Bab 1 || Hari Pertama

1554 Words
Denpasar, Juli, 2019. Sebuah mobil hitam memasuki area parkir gedung sekolah bernuansa putih biru dan abu-abu. Terlihat gadis dan wanita dewasa keluar dari dalam mobil dan mulai melangkah memasuki lobby sekolah. Papan slogan bertuliskan wijaya sekolah kita, wijaya bangsa kita langsung menyambut begitu mereka memasuki lobby. Dinding putih di bagian atas dan abu-abu di bagian bawah serta pilar biru metalic di empat sudut juga tak luput dari pandangan. Sofa merah tempat tamu menunggu diletakkan menghadap langsung ke deretan lemari kaca setinggi dua meter dan lebar lima meter yang diisi penuh piala prestasi siswa-siswi SMA Wijaya. Rossa memandangi piala-piala tersebut dengan tatapan kosong tak bersemangat. Baginya setiap sekolah, di mana pun berada selalu memiliki persamaan. Yaitu, hanya mengingat dan mengabadikan prestasi siswa-siswinya. Tak ada sekolah yang benar-benar memperdulikan kehidupan anak didiknnya. Seperti apa perjuangan siswa untuk bertahan hidup di dalam sekolah. Bukankah sekolah adalah rumah kedua? Tapi mengapa sekolah seolah buta dengan kejadian buruk yang selalu ada menghampiri beberapa pelajar. Hingga akhirnya sebuah solusi tak tertulis yang selalu muncul di saat genting dan frustasi adalah ... pindah ke sekolah lainnya. Setelah selesai dengan segala proses perkenalan yang sebenarnya dilakukan oleh Sita, ibunya kepada Lesmana, Waka kesiswaan SMA Wijaya, Rossa menghela napas panjang dan berpamitan kepada ibunya untuk beralih mengikuti Pak Lesmana. Rossa pun melangkah di lorong kelas sambil menggendong sebuah tas berwarna hitam dengan corak silver. Langkahnya berhenti di depan kelas berpapan nama XI IPS 1. Pak Lesmana lebih dulu melangkah masuk dan berbicara kepada ibu guru yang sepertinya baru ingin memulai pembelajaran. Rossa baru melangkahkan kaki melewati pintu saat Pak Lesmana memanggilnya. Jantung Rossa berdegup kencang. Khawatir, gusar dan gelisah seperti tak mau tinggal dalam pikirannya. Rossa perlahan mengangkat kepalanya untuk memperlihatkan wajah di hadapan tiga puluh satu siswa yang akan menjadi teman satu atapnya selama dua tahun ke depan. Pak Lesmana pergi setelah menyerahkan Rossa kepada guru yang dia kenal melalui name tag di atas saku sebelah kiri bernama Mirna. Ibu Mirna pun mempersilahkan Rossa untuk memperkenalkan diri. Rossa tersenyum tipis, lalu memandangi wajah teman-teman barunya. Semua mata tertuju kepadanya. Ada yang tersenyum. Ada yang berbisik. Ada yang menatapnya sinis. Bahkan ada juga yang menatapnya datar. Ini masih hari pertama, tapi rasa insecure sudah kembali menghantuinya. "Kok, diam? Bisu yah?" ucap seorang siswa laki-laki yang dari kesan pertama dilihat saja sudah tampak aura nakalnya. Tawa siswa lain pun menggema di akhir kalimat tanya siswa itu. "Nama gue Amanda Rossa. Dipanggil Rossa. Pindahan dari Kalimantan. Salam kenal." Akhirnya Rossa bersuara setelah berhasil menjadi bahan tawa. Rossa kembali menunduk. Sikap pemalunya belum hilang, padahal ia telah bertekad merubah diri. Setelah dipersilahkan duduk oleh Bu Mirna, Rossa langsung berjalan ke arah kursi di barisan pinggir jendela, nomor empat dari depan. Hanya itu tempat duduk yang kosong. Semua telah terisi oleh dua orang siswa. Rossa melepaskan tasnya lalu menatap ke arah teman sebangkunya. Gadis di sampingnya menoleh dengan senyum yang kuat dan cantik menurutnya. Rossa mengerjapkan kelopak matanya dua kali lalu menunduk sebagai tanda salam dengan canggung. Gadis di sampingnya tertawa kecil. Rossa hanya melirik sekilas. Lalu dengan sangat tiba-tiba gadis itu meletakkan siku kirinya di meja dan menopang dagunya dengan telapak tangan kiri. Posisi tubuhnya menyamping, mengarah kepada Rossa. Tatapannya tajam lengkap dengan bibir yang menyeringai. "Ternyata lo masih belum berubah," ucap gadis itu dengan mimik yang sulit diartikan. Tersenyum dengan rasa menyeramkan. Mungkin ini alasan kenapa tidak ada siswa lain yang duduk di sebelahnya. Dan sialnya, kenapa harus Rossa yang berakhir di sampingnya. Rossa dengan segala rasa insecurenya. Mana mungkin bisa melawan aura yang sangat kuat ini. "Hah? Ma-maksudnya apa yah?" tanya Rossa hati-hati tanpa menoleh. Hanya melirik sekali lalu kembali menunduk. "Lo gak ingat gue?" Rossa memberanikan diri menatap teman sebangkunya itu. "Sa-fira?" "Yeap. Long time no see. Si pengecut." *** Rossa sedang mengantre di kantin sekolah seorang diri. Dia melihat beberapa kelompok siswi memandang ke arahnya lalu berbisik seperti sedang membicarakannya. Ada juga beberapa siswa yang memandangnya intens seperti siap menggoda. Entah mengapa Rossa merasa seperti santapan lezat yang sedang dipandangi banyak hewan buas yang siap menerkam. Perasaannya berkata semua mata tertuju padanya, semua mulut membicarakannya dan semua bisikan masuk mengusik telinganya. Tiba-tiba Safira datang dan merangkul bahu hingga tangannya melingkar di leher Rossa. "Kok lo gak nungguin gue sih, Kak Ros?" Suara Safira lumayan menjadi perhatian orang-orang yang berbaris menunggu giliran. Kali ini, perhatian yang tertuju padanya menjadi dua kali lipat. Karena risih dipandangi banyak orang dan tak merasa di posisi yang nyaman juga, akhirnya Rossa menyingkirkan lengan Safira perlahan. "Gue titip nasi campur, ayamnya d**a, minumnya jus mangga. Gue tunggu di kursi itu, Oke?" Rossa mengangguk dengan raut kecut, sedikit tidak ikhlas. "O-oke." Sabar. Ini masih hari pertama. Besok harus lebih berani. Setelah memesan makanannya dan makanan Safira, Rossa berjalan menuju kursi yang diduduki oleh Safira. Ia berjalan sambil membawa nampan berisi pesanannya dengan hati-hati. Rasa takut kembali menghampiri. Bayangan dirinya tersandung, disiram minuman dan ditertawakan manusia seisi kantin. Cuplikan ingatan yang berputar layaknya film rusak membuat napasnya terengah-engah. Pandangannya memburam. Tubuhnya hampir limbung bersama seisi nampan, jika saja tidak ada seseorang yang menahannya. "Lo gakpapa?" tanya seorang siswa. Rossa membaca nama di seragamnya. Gafi Aryo Saputra. "I-iya." "Sini. Biar gue yang bawain. Mau duduk di mana?" "Di sana." Rossa menunjukkan tempat duduknya. Lalu Gafi berjalan duluan di depan. Safira menyaksikan adegan tersebut dengan santai sambil menyilangkan kaki dan tangan bersedekap di depan d**a. "Sok jadi pahlawan lagi," ucap Safira diiringi senyum miring di akhir kalimat. Gafi menatapnya sesaat. "Kenapa?" tanya Safira yang jengah ditatap. Gafi tidak menghiraukannya dan membuang muka lalu tersenyum ke arah Rossa yang sudah duduk di kursi depan Safira. "Ma-makasih yah," ucap Rossa. "Iya," balas Gafi lalu pergi. Safira menarik piring nasi dan gelas minumannya. Dia melahap makanannya dengan santai seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Safira tidak menunjukkan rasa khawatir dan ingin tahu sedikit pun tentang apa yang barusan Rossa alami. Sebenarnya, Rossa tidak terlalu terkejut dengan sikap abnormal itu. Baginya, Safira tidak bertanya, bukanlah hal yang perlu dianggap aneh. Itu normal untuk manusia semacam Safira. Gadis di hadapannya ini memang tidak peduli dengannya. Ah! Ralat. Bukan tidak peduli dengannya, tapi dengan lingkungan sekitarnya. Safira memang sudah terlahir seperti itu. Dia hidup tanpa kepekaan sosial. Tiba-tiba Safira memukul meja makan. Tidak terlalu kuat, tapi cukup mengejutkan Rossa. "Jadi, lo ngapain aja semenjak gue pindah ke Jakarta?" tanya Safira. Rossa melebarkan matanya. Apa dia tidak salah dengar? Seorang Safira mempertanyakan urusan orang lain. "Kenapa? Kaget lo, gue nanya kayak gini?" Rossa hanya mengangguk. "Tciih. Gue udah berubah kali ... sedikit," tuturnya lalu kembali menyuap makanan. "Emang lo. Masih aja jadi pengecut." Rasanya ingin sekali Rossa menepuk dahi orang di hadapannya ini, karena terus menerus menyebutnya pengecut. Yah, memang benar begitu faktanya. Tapi tidak perlu diperjelas juga. Makin miris jadinya kalau begini. Rossa hanya menghela napas. "Gak lama lo pindah. Gue juga pindah." "Kemana?" "Samarinda." "Di mana tuh?" "Lo anak IPS, masa gak tahu Samarinda di mana?" "Canda Zheyeng," ucapnya diselingi tawa sampai-sampai dia tersedak. Safira meraih gelas jus mangga dan meminumnya. "Oke. Jadi dua tahun yang lalu, lo hengkang juga dari Bali. Terus apa yang buat lo balik lagi kesini?" Rossa mendadak berhenti bergerak. Pandangannya kembali buram. Ingatan itu lagi. Lemparan telur, siraman minuman, kaki tersandung, loker penuh sampah, tatapan jijik dari orang-orang. Coretan di meja. Hujatan di sosial media. Lemparan telur lagi, siraman minuman lagi, kaki tersandung lagi, lagi, lagi dan lagi. Semua berputar dan terulang. Hingga akhirnya tepukan Safira di bahu kembali menyadarkannya. "Rossa!" Safira memanggilnya. Tidak! Lebih tepatnya, Safira menyelamatkannya. Rossa segera menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Lo sakit yah?" tanya Safira lagi. Rossa menggeleng. Safira menatapnya dan tersenyum miring. Dia mendorong piringnya ke depan lalu meletakkan kedua sikunya di atas meja. Tangannya kini beralih fungsi sebagai media yang menumpu dagunya. "Gue tahu alasan lo kembali ke sini." Rossa langsung menatap Safira. "Apa?" "Lo dibully di sana. Iya 'kan?" "Ng-ng-gak. Lo sa-salah. Gu-gue gak dibully di sana." "Really? But why is your expression not say like that?" Rossa menegang. Lidahnya seketika kelu. Dia lantas meneguk habis minumnya. Lalu bergegas pergi. "Gu-gue duluan." Rossa tak lagi bernafsu menyelesaikan makannya. Ia justru pergi menjauh dari Safira. Melihat hal itu, Safira kembali tersenyum. "Dasar ... Loser." *** Rossa memuntahkan isi perutnya ke dalam lubang closet. Kepalanya terasa sangat pusing. Seperti ada kunang-kunang yang berputar. Begitu pula dengan isi perut yang serasa ingin meluap keluar. Keringat dingin mulai mengalir. Anak rambut di sudut wajahnya telah basah. Wajahnya pun menjadi pucat. Rossa keluar dari toilet dalam keadaan lesu dan lemah. Rasanya sangat tidak mungkin untuk melanjutkan harinya dengan duduk di kelas. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan ke arah UKS. Tepat saat ingin membuka pintu UKS, ganggang pintunya menjauh. Seseorang dari dalam telah membuka pintu duluan. Rossa mendongakkan wajahnya untuk melihat siapa di depannya. Ternyata orang itu adalah Gafi. "Permisi." Rossa melewati tubuh Gafi. Dia pikir Gafi langsung pergi, ternyata tidak. Gafi justru menuntunnya berjalan menuju ranjang pasien. "Udah gue duga, lo pasti bakal ke UKS," ucap Gafi membantunya membenarkan posisi selimut. "Lo sakit apa?" tanya Gafi. Rossa menatapnya dengan raut heran. Untuk apa bertanya hal seperti itu? Mereka kan baru kenal hari ini. Karena paham dengan kebingungan di wajah Rossa. Gafi memperjelas pertanyaannya. "Gue petugas UKS hari ini. Gue harus catat siswa yang sakit di buku ini." Menunjukkan sebuah buku tebal dan panjang. Seperti buku absensi. "Oh. Pusing dan Mual." "Lo dekat sama Safira?" "Hah?" tanya Rossa karena kaget ditanya mendadak tentang Safira. "Emang kenapa?" "Heran aja. Gue pernah sekelas dengan Safira di kelas sepuluh, dan baru kali ini gue liat dia ngobrol akrab dengan siswa lain." "Baru kali ini?" "Iya. Baru sama lo dia begitu." Astaga! Rossa hampir saja tertipu. Berubah apanya. Safira masih sama saja seperti Safira yang dia kenal dua tahun yang lalu. Masih anti sosial dan tidak bisa bergaul. "Karena lo siswa baru di sini, jadi gue mau kasih saran." "Hm. Apa?" "Hati-hati dengan Safira. Dia ... auranya ... tidak terbaca." Rossa menarik senyumnya sedikit. "Oke."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD