1-Bab 1
Ternyata begini rasanya ditinggalkan. Sudah kesekian kali Ambar mengalami patah hati, namun kenapa patah hati kali ini lebih menyakitkan dibanding yang lalu. Tak dia sangka harus mengalami kisah drama layaknya film yang sering ditonton oleh kakak iparnya. Ditinggalkan tanpa kabar di hari pernikahan. Orang tua sang mempelai lelaki pun tak tahu akan keberadaan anaknya. Mereka bilang, terakhir kali anaknya berada di dalam rumah. Bahkan, lelaki itu katanya sempat menikmati makan malam bersama dengan keluarganya. Lantas, kenapa bisa tidak hadir di sini? Tentu sudah dipastikan kabur di hari pernikahan ini.
Ambar tertawa keras, menertawakan hidupnya. Suasana yang seharusnya membahagiakan kini harus berubah menjadi suasana duka. Tangisan menyayat hati begitu beriringan menyambut telinga dan seakan menusuk jantungnya. Mereka menatap dirinya penuh rasa kasihan. Hah, dia tak membutuhkan itu. Hatinya rasanya tak terima diperlakukan seperti ini. Siapapun yang terlibat sudah selayaknya mempertanggung jawabkan atas kekacauan ini begitupula rasa malu yang harus diterimanya.
Selama ini dia pikir hubungannya dengan lelaki itu baik-baik saja. Perkenalan yang terbilang begitu klise membawanya lebih dekat dengan lelaki itu. Takdir seakan menunjukkan jalan dengan membawanya pada pertemuan tak terduga dengan lelaki itu. Entah saat dia ke Mall, toko baju, taman, dan lain sebagainya. Pertemuan-pertemuan itu memunculkan benih-benih cinta di dalam hatinya. Bersemayam begitu saja tanpa mau memisahkan diri pada sosok lelaki yang kini dipujanya dengan penuh kekaguman. Lelaki itu juga menunjukkan penuh perhatian padanya. Hingga sampai pada lamaran dan rencana pernikahan. Lelaki itu memberikan sampah pada keluarganya. Sampai pada akhirnya kini ibunya harus kolaps karena tak terima atas batalnya pernikahan sang putri. Penyakit yang diderita oleh ibu tirinya itu berujung pada kematian di hari pernikahannya. Walau hanya ibu tiri, namun wanita paruh baya itu begitu sangat menyayangi putri dari suaminya dengan istri suaminya yang telah lama meninggal setelah melahirkan putri yang sangat dia sayangi tersebut.
"Ambar," panggil Arda–kakak ipar Ambar. Namun, tak ada sahutan sama sekali dari Ambar. Wanita itu hanya diam dengan tatapan kosong. Akan tetapi air mata mengalir di kedua pipinya. Tampak kesedihan yang mendalam di derita oleh wanita yang hendak melepaskan masa lajangnya. Tetapi, sayangnya harus menerima kabar yang begitu buruk. Ditinggalkan sang mempelai lelaki di hari pernikahan, dan ditinggalkan oleh ibu tiri yang selalu menyayangi dirinya.
Abang dari Ambar hanya diam sambil memejamkan kedua matanya dibalik tembok. Ia tak kuat akan kepedihan ini. Menyenderkan tubuhnya pada tembok dan memilih bersembunyi diantara keramaian. Belum lagi para tetangga dan tamu yang datang justru bukannya turut berduka malah membicarakan yang tidak-tidak pada si pemilik rumah. Abang mana yang tidak sakit melihat keluarganya harus menerima semua ini. Terlebih pada adik perempuannya yang masih berumur 22 tahun dengan sekelumit hidupnya. Dengan terang-terangan mereka mengatakan bahwa adiknya pembawa sial sehingga menyebabkan ibu tirinya meninggal. Lelaki yang menikahi adiknya pergi karena pasti terpaksa menerima rencana pernikahan ini. Padahal nyatanya tidak.
"Mas, Mas." Sayup-sayup suara teriakan yang terdengar panik membuatnya menegapkan tubuh. Dia segera berlari menuju depan di mana banyak para pelayat. Tepat di samping tubuh kaku ibu tirinya, sang adik pingsan dengan wajah yang pucat. Dia begitu panik dan langsung menggendong adiknya menuju sebuah kamar bercat biru muda itu. Sebelumnya dia meminta sang istri dan ayahnya untuk mengurus pemakaman ibu tirinya. Biarlah dia yang menjaga adiknya ini.
Dia membaringkan tubuh lemah itu dan menyelimutinya. Mata itu terbuka dengan tatapan kosong. "Ambar."
Tak sedikitpun menoleh, hanya menatap langit-langit kamarnya. Baju pengantin masih menempel di tubuhnya.
"Ambar," ucapnya lagi. Tetap tidak ada sahutan.
"Ambarwati Setyaningsih," ucapnya lagi dengan suara agak keras. Hingga Ambar menoleh dengan tatapan sedih. Dengan sigap dia memeluk adiknya penuh kasih sayang. Mengusap punggung badannya memberikan kekuatan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Ibu," ucap Ambar lirih dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Ambar kembali menangis.
"Shut, semua akan baik-baik saja."
"Ibu pergi, Bang. Semua ini karena Ambar."
Bahkan, di saat seperti ini justru Ambar menyalahkan dirinya sendiri. Padahal semua yang terjadi karena lelaki itu yang meninggalkan Ambar.
"Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, Ambar. Ibu pergi bukan karena kamu. Ibu pergi karena memang sudah takdirnya."
"Enggak, ini semua karena Ambar," lirihnya.
"Abang tidak suka kamu menyalahkan dirimu Ambar. Sudah abang bilang bukan salah kamu. Sekarang kamu istirahat, ya!" pintanya.
Ambar menggelengkan kepala pelan. "Aku mau melihat ibu untuk yang terakhir kalinya."
Dia mengangguk mengikuti kemauan Ambar. Lalu ke luar mencari istrinya untuk meminta tolong membantu menggantikan baju pengantin Ambar dengan baju biasa. Setelah itu, dia memilih menuju sang ayah yang tampak begitu terpukul. Jelas saja, wanita yang sudah menemaninya lebih dari 20 tahun itu telah meninggalkannya selama-lamanya.
"Ayah," panggilnya dengan suara pelan.
"Kamu temani saja adikmu. Biar Ayah yang akan mengurus pemakaman ibumu. Adikmu pasti begitu sedih," titah Ayah dengan suara serak. Tampaknya Ayah menahan dirinya supaya tak menangis.
Dia memeluk sang Ayah, saling memberikan kekuatan. Bahwa semua ini akan dapat dilaluinya dengan baik. Ya, semuanya akan baik-baik saja.
**
Tanah itu masih basah dengan bunga-bunga di atasnya yang juga masih baru. Wanita itu mengepalkan kedua tangannya tak terima akam kenyataan ini.
Para pelayat sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Ada beberapa tetangga yang membantu untuk acara tahlilan nanti malam. Dia masih betah disini sejak setengah jam yang lalu saat para pelayat pergi. Langit mendung, suasanya ini terlihat mencekam di kuburan. Tetapi, dia tak peduli. Walau mungkin bisa saja rintik-rintik hujan akan membuatnya jatuh sakit.
Dia pejamkan kedua mata, menatap datar pada banyaknya kuburan di pemakaman. Tempat terakhir para manusia juga tempat terakhir yang ingin dia kunjungi. Karena, setelah rasa sakit ini dia berharap tak akan menginjakkan kakinya lagi di sini. Memilih mendo'akan dari jauh daripada hatinya muncul dendam akinat yang diderita kali ini.
"Ayo pulang!"
Lelaki yang berstatus sebagai abangnya itu dengan setia menemani sang adik.
"Ayo pulang!" ajaknya lagi karena sang adik hanya diam saja.
Helaan nafas kasar terdengar. Diiringi anggukan kepala dan senyuman tipis yang ia tunjukkan sambil menatap pemakaman yang bertuliskan 'Sumirah Retnowati'. Walau ibu tirinya sudah tiada, dia akan selalu mengingat jasa wanita paruh baya itu yang selalu menyayangi dirinya penuh kasih sayang hingga nafas terakhirnya. Dia mendongakkan kedua matanya, menahan air mata yang mendesak ingin kembali turun. "Semuanya akan baik-baik saja," katanya di dalam hati mencoba menguatkan diri.