Part 2 Bali

2020 Words
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, kami sampai di Bali. Begitu turun dari pesawat, segera kami keluar dan menunggu jemputan yang akan membawa kami ke hotel. Samar-samar kulihat ada seorang pria paruh baya memegang papan nama Indra dan Nissa. Ah, pasti itu orang dari pihak hotel yang akan menjemput kami. Indra menggandeng ku dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menarik koper kami. Kami menuju pria tadi dengan seulas senyum. "Anda Pak Putu?" tanya Indra. "Iya betul. Saya Putu, ini Pak Indra Saputra dengan Ibu Khairunissa, ya?" tanyanya sambil menatap kertas yang diambil dari saku bajunya. "Iya. Jadi bapak yang akan mengantar kami?" tanya ku ramah. "Iya. Betul sekali. Saya tour guide untuk Bapak dan Ibu. Mari, kita langsung ke mobil saja. Kita ke hotel dulu," jelas Pak Putu. _____ Saat di dalam mobil aku dan Indra duduk di kursi belakang supir. Menikmati perjalanan kami sampai ke hotel, termasuk wisata tersendiri. Bangunan khas Bali serta ada pemandangan orang-orang yang sembahyang, menjadi daya tarik sendiri bagi turis. Anehnya aku seperti mendengar iring-iringan musik Bali. Yang biasa untuk mengiringi tari kecak. Bunyi suara jeritan, 'Cak! cak! cak' seperti itu, juga terdengar samar di telinga. Aku tengak-tengok dengan kebingungan ke sekitar. Mencari sumber suara yang menggangguku kali ini. Padahal mobil ini sedang melaju cukup cepat, mana mungkin suara itu terus terdengar sampai berkilometer jauhnya. "Kenapa, Sayang?" tanya Indra. "Eum, kamu dengar musik nggak?Musik iringan tari Bali gitu, Ndra," kataku ragu. "Musik? Enggak kok. Dari tadi cuma bunyi mesin mobil aja. Nggak ada bunyi musik," kata Indra ikut memandang sekeliling. "Masa sih? Aku dengar nih. Jelas banget. Ini aja masih ada," kataku mencoba mempertajam pendengaran. Indra diam sesaat, lalu memandangiku. Aku menoleh karena menyadari Indra menatapku terus. "Kenapa?" tanyaku heran. "Eum, ini bukan suara dari dunia ... Lain?" tanya Indra ragu-ragu. "Jadi, cuma aku yang denger? Eum, Pak Putu! Bapak denger juga, nggak?suara iringan tari Bali ini?" tanyaku ke Pak Putu yang fokus menyetir di depan. "Iringan musik? Eum... Nggak ada, Bu. Saya tidak mendengar apa pun. Lagi pula radio mobil juga tidak saya nyalakan," jelas Pak Putu membuatku makin bingung. "Ya udah. Lupain." Aku menarik nafas dalam, lalu menatap ke jendela samping. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Indra lembut, sambil menggenggam tanganku. Aku hanya mengangguk. ____ Kami tiba di hotel yang ada di daerah Kuta. Selama di Bali, kami menginap di sebuah hotel yang termasuk hotel tertua di Bali. Karena sudah berdiri lama menurut penjelasan Pak Putu sendiri. Kami disambut oleh seorang wanita memakai baju adat Bali lalu memberikan tanda di tengah keningku. Yang katanya dinamakan Bija. Bija ini dari butir beras yang utuh, dan direndam air suci lalu diberi kunir. Mungkin ini salah 1 sambutan di hotel ini. Setelah menempelkan Bija di kening, telingaku juga di selipkan bunga kamboja. Sedangkan Indra mendapat kalung dari rangkaian bunga kamboja yang cantik. Indra menuju resepsionis untuk mengurus kamar kami. Aku hanya melihat-lihat sekeliling lobi hotel ini. Eh, tunggu! Suara iringan tari Bali tadi, hilang! Apakah aku hanya halusinasi saja?Huft! Stres kalo udah bahas 'ginian'. "Nis, yuk. Kita ke kamar," ajak Indra. Pak Putu menunggu kami di restoran hotel, karena kami akan langsung jalan-jalan malam ini juga. Setelah diantar oleh salah satu karyawan hotel menuju kamar kami, Indra memberikan uang tip untuk pemuda yang kutaksir berumur 20tahunan itu. Aku langsung merebahkan diri di ranjang ukuran besar, karena merasa sangat lelah. Indra segera melepas pakaiannya, hanya memakai celana pendek saja lalu menuju kamar mandi. Kudengar dia mandi, karena udara memang cukup panas di luar tadi. Walau hari sudah sore sekalipun, rasa tidak nyaman akibat cuaca seharian memang masih terasa. "Nis, mandi dulu. Salat maghrib," kata Indra sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, masih memakai celana pendek dan bertelanjang d**a. "Oke." ____ Kami menuju restoran yang letaknya di bawah. Sebelum jalan-jalan kami sempatkan makan dulu. Kulihat Pak Putu ada di meja lain yang agak jauh dari kami. Indra pesan makanan khas Bali, dari ayam betutu, sate lilit, dan beberapa hidangan penutup. "Nanti kita mau ke mana, Ndra?" Suasana resto di hotel ini cukup ramai. Banyak juga wisatawan luar negeri yang berada di sini. "Eum, kayaknya mau ke Uluwatu. Nanti kita bisa lihat tari kecak juga di sana," jelas Indra sambil mengunyah makanan di mulutnya. Tari kecak? Aku masih teringat dengungan suara-suara itu di mobil tadi. Apakah tidak apa-apa? Huft, kenapa aku jadi takut begini. Bukankah aku di sini untuk liburan bersama Indra. Aku tidak boleh berfikir macam-macam. Selesai makan kami menemui Pak Putu, dan pergi ke tempat tujuan. Pemandangan di tempat ini sungguh indah. Tapi aku merasa tidak nyaman dengan para kera yang di biarkan bebas berkeliaran. Aku merapat ke Indra, sambil terus berusaha berlindung padanya. "Gak apa-apa, Sayang," katanya terlihat santai. Bahkan saat Pak Putu menjelaskan kepada kami tentang sejarah Uuwatu serta destinasi wisata yang ada di tempat ini pun, aku tidak fokus mendengarkannya. Sengaja Indra tidak membawa barang yang banyak dengan alasan ada kera-kera di sini yang suka usil. Di hadapanku ada seorang wanita yang kacamatanya diambil oleh kera. Dia histeris, ketakutan, tapi setelah itu dia tertawa lebar. Mungkin apa yang dialaminya terasa sangat konyol walau menakutkan sesaat. Spot nya sangat bagus untuk berfoto, pemandangan bukit yang langsung menuju ke laut, begitu memukau. Aku berdiri menatap keindahan dari bukit. Indra melingkarkan tangannya di pinggangku, memelukku dari belakang. Masih banyak wisatawan di sini. Baik domestik maupun mancanegara. Mereka juga akan menyaksikan pertunjukan tari kecak sebentar lagi. "Suka?" tanya Indra yang melihatku bengong menatap pemandangan di hadapan kami. "Banget," jawabku sambil senyum, tanpa melepaskan pandanganku. Setelah diberi pengumuman bahwa pertunjukan tari kecak akan dimulai, Indra mengajakku melihatnya. Semua orang juga terlihat antusias. Hanya aku saja yang merasa khawatir. Tapi aku juga penasaran, apakah suara yang kudengar tadi, memang iringan untuk tari ini atau bukan. Kami duduk di kursi yang sudah disediakan, dan pertunjukan pun dimulai. Iringan tari ini, suara ' cak cak cak' yang kudengar saat berada di mobil membuatku takut. Ini suara yang sama. Bali memang banyak menyimpan hal mistis. Yang berbeda dengan Jawa. Tapi tetap saja, mengerikan. Setelah beberapa jam di Uluwatu, kami pulang ke hotel. Indra menyuruh Pak Putu kembali saja pulang, karena kami tidak bepergian lagi setelah ini. Kami memutuskan akan jalan-jalan saja di pantai Kuta. Walau sudah malam, tapi suasana tetap ramai. Hanya duduk di atas tikar yang sudah disediakan lalu memesan es kelapa muda sambil ngobrol santai. Indra melirik jam tangannya. "Udah malem. Balik hotel aja, yuk. Angin kencang, nggak baik buat kesehatan," kata Indra. Aku pun sependapat dengan Indra. Karena udara makin dingin akibat hembusan angin laut yg makin kencang. Bahkan sweaterku juga tidak mampu membuatku hangat. Indra menggandeng tanganku menuju hotel yang tidak jauh dari pantai. Setelah sampai di depan kamar hotel tiba-tiba dia membopongku ala bridal style. Dia menyunggingkan senyum. Tatapan matanya dalam, bahkan sampai membuat jantungku berdetak lebih cepat, dan inilah malam pertama kami, sebagai suami istri. ______ Ponselku berdering nyaring. Aku hanya mengintip dengan sebelah mata, siapa yang menghubungi ku sepagi ini. Rupanya Kak Yusuf "Assalamualaikum," sapaku, menguap sambil mengucek mata. "Wa alaikum salam. Udah bangun, dek?" "Baru aja, Kak. Ini masih tiduran di kasur. Masih ngantuk, capek banget, kak, dari kemaren." "Hehehe.. Gimana? udah kasih kabar ke Mang Ude, belum?" "Ah iya, lupa. Habis sarapan nanti deh, kak." "Oh ya udah nggak apa-apa. Jangan lupa lho. Udah, bangun sana, mandi. Salat subuh dulu. Indra juga dibangunin tuh." "Hehehe oke. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Telefon berakhir. Kamar ini masih gelap, hanya terdengar bunyi AC yang memang tidak kami matikan. Kulihat Indra masih tidur nyenyak di sampingku. Aku segera beranjak menuju kamar mandi, dan mandi. Guyuran air dingin membuatku langsung segar dan rasa kantuk pun hilang. Aku menggelung rambutku dengan handuk, lalu membangunkan Indra yang masih mendengkur. "Ndra, Bangun. Ayo mandi, subuhan dulu. Nanti habis lho, waktunya," kataku sambil mengelus kepalanya lembut. Dia bereaksi. "Hm...." Dia membuka matanya sedikit, lalu tersenyum. "Mandi sana." "Iya, Sayang." Dia lalu mencium keningku, dan bergegas ke kamar mandi. Korden dan jendela kubuka, agar udara pagi masuk ke kamar. Ac juga kumatikan lebih dulu. Rasanya udara di ruangan ini harus diganti segera. AC tidak baik untuk tubuh dalam jangka waktu lama. Suasana di luar masih agak gelap. Dari jendela kamar kami, jalanan di dekat pantai terlihat. Masih sepi, dan hanya ada beberapa penjual kaki lima yang sedang mulai membuka lapak. Aku berbalik, hendak membereskan ranjang. Namun tiba-tiba, ada sebuah bayangan yang melintas di jendela luar. Aku menoleh, memastikan apa atau siapa yang lewat tadi. Hanya saja, kamar kami berada di lantai dua, jadi tidak mungkin ada manusia yang lewat di sana. Sementara jika itu burung, mengapa terasa begitu besar. "Kenapa, sayang?" tanyanya, yang baru selesai mandi. "Eum, nggak kok. Kamu udah selesai?" tanyaku berusaha menutupi kegelisahan ku sendiri. Indra justru menghampiriku, dan ikut memeriksa keluar jendela, karena sejak tadi aku memperhatikan ke arah itu. "Kita salat dulu aja," katanya lalu menggandengku menuju tempat salat yang sudah kami persiapkan sejak kemarin. Pukul 06.00 tepat kami turun menuju restoran untuk sarapan. Pak Putu sangat tepat waktu dan sudah berada di resto menunggu kami. Sambil menunggu pesanan kami, aku memainkan gawai dan mencari nomor Mang Ude. "Siapa yang WA?" tanya Indra. "Oh, mau telpon Mang Ude. Tadi pagi kak Yusuf ngingetin. Takut aku lupa." Indra hanya mengangguk sambil memperhatikan sekitar. Suasana masih lenggang dan membuat kami lebih nyaman saat sarapan. Bunyi nada sambung membuatku lega karena nomor ini masih aktif. Tak lama kemudian suara gemerisik di seberang membuatku mulai mempersiapkan diri menyapa pamanku tersebut. "Assalamualaikum." "...." "Iya, Mang. Nisa udah di Bali, sampai kemarin. Mamang gimana kabarnya? sehat, kan?" "...." "Iya nggak apa-apa. Oke. Nanti kabarin aja, Mang. Jadi kita bisa ketemu." "...." "Wa alaikum salam." Mang Ude bekerja di Bali sudah hampir 10 tahun. Beliau mempunyai istri yang merupakan warga asli Bali. Mereka sudah memiliki satu anak laki-laki yang umurnya 7 tahun. Hari ini kami akan pergi ke beberapa objek wisata terkenal di Bali. Beberapa kali saat ada di Tanah Lot dan beberapa tempat wisata lain, aku merasa ada yang mengikuti kami. Tapi saat aku menoleh dan mencari keberadaan nya, tidak ada satupun orang yang mencurigakan. Selama dalam perjalanan pun aku masih saja mendengar iringan tarian kecak. Anehnya itu kudengar hanya saat kami berada di perjalanan naik mobil saja. Selebihnya tidak kudengar lagi. Setelah sore hari, kami ada di daerah Bedugul. Mang Ude akan menemui kami di sana. Pemandangan di Bedugul ini memang menyejukkan mata dan tubuh. Karena berada di dataran tinggi. Dari kejauhan samar-samar aku melihat seseorang melambaikan tangan. Walau sudah lama aku tidak bertemu Mang Ude, tapi aku yakin kalau dia adalah pamanku. "Nisa ... Wah, akhirnya ketemu juga. Mamang udah muter-muter tadi. Eh, malah di sini. Mamang pangling. Kamu sekarang pakai jilbab sih.," kata Mang Ude lalu menjabat tanganku. "Mamang nggak ngabarin sih. Nisa nggak tau. Oh iya, ini Indra. Suaminya Nisa," kataku, memperkenalkan pria yang berada di samping. Indra dan Mang Ude bersalaman, saling memperkenalkan diri. Lalu duduk di sebuah kursi kayu tak jauh dari danau. Dalam obrolan kami, Mang Ude beberapa kali menatapku aneh. Seperti ada sesuatu yang ingin di sampaikan. Tapi dia terlihat ragu. "Mamang kenapa? Ada yang aneh sama aku, kah?" tanyaku sambil merapikan pakaian dan jilbab yang kukenakan. "Eum, nggak apa-apa." "Ada apa, Mang?" tanyaku sedikit memaksa. Karena aku yakin ada sesuatu dibenaknya tentang ku. "Eum ... Besok kalian ke rumah Mamang, ya,"katanya. "Besok? Gimana, Ndra?" "Boleh. Lagi pula kita, kan, pulangnya malem, Nis," kata Indra. "Beneran loh. Mamang tunggu. Ada yang ingin Mamang bicarakan sama kalian." "Iya, Mang. Siap." Aku pun tidak ingin memaksakan mendengar penjelasannya sekarang juga. Mungkin alangkah lebih baiknya, aku datang ke rumahnya esok. Dalam perjalanan pulang, entah mengapa hujan deras sekali. Petir menyambar, padahal sejak tadi cuaca cerah. Langit mendadak gelap. Beruntung kami sampai hotel dengan selamat. Setelah Pak Putu pulang, kami naik ke kamar kami. Perasaanku makin tidak enak. Aku merasa ada yg mengikuti kami. Saat berjalan di koridor lantai dua, suasana sangat sepi. Ini tidak seperti biasanya. Hawa di sini juga panas. Aku menggenggam tangan Indra. "Kenapa?" tanya Indra bingung melihatku. "Perasaanku nggak enak," kataku sambil tengak tengok. Kami makin mempercepat langkah, begitu hampir sampai di kamar kami, di ujung koridor lantai dua ada sosok menyeramkan berdiri di sana. Sebuah kepala dengan organ tubuh yang menggantung tanpa daging dan kulit. Taring dan lidahnya panjang sekali. "Ya Allah!" pekikku sambil memegang erat Indra. Indra ikut melihat ke arah yg kulihat, dia sama terkejutnya. "Astagfirulloh." cepat-cepat dia membuka pintu kamar hotel kami. Indra menarikku masuk ke dalam, lalu mengunci pintu. "Itu tadi apa ya?" tanyaku panik. Aku belum pernah melihat sosok seperti itu sebelumnya. "Leak!" "Apa? Leak?" Walau ini pertama kalinya aku melihat Leak, tapi aku tau jenis setan macam apa dia. "Terus gimana dong, Ndra, " kataku panik. Indra diam beberapa saat, seperti terlihat berfikir. "Telpon Mang Ude, Nis!" Aku lalu mengambil ponsel, dan menghubungi Mang Ude. "Assalamaualaikum, Mang. Hmm..." "Wa alaikum salam. Gimana? Ada apa?" "Ada... Ada Leak, Mang. Gimana, ya. Nisa bingung," kataku masih panik. "Apa? Oke. Mamang ke sana sekarang. Kunci semua pintu, jendela, dan jangan biarkan dia masuk!" Ponsel mati. Indra mondar mandir di depan pintu, telihat cemas sekali. Kudekati dia, dan kugenggam tangannya erat. Indra memandangku. "Kita nunggu Mang Ude sambil duduk aja ya, Ndra, yuk," ajakku lalu menggandengnya ke ranjang. Tidak seperti biasanya Indra seperti ini. Krrrriiiittt... Kami mendengar seperti ada orang menggaruk pintu. Aku makin mengeratkan pelukanku ke Indra, yang masih duduk di atas ranjang. Brrraaakkk!! Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kasar. Leak itu sudah ada di depan pintu dan perlahan masuk dengan melayang. Seketika seluruh wujudnya yang menyeramkan makin terlihat jelas. Indra menutupiku dari Leak. Kudengar dia melantunkan ayat-ayat suci Alquran dengan lirih. Tapi leak itu terus saja maju. Kurasakan badan Indra bergetar. Aneh, kenapa leak itu tidak hilang saat aku menyentuh Indra? Aku makin ketakutan. Indra terhempas jauh dariku, menghantam lemari kaca dan hancur seketika. Dia mengerang kesakitan. Leak itu makin mendekatiku. Aku melemparnya dengan bantal, guling, apa pun yang dapat kuraih. Saat leak itu meraihku, dia seperti hendak menarikku meninggalkan tempat ini. Kupikir, dia akan langsung melukai sama seperti Indra tadi. Aneh. Aku dibawa hampir melewati daun pintu kamar hotel. "Indra!" teriakku histeris. Kulihat Indra berusaha bangkit dan berjalan sempoyongan ke arahku. Aku terus meronta minta dilepaskan. Untungnya pergerakan makhluk ini terkesan lambat. Sehingga Indra bisa menyusul kami. Indra meremas jantung Leak itu, tangannya penuh darah. Tapi Leak itu berhasil melemparnya menghantam tembok. Kudengar Indra mengerang, dia masih berusaha bangkit menolongku. Tak terasa bulir-bulir air mataku jatuh. Karena tidak tega melihat Indra terluka seperti itu. Aku juga takut dengan sosok di dekatku ini. Sleeebbhhh!! Seketika aku menengok ke arah suara itu. Aku lihat dari atas kepala leak itu tertancap sebuah pedang yang panjang menembus ke kerongkongannya. Dia melepaskanku. Aku beringsut mundur menjauhi leak. Ternyata mang Ude yang datang. "Kalian gak papa?" tanyanya melihat kami. Aku mengangguk. Leak itu pergi. Entah dia mati atau tidak, aku tidak perduli. Aku mendekat ke Indra. "Kamu gak papa? Mana yang sakit?"tanyaku sambil melihat sekujur badannya. "Aku gak papa," katanya dengan nafas tersengal. Mang Ude mendekati kami. "Malam ini kalian nginap di rumah mamang aja." Segera kubereskan barang-barang kami dan chek out dari hotel dan menginap di rumah Mang Ude. ====== Kami sampai di rumah Mang Ude ysng bergaya khas Bali. Kabar tinggi mengelilingi lingkungan rumahnya, setelah gerbang utama dibuka, akan ada beberapa saung di dalam. Kami disambut istri mang Ude, Bibi Kadek dan sepupuku Wayan. "Lho? Kenapa ini, Mas?"tanya Bibi Kadek. Indra dipapah mang Ude lalu didudukan di sofa ruang tengah. Wayan menatapku dingin sedari aku masuk tadi. "Hai, Wayan. Lama ya nggak ketemu," kataku lalu menjabat tangannya, berusaha mencairkan suasana tegang yang kami alami tadi. Dia tersentak kaget lalu menatap telapak tanganku lekat-lekat. Mang Ude juga menatap anaknya yang bertingkah aneh. "Ada apa, Wayan?" "Guratan. Ada guratan merah di tangan kak Nisa," kata Wayang serius. Aku menatap telapak tanganku sendiri. "Guratan merah apa, Wayan? Nggak ada gini kok," kataku, sambil menunjukan telapak tangan ke yang lain. "Ya Allah. Nisa ...," sahut Bibi Kadek cemas. "Kenapa sih? Guratan merah itu apa? Mana? Nggak ada!" tanyaku penasaran. "Itu tanda, Nis. Bahwa kamu dicintai Leak, dan memang guratan itu tidak akan terlihat jelas. Hanya orang tertentu saja yang bisa melihatnya," jelas Mang Ude. Aku? dicintai Leak? Kok bisa? Indra ikut melihat telapak tanganku, dia juga tidak melihat adanya guratan merah apa pun. "Terus gimana? Kok bisa ada guratan merah?" tanya Indra. "Entahlah, mamang juga ga tau. Pantas saja, awal mamang ketemu kalian, ada yang aneh sama Nisa. Cuma mamang belum tau itu apa." "Wayan, bantu kak Nisa,"sahut Bi Kadek serius. Wayan mengangguk. Malam itu juga, aku menjalani ritual untuk menghilangkan tanda merah itu. Jadi ini alasannya, kenapa leak itu tidak menyakitiku? Dia juga hendak membawaku pergi tadi. "Mang, Leak tadi gimana?" tanya Indra. "Mamang harap sih dia nggak bisa bertahan oleh hujaman pedang mamang tadi." "Memang leak bisa mati?"tanyaku "Menurut kepercayaan masyarakat Bali, leak itu penyihir jahat. Kalau siang dia manusia biasa, tapi kalau malam, ya kayak tadi bentuknya, dan bisa mati kalo ditusuk seperti tadi. Cuma harusnya sih dari bawah ke atas. Entah kalau terbalik bagaimana. Hehe." Mang Ude malah bercanda. Padahal kami hampir terkena serangan jantung tadi. Setelah beberapa saat, Wayan dan mang Ude mencoba menghilangkan tanda merah yang ada padaku. Wayan ini sama seperti ayahnya, tapi menurutku kemampuannya lebih hebat, instingnya lebih tajam dari ayahnya. Akhirnya tanda merah itu hilang, itupun kata Wayan, karena hanya dia yang bisa melihatnya. ======= Malam semakin larut, Bi Kadek menunjukkan kamar untukku dan Indra. Indra duduk di ranjang setelah berganti pakaian. Dia masih meraba beberapa bagian tubuhnya yang sakit. Aku mengelus punggungnya sambil terus menatapnya, sendu. "Sakit, ya?" tanyaku dengan suara parau. Melihatnya seperti tadi mang membuatku sakit dan sedih. "Udah nggak begitu kok, Sayang. Udah mendingan," katanya. Aku peluk dia, sambil terisak. Dia membelai kepalaku lembut. "Hei, kok nangis. Aku gak papa kok,"katanya berbisik. "Maaf, ya. Gara-gara aku, kamu jadi gini." "Sstt. Kamu gak salah. Udah kewajiban ku jagain kamu, Nis. Aku suami kamu. Susah senang kita hadapi bersama." Lalu Indra mengecup pucuk kepalaku. "Sekarang bobok, ya. Istirahat,"katanya sambil melepaskan pelukannya lalu menatap mataku dalam. Dia menghapus air mataku yg membasahi pipi. "Kita pulang besok aja, ya. Aku pingin cepat pulang. Nggak mau di sini lagi," rengekku. "Beneran? Masih ada waktu jalan-jalan lho. Kamu nggak ingin jalan-jalan lagi?" "Nggak. Nggak mau. Aku pingin pulang." "Ya udah, besok kita pulang pagi, ya." Setelah melewati hari dan malam yg panjang, kami tidur. Aku benar-benar takut. Makhluk itu muncul lagi dan mencelakai Indra. Aku tidak mau melihatnya terluka lagi karenaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD