2-Bab 2

1077 Words
Dua tahun kemudian.... "Ambarwati Setyaningsih, dia gadis yang baik. Namun, masa lalu membuatnya jadi dingin kepada semua orang. Bahkan, keluarganya sendiri. Tak ada lagi keceriaan, apalagi senyuman." Suasana kedai yang ramai membuat Arda sedikit nyaman. Sudah dua tahun lamanya rumah begitu dingin. Ada empat orang tetapi sibuk dengan urusan masing-masing. Ayah mertuanya yang lebih memilih menyibukkan diri dengan teman-teman sebayanya. Ambar yang sibuk bekerja dan kini sedang gencarnya berbisnis kuliner. Sedangkan, suaminya sibuk bekerja juga. Akan tetapi selalu memperhatikannya. Namun, dia yang tak bekerja tentu merasa kesepian. Sudah dua tahun dia belum dikaruniai anak. Sedih tentu, walau suaminya tak menuntut hal itu, tetapi dia menginginkan kehadiran seorang anak di keluarga kecilnya. "Mendengar namanya membuat jiwa playboyku terguncang, Kak." Arda menggelengkan kepala menatap lelaki dihadapannya itu. Sepupunya sekaligus saudara sepersusuan yang playboy tetapi begitu hangat dengan keluarganya. "Kamu punya solusi atas masalah ini?" "Kenapa tidak dijodohkan saja, Kak?" "Huh, kamu sudah tahu jelas ceritanya. Ambar hendak menikah saat itu karena saling mencintai. Apalagi dijodohkan." Arda menggelengkan kepala tak setuju. "Apa salahnya mencoba?" Arda menghela nafas pelan. "Ah, sudahlah. Aku berharap ada keajaiban. Ambar gadis yang baik. Bahkan, sampai saat ini juga tak ada kabar di mana lelaki itu berada." Lelaki itu menganggukkan kepala pelan. "Aku akan membantu Kakak mencari lelaki itu. Apa Ambar benar-benar belum move on atau memang Ambar menutup hatinya untuk orang lain yang mencoba mendekatinya?" "Aku tak tahu, kamu cari saja lelaki itu. Mungkin dengan kehadiran lelaki itu. Ambar bisa seperti dulu lagi. Mungkin kekesalannya akan berkurang setelah melihat lelaki itu." "Bagaimana jika lelaki itu justru bahagia? Bukankah akan membuat Ambar semakin tersakiti? Mendengar cerita Kakak, aku rasa Ambar ingin melihat lelaki itu tak baik-baik saja." "Kamu cari saja di mana lelaki itu. Keluarganya saja tak tahu. Gara-gara dia juga ibu mertuaku meninggal, keluargaku juga begini." Arda begitu kesal mengingat lelaki yang telah meninggalkan Ambar di hari pernikahannya hingga salah satu anggota keluarga meninggal. ****** Restoran yang ramai membuat suasana menjadi sesak. Belum lagi banyaknya pembeli membuat para karyawan kuwalahan. Ambar sebagai pemilik restoran pun memutuskan untuk membantu para karyawannya melayani pembeli. Dia begitu bersyukur, dari ke hari semakin ramai. Jika terus begini dia bisa membuka cabang di beberapa daerah lagi bahkan mungkin luar kota. Senyuman lebar dia tampilkan kepada para pembeli. Sebagai penjual tentu harus ramah supaya pembeli betah datang ke tempatnya untuk membeli makanan. Saat dia menyapa para pembelinya, dia mendengar suara keributan di luar. Dengan langkah cepat dia menuju depan restorannya. Seorang wanita paruh baya dengan tubuh yang kurus juga pakaian yang lusuh. Tangannya memegang botol kecil yang dia yakini pasti wanita paruh baya itu pengemis. Satpam restoran mengangguk saat melihatnya. Dia menatap satpamnya sekilas meminta jawaban atas apa yang terjadi. "Wanita itu memaksa ingin masuk, katanya mau bertemu dengan ibu." Dahinya mengernyit heran. Dia lalu menghampiri wanita paruh baya itu semakin dekat. "Ada apa, Bu?" Wanita paruh baya itu menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca. Wajahnya yang kusam juga baunya yang menyengat mungkin karena jarang mandi. Dia menatap para pembeli yang menatap penuh penasaran ke arahnya. Dia meminta wanita paruh baya itu untuk mengikutinya menuju belakang restoran. Lebih baik daripada dilihat banyak orang yang akan menimbulkan berbagai pertanyaan. Mengode salah satu karyawannya untuk menyuguhkan makanan dan minuman. Duduk di gazebo belakang yang langsung menghadap ke tanah yang kosong nan gersang. Jika tabungannya begitu banyak niatnya dia ingin membangunnya lagi. Diperluas juga akan ada spot foto di berbagai tempat supaya pembeli semakin betah datang ke restorannya. Ambar menatap wanita dihadapannya yang menatapnya dengan tatapan sedih. "Ada apa Bu? Tadi katanya satpam saya, Anda ingin bertemu dengan saya." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Maaf sebelumnya, kita tidak pernah saling mengenal. Ibu ada urusan apa ingin bertemu dengan saya?" Wanita itu masih diam saja dengan raut wajah sedih menatapnya. Dia semakin bingung melihatnya. "Bu," ujarnya lagi. Dia tak bisa membuang-buang waktu. Ada banyak kerjaan yang harus dia urus. "Saya ingin bertemu dengan anak saya." Ambar menaikkan sebelah alisnya. "Lalu kenapa ibu bertemu dengan saya? Saya tidak mengenal anak Ibu," tanyanya heran. "Kamu." "Maksud ibu?" "Kamu anakku, sayang." Wanita paruh baya itu mengeluarkan air mata. Lalu menangis terisak. Seakan ingin menumpahkan kegelisahannya selama ini. "Maksud ibu apa, ya? Saya bahkan tidak mengenal ibu." "Kamu anak saya," ujarnya lagi dengan tangan mengulur ingin mengusap wajah lembut Ambar. Ambar menarik kursinya menjauh. Dia menggelengkan kepala heran. "Ibu ini jangan bermain-main dengan saya. Ibu saya sudah tiada setelah saya lahir. Dan, saya tidak mengenal Anda." "Anakku, kamu anakku. Kamu melupakan ibu, Nak?" Ambar merubah raut wajahnya. Dia begitu marah akan wanita dihdapannya itu. Hendak mengeluarkan suara, terdengar langkah kaki mendekat membuatnya mengurungkan. Ternyata karyawannya membawakan makanan dan minuman yang dimintanya tadi. Dia melirik wanita paruh baya itu yang tak berkedip menatapnya. Dia menghela nafas kasar. Sepertinya wanita paruh baya itu telah kehilangan anaknya dan anaknya sepertinya mirip dirinya hingga mengaku-ngaku sebagai ibu dari dirinya. Jelas saja dia tak percaya. Karena ibunya telah lama meninggal. "Silahkan dimakan! Ini gratis!" ujarnya setelah karyawannya pergi. Wanita paruh baya itu terdiam menatap makanan yang dihidangkan. Ada lalapan lele goreng, ada ayam geprek, ada es krim, ada es teh. Tetapi, walau lapar sekalipun yang diinginkannya yaitu pelukan sang anak. "Kenapa hanya dilihat saja? Makanannya tidak enak?" tanya Ambar tersinggung. "Bukan. Ibu belum lapar, ibu kangen sama kamu, Nak." "Astaghfirullah, Bu." Ambar berkata dengan suara pelan. Dia bingung harus bagaimana lagi menghadapi wanita itu. "Kamu tidak mengingat ibu, Nak? Ibu yang melahirkanmu dan membesarkanmu, Nak." "Maaf ya, Bu. Ibu sebaiknya cari anak Ibu di tempat lain. Saya ini tidak mengenal Ibu. Saya juga bukan anak Ibu." Wanita paruh baya itu menangis. Hatinya sedih saat sang anak tak mengingatnya lagi. "Kamu anakku. Wajahmu tak berubah." "Maaf, Bu. Lebih baik Ibu nikmati makanannya. Saya akan meminta karyawan saya untuk menunggu Ibu," ujar Ambar sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu tidak mengingat ibu, Nak." Ambar menghiraukannya. Dia tak terlalu mengambil pusing. Dengan langkah pelan meninggalkan wanita paruh baya itu karena sepatunya yang tinggi. "Ambar, jangan pergi, Nak!" Langkahnya terhenti saat wanita paruh baya itu mengucapkan namanya. "Ambar, kamu anak Ibu, Nak." Ambar menggeleng-gelengkan kepala. Dia rasa wanita paruh baya itu berpura-pura. Karena ibu kandungnya sudah meninggal. Jelas saja wanita paruh baya itu ingin menipunya. Dia tidak akan tertipu. Memilih menghiraukan dan melanjutkan langkah kakinya memasuki restoran. Wanita paruh baya itu menangis tergugu setelah ditinggalkan Ambar. Batuk menyelimuti dirinya. Tubuhnya yang renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi setiap harinya dia harus mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Tak peduli banyak orang menganggapnya gila karena terus menangisi kepergian anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD