dia atau Kinan. Karena semua ini, kamu yang memulainya sendiri–ah, salah. Kamu dan... keluarga baru kamu!" ketus Gina. Ditinggalkannya Bam, Gina memang lebih kekanakan dari Kinan. Dan ini cara Gina, mengusir pria yang susah payah berusaha datang menemui orang-orang tercintanya. * Seluruh hidangan tersedia dengan rapi di atas meja. Kinan yang sudah terlebih dulu duduk manis di sana, hanya memandang Kanu yang memberengut. Awalnya, Kinan pikir dirinya sudah cukup benar mengajarkan sopan santun pada Kanu, tapi ternyata sikap keras kepala Kinan terlalu mendominasi pada putranya. "Kanu mau makan pakai lauk apa? Tante ambilin," ucap Gina membuka pembicaraan. "Kanu mau duduk deket Kakak!" Tidak memedulikan pandangan Kinan yang menjadi menusuk pada Kanu, karena terlalu akrab dengan keluarga Gina, Kanu menjadi lebih sering memanggil Gika dengan sebutan kakak. Gika yang memang pada dasarnya suka dengan anak kecil, tidak pernah menolak kehadiran Kanu yang sering kali mengganggunya. Bagi Gika, Kanu sudah seperti adik kandungnya sendiri. Tidak masalah jika setiap minggunya, Kanu akan mengganggu hari liburnya. Lagi pula, Gika sering juga kesepian ketika Kana sibuk mengurus pekerjaan yang tertinggal, dan Gina yang sibuk di dapur. "Kakak! Kanu mau makan kayak punya, Kakak!" pinta Kanu dengan berteriak. Bukan berarti Kinan akan membiarkan Kanu jika lama-kelamaan sikap anaknya itu keterlaluan. Gina memandang heran, bingung harus melakukannya atau tidak. Karena sepengetahuan Gina, Kanu sangat tidak menyukai masakan yang ada santannya. Gina melirik sekilas pada Kinan, dan mendapat gelengan dari Kinan. "Jangan kasih, Gin. Dia nggak akan makan itu, yang ada nantinya malahan dia bikin makanan itu nggak berguna." Kinan paham, jika Kanu juga sedang merajuk. Tapi baginya, menunggu akan membuat semuanya terlihat. Kinan hanya perlu menunggu amarahnya usai, dan membuat Kanu meminta maaf. "Kanu mau itu! Pokoknya harus sama kayak punya Kakak!" teriak Kanu. "Nggak mau yang lain, harus sama kayak punya Kakak!" Sedangkan Gika menatap bingung ke arah samping, di mana Kanu membentak-bentak tidak karuan, dan melempar pandangan lagi pada kedua orang tuanya—Kana dan Gina. Siapa yang tidak akan bingung pada sikap Kanu? Karena memang Gika belum sedewasa itu untuk menangani anak-anak dibawahnya. "Yaudah, yaudah. Tante kasih, tapi harus dimakan. Jangan dibuang-buang, ya?" Kana sebagai pria dewasa di sana, memilih diam, membiarkan wanita yang ada menyelesaikan masalah. Tapi satu-satunya yang Kana pikirkan adalah kondisi Gina yang tengah mengandung. Jadi, karena  tidak bisa Kana melihat Gina kelelahan membujuk Kanu semakin lama dia membujuk Kanu. "Kanu makan di luar sama Om, mau? Kita makan sambil liat ikan di taman belakang? Kan Kanu nggak suka santan, makan pake ayam goreng aja, ya?" bujuk Kana, menghentikan Gina yang bersiap menuangkan kuah pada piring Kanu. "Nggak mau!" "Arkanu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD