Bab 2 || Teman Lama

1689 Words
Denpasar, 2016. "Auw." Rossa mengaduh sakit saat tubuhnya jatuh menyentuh tanah akibat dorongan tiga gadis seusianya. Cekikikan terdengar saat dirinya meringis berusaha bangkit sambil membersihkan pasir yang menempel pada telapak tangan dan betis. "Lo itu gak ngerti bahasa manusia yah? Dibilang minggir dari tadi, malah diam. Jatuh kan jadinya," ucap Lusi teman sekelas yang kerap kali mengganggunya. Lusi dan kedua temannya itu menertawakan Rossa dengan santai seolah mereka tidak bersalah. Rossa melangkah untuk mengambil kotak bekal yang terlempar. Namun, kotak itu semakin jauh dari jangkauannya karena Lusi baru saja menendang kotak bekal tersebut tepat di depan wajah Rossa. "Ups. Maaf. Sengaja. Haha." Mereka kembali tertawa puas. Rossa berdiri dan mengambil kotak bekal tersebut. Bahunya turun naik karena emosi. Gurat wajahnya tajam dan merah padam. Terlintas inisiatif untuk melemparkan kotak bekal tersebut ke arah Lusi yang telah berjalan meninggalkannya. Tangannya bahkan telah terangkat setengah. "Cepat lempar!" ucap Safira yang diam-diam memperhatikan dari bangku taman tak jauh dari lokasi Rossa. "Ayo lempar. Tunggu apa lagi." Komentar Safira seperti menonton televisi saja. Lalu Rossa membatalkan niatnya. "Huh. Membosankan!" protes Safira tidak puas. Rossa memilih memasukkan kembali kotak bekalnya ke dalam tas. Lalu netranya tak sengaja menangkap seorang gadis sedang duduk di sebuah kursi panjang tak jauh dari posisinya. Gadis itu hanya menatapnya tanpa ekspresi. Rossa yakin, pasti gadis itu telah menyaksikan perilaku Lusi terhadapnya sejak awal. Rossa merasa kesal karena tak menerima pertolongan, tapi itu bukanlah hal yang perlu diperdebatkan. Lagi pula, perundungan di sekolah bukanlah hal aneh, bukan? Setiap mata yang melihat aksi perundungan akan mulai membaca aturan tak tertulis di kepalanya. Jangan ikut campur! Jika kau tidak ingin menjadi korban selanjutnya. Mungkin itulah alasan kenapa siswa lain bertindak acuh seakan buta melihat perundungan. Bagi mereka, selagi itu bukan mereka, maka tak perlu bertindak. "Jangan berharap ditolong. Tolonglah sendiri dirimu," ucap gadis itu. Rossa tidak sadar kapan gadis tersebut berpindah dari duduk di kursi menjadi berdiri di hadapannya. Gadis itu berjalan melaluinya. Tanpa diberitahu pun Rossa sudah sadar. Masalahnya, sampai detik ini dia tidak tahu bagaimana cara menolong dirinya sendiri. *** Suasana kelas ramai seperti biasanya. Terutama saat jam pelajaran Seni, keramaian akan meningkat dua kali lipat. Hanya dua orang yang duduk diam di kursinya tanpa melakukan interaksi apapun. Hari ini, pelajaran seni yang mereka pelajari adalah melukis. Setiap siswa diberi tugas melukis berpasangan. Rossa berpasangan dengan Safira—gadis yang tadi pagi memberinya saran. Safira adalah siswi yang tak banyak bicara. Dia dan Safira itu memiliki persamaan. Sama-sama tidak memiliki teman. Bedanya, Safira berprestasi dan populer. Alasan dia tidak memiliki teman adalah karena kharismanya yang sangat tinggi di mata siswa lain. Dia seperti berada di level yang berbeda. Itu sebabnya orang-orang segan bercengkrama dengannya. Sedangkan Rossa adalah semua dari kebalikan Safira. Dia adalah nol besar dari kata prestasi dan kepopuleran. Hanya Rossa dan Safira yang bekerja dalam diam. Mereka tidak saling membuka suara untuk bekerja sama. Semua dilakukan dalam hening. Bahkan saat Safira berdiri keluar kelas, tidak ada kalimat tanya yang keluar dari mulut Rossa. Begitu pula dengan Safira, tidak ada satu kata pun keluar dari mulutnya untuk memberitahu ke mana tujuannya. Menurut Rossa kemungkinan tujuan Safira adalah toilet. Jadi tidak perlu bertanya. Yah, setidaknya itulah asumsinya. Tiba-tiba Lusi dan gengnya menghampiri meja Rossa. Mereka dengan sengaja menyenggol lengan Rossa. Menendang kursinya, bahkan menumpahkan cat ke atas kanvasnya. "Wah lukisan Kak Ros bagus banget," ejeknya. Saat mereka melihat Safira datang dari luar, mereka langsung bergegas pergi kembali ke tempat duduk masing-masing. Safira menatap kanvas dan Rossa bergantian. "Lo gagal lagi nolong diri lo," ucap Safira. Satu hal yang Rossa sadari saat itu. Hal yang mungkin membuat orang-orang takut berteman dengan Safira. Satu hal itu adalah ... tatapannya. "Kalo lo gak bisa nolong diri lo, setidaknya lo bisa balas dendam. Perlu gue contohin caranya?" Belum Rossa menjawab, Safira telah melangkah menuju meja Lusi. Tanpa aba-aba dia menumpahkan cat lukis yang berada di samping kanvas Lusi. Tidak tanggung-tanggung. Cat itu dia tumpahkan ke seragam Lusi. "Ah! Maaf kanvas gue rusak. Jadi gue butuh media buat numpahin cat." Semua mata menyorot ke arah Safira dan Lusi. Tentu saja Lusi murka dan ingin melayangkan tamparan ke wajah Safira. Namun, Safira dengan mudah menahannya dengan tangan kiri. Bukan hanya menahan, tapi Safira juga melayangkan tamparan menggunakan tangan kanannya. Rossa sampai menganga melihatnya. Mereka berhasil menjadi tontonan siswa satu kelas. "Lo gila? Berani banget lo nampar gue. Auw." Lusi meringis kesakitan karena cengkraman Safira di lengan kanannya. "Hm. Cukup gila untuk meladeni orang gila seperti lo." Safira menjawab sambil tersenyum. *** Denpasar, Juli, 2019. Rossa membuka matanya perlahan. Di sana dia mendapati Safira sedang berdiri menghadap ke arahnya sambil mengemut lolipop. "Enak banget yah lo. Hari pertama sekolah udah rebahan aja di UKS," ucapnya lalu melemparkan tas Rossa ke atas perutnya. Rossa sampai meringis kesakitan. "Udah jam pulang yah?" "Udah." Safira berbalik ingin pergi. Rossa membenarkan posisi seragamnya lalu memasang tasnya. Dia tersenyum mengingat pesan hati-hati yang disampaikan Gafi sebelum dia tertidur tadi. Hati-hati terhadap Safira. Lucu sekali. Sayangnya, Rossa sudah menyadari bahaya itu jauh sebelum Gafi. Baginya kini hal itu tidak berbahaya lagi. "Safira tunggu," panggil Rossa. Safira menoleh dan tersenyum. Dua tahun yang lalu, mereka dipertemukan dalam situasi yang kurang baik. Rossa sebagai korban perundungan dan Safira sebagai pahlawannya. Semenjak kejadian itu, mereka jadi berteman dekat. Karena pada dasarnya mereka itu sama, jadi bukanlah hal yang sulit untuk menyatu. Memang benar rumor yang beredar bahwa Safira itu aneh, sosiopat dan sebagainya. Tapi baginya, Safira lah teman satu-satunya dulu. Syukurlah, kini mereka kembali dipertemukan. *** "Hai, nama gue Tika. Kemaren gue gak masuk. Jadi gak tahu kalo ada siswa baru. Lo pindahan dari mana?" tanya seorang siswi. Rossa memperhatikan wajahnya. Dilihat sekilas pun, orang tetap yakin bahwa siswi bernama Tika ini cantik. Rossa yakin dia juga populer di sekolah ini. "Aku—eh gue Rossa. Pindahan dari Samarinda." "Kalimantan yah?" "Iya." "Wah keren. Di sana suasananya seperti apa? Katanya masih banyak hutan di sana. Terus lo tinggal di mana? Di pedalaman?" tanya siswi bernama Sasha. "Di sana gak cuma hutan kok. Ada kotanya juga. Gak kalah padat sama di sini." "Dasar b**o! Ya gak mungkin lah di sana isinya cuma hutan," protes Arista kepada Sasha. Rossa tertawa melihatnya. Rossa duduk dikelilingi tiga gadis yang berparas ayu, khas gadis Bali. Proses perkenalan baru terjadi hari ini karena kemarin Rossa menghabiskan hari pertamanya di sekolah dengan tertidur di UKS. Dia pikir tidak akan ada yang mau berkenalan dengannya. Ternyata dugaannya salah. Mereka semua terlihat ramah. Bahkan Indra, siswa laki-laki yang usil membuatnya menjadi bahan tertawaan di sesi perkenalan kemarin, tidak senakal yang dia kira. Malah terkesan humoris. "Wisata pantai di sana bagus juga, kan? Derawan kalo gak salah nama kotanya," ucap Tika. "Iya bener. Tapi itu di utaranya Kalimantan Timur, jauh banget dari ibukota Samarinda." "Kalo ini di mana?" Arista menunjukkan sebuah foto lokasi wisata. "Airnya jernih banget, kayak cermin. Pantainya juga biru banget." Rossa melihat gambar yang disodorkan. "Oh itu di Labuan Cermin sama Pantai Kaniungan. Di bagian utara juga. Pokoknya kalo wisata-wisata pantai keren gitu, adanya di Kaltim bagian utara, dekat sama Kaltara. Kalau daerah rumah gue dulu adanya cuma Mall sama kemacetan. Bahkan ada yang nyebut Samarinda itu mirip Jakarta kalo udah macet. Ah! Satu lagi. Banjir. Di Samarinda sering banjir." "Oh ya? Seru dong bisa main banjir," ucap Sasha lalu tertawa. Rossa tidak menyangka dirinya bisa berbicara sesantai ini dengan siswa lain. Ternyata ada banyak orang baik di sini. Dia tidak perlu lagi khawatir berlebihan. "Jadi apa yang buat lo pindah ke sini?" tanya Tika. Rossa terdiam. Untuk beberapa saat dia hanya menatap teman-teman barunya itu. Pertanyaan ini juga yang kemarin diajukan Safira dan berujung fatal baginya. Rossa menarik napasnya sebelum berucap. "Biasa. Ikut kerjaan orang tua." Rossa menarik senyumnya agar ucapannya tadi terkesan nyata. Yah, senyum palsu. "Sebenarnya, gue lahir di sini kok. SMP gue juga di sini. Gue cuma dua tahun tinggal di Kaltim." "Oh ya? Berarti sama aja kayak pulang kampung dong," ucap Tika. "Iya." Bel masuk pun berbunyi. Rossa melirik ke sebelahnya. Safira belum datang. Tika lalu menepuk bahunya. "Paling telat lagi. Udah biasa dia begitu," ucapnya. Sudah biasa? Seingat Rossa, Safira dulu bukanlah siswa yang suka datang terlambat. Ah! Mungkin ini yang dimaksud Safira sudah berubah sedikit. Rossa terkekeh. Berubah menjadi lebih buruk? *** Safira berjalan menyusuri g**g kecil, sebuah jalan pintas yang akan mengantarkannya langsung ke depan jalan besar dekat sekolahnya. Jarak rumahnya dengan sekolah memang tak jauh. Jadi dia terbiasa berjalan kaki. Akibat jarak yang dia rasa dekat itu, dia jadi menyepelekan waktu berangkat dan sering datang terlambat. Seperti hari ini, dia yakin akan terlambat lagi. Tapi bukannya bergegas, malah berjalan santai menguyah permen karet sambil mengguncang kaleng soda. Netranya menangkap sekelompok gadis remaja seusianya sedang mengganggu seorang gadis remaja juga. Sepertinya gadis itu sedang dipaksa mengeluarkan uang, harta dan semacamnya. Safira tidak peduli. Dia memasang headphonenya dan memasukkan telapak tangannya ke dalam kantung jaket. Berjalan tanpa beban. Hingga akhirnya satu dari mereka menghalangi jalannya. "Hei. Lo gak liat kita lagi apa?" "Liat," sahutnya santai. "Terus lo masih bisa jalan dengan santai. Gak takut lo sama kita?" Safira memperhatikan seragam gadis di depannya. Ternyata dari sekolah tetangga yang memang terkenal dengan kasus siswa-siswinya yang bar-bar. Safira tersenyum sekilas. "Takut? Emang kalian Tuhan?" Safira terkekeh di ujung kalimatnya. Dia lalu mendorong tubuh gadis di depannya itu untuk menyingkir dari jalannya. Namun, tanpa aba-aba tasnya di tarik kembali hingga tubuhnya terdorong ke belakang lagi. Kini semuanya menatap Safira. Ada empat gadis. Empat lawan satu. Safira merasa sangat tidak adil. Namun, bukannya takut, dirinya malah merasa tertantang. "Kalian suka bermain tidak adil yah?" tanya Safira masih dengan nada santai, bahkan terkesan meremehkan. Sama sekali tak ada rasa takut. "Ambil tasnya!" perintah salah satu gadis yang terlihat seperti bos geng. Gadis pertama maju dan ingin merampas tas di belakang tubuhnya. Safira menghindar dan memutar lengan gadis tersebut. Memberikan satu pukulan di perut lalu mendorongnya sampai terhempas ke tembok. Safira mengeluarkan lagi kaleng sodanya, dengan cepat dia mengguncang lalu membuka penutupnya tepat di wajah gadis kedua yang ingin menyerang. Gadis ketiga hendak menyerang namun berujung mendapatkan tamparan mutlak dan terhempas ke tembok g**g. Gadis kedua kembali ingin menyerang. Namun, tidak sengaja malah mendapatkan tendangan refleks tepat di dadanya. Gadis terakhir yang merupakan bos dari gadis lainnya tampak takut. Safira mendekatinya perlahan. Gadis tersebut tersudut dan jatuh. Safira bersiap melayangkan tinjunya kuat dan kencang. Gadis tersebut sudah berteriak pasrah. Namun, saat membuka matanya, dilihatnya Safira menghentikan bogemnya tepat di depan wajahnya. Gadis tersebut bernapas lega. Lalu, Safira berbisik pelan di telinganya. "Gak usah sok jagoan. Kalian gak lebih dari sekedar sampah di jalan yang gue lewatin." Safira berdiri lalu menendang tubuh gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD