Part 3 Pulang

1043 Words
Setelah salat subuh, kami diajak sarapan oleh Mang Ude. "Kalian jadi balik hari ini?" tanya beliau disela sela sarapan. "Jadi, Mang. Nih Nisa ngotot balik sekarang," sahut Indra. "Makasih ya, Mang, Bibi sama Wayan. Maaf juga ya, kami merepotkan," ucapku sungkan. "Apanya yang repot. Kamu kan keponakan kami. Kita malah senang ada saudara datang," kata Bibi Kadek. "Kak Nisa, kapan-kapan main sini lagi ya."  Wayan tersenyum sambil makan dengan menunjukkan wajah polosnya. "In'sya Allah." Hanya itu yang sanggup kukatakan, karena aku masih trauma dengan kejadian semalam. "Tenang aja, Kak. Leak itu nggak akan ganggu kak Nisa lagi kok,"kata Wayan seolah tau apa yang kupikirkan. Rumah Mang Ude sungguh nyaman, bergaya rumah adat khas Bali. Sebenarnya aku ingin berlama lama di sini, hanya saja aku masih takut. Lagipula masa cuti ku dan Indra sebentar lagi habis. Kami akan menjalani rutinitas kami seperti biasa. Pukul 10.00 kami diantar keluarga Mang Ude ke bandara. Setelah pamit, aku dan Indra segera masuk ke pesawat yang akan membawa kami pulang. Selamat tinggal Bali. Semoga suatu hari nanti aku bisa kembali ke sana tanpa adanya teror tentunya.                                 ____ Selama di pesawat aku selalu bergelayut manja di lengan indra. Maklum pengantin baru. Jika berada di sisi pria ini, sisi manja ku pasti langsung keluar dengan sendirinya. Kami memang tidak memberi kabar akan pulang awal. Keluarga di rumah hanya tau kalau kami akan pulang sesuai jadwal. Setelah turun dari pesawat, kami mencari taksi lalu pulang ke rumah. Tak banyak yang kami berdua bicarakan selama di dalam taksi. Indra juga sibuk membalas pesan dari kantor. Kami sampai di rumah, Kak Yusuf di depan rumah bersama Kak Rahma. Saat kami keluar dari taksi, mereka berdua menatap heran ke arah kami. "Assalamualaikum," sapa ku. Indra menurunkan barang kami sementara aku memeluk kedua kakakku itu "Waalaikum salam. Lho, kok udah balik. Kakak pikir kalian pulang malam?" tanya Kak Yusuf masih menunjukkan ekspresi terkejut dan bingung. "Nggak lagi-lagi aku ke Bali, Kak. Trauma aku!" ucapku lalu duduk di kursi teras. "Lho kenapa?" tanya Kak Rahma, lalu mendekati dan duduk di sampingku. "Kita kemaren diteror kak," ucap Indra sambil membawa koper, lalu meletakkannya di depan pintu. "Hah? Diteror siapa?" "Leak!!" kataku dan Indra bersamaan. "Hah? Terus? Ya ampun kok bisa?" Nada bicara kak Yusuf naik satu oktaf. Kami menceritakan apa yg kami alami kemarin, dari awal hingga akhir. "Pantas saja, perasaan kakak gak enak pas tau kalian mau ke sana," sahut kak Yusuf yang akhirnya membuka rasa penasaran atas sikapnya tempo hari. "Ya udah deh, Nisa ke kamar ya. Capek. Oh iya, oleh-olehnya dikoper nih, tapi aku nggak beli banyak," kataku sambil mengambil beberapa makanan dan acesoris dalam koper yg kemarin ku beli. Setelah itu, aku masuk kamar. Indra msh ngobrol dengan kak Yusuf di teras. Aku merebahkan tubuh di ranjang. Kembali ke rumah adalah hal paling menyenangkan. Sebentar saja, aku terlelap dalam tidur. ======== Kurasakan belaian lembut seseorang di kepala. Aku mengerjap lalu menatap seorang pria yang berada di sisiku sekarang. Dia tersenyum dengan terus menatapku. "Udah, bobok nya? Salat dulu yuk. Udah maghrib," katanya tanpa melepaskan belaiannya. Aku hanya tersenyum lalu memeluknya erat dengan posisi tidur miring. "Mandi sana. Bau asem tau," katanya meledekku. Ku majukan bibirku lebih panjang dari biasanya. indra malah memencet hidungku sambil tertawa dan ciuman cepat mendarat di sana. Makan malam sudah siap. Kami semua berkumpul di ruang makan dengan hidangan lezat di meja. Kak Yusuf dan Kak Rahma menginap, jadi situasi rumah makin ramai. "Kalian udah mulai kerja besok?" tanya Papa. "Iya, Pah. Ini aja, Indra udah di teleponin terus sama atasan. Ada kasus." "Yang penting hati-hati. Jaga diri kamu. Apalagi pekerjaan kamu itu selalu dalam bahaya, " pinta Papa. Indra seorang intel kepolisian, jadi tugasnya bisa kapan saja dan di mana saja. Bahkan kadang dia tidak memakai seragam seperti polisi pada umumnya. Menyamar adalah salah satu cara Indra melakukan pekerjaannya untuk mendekati sasaran. "Kamu juga mau ngantor besok, Nis?"tanya kak Adam. "Iyalah kak. Lagian Indra udah kerja. Ngapain aku di rumah coba??" "Sayang ...," panggil Indra pelan. Dia sangat paham kalau aku masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Indra ini kadang sibuk sekali. Jika sedang bertugas, biasanya dia sampai berhari hari tidak pulang. "Iya sayang, aku nggak apa-apa," sahutku mencoba mengukir senyum, walau dengan mata kesal. Mereka tersenyum melihat kami. Kak Rahma sedang mengandung. Masih trimester pertama. Kami lantas bercengkrama di ruang tengah sambil melihat polah tingkah Aim yang akan berusia dua tahun. Aku bersandar di lengan kak Rahma, sambil mengelus perut kak Rahma yang belum begitu besar. Terasa denyut jantung janin dikandungannya. biasanya di kehamilan empat bulan, Allah sudah meniup kan ruh di tiap calon bayi. "Kak Rahma pengennya anak perempuan atau laki-laki?"tanyaku. "Apa aja, yang penting sehat," kata kak Rahma sambil ikut mengelus perutnya sendiri. Ponselku berdering dan terpampang nama Mia di sana. "Assalamualaikum. Kenapa, Mi?" "Waalaikum salam. kamu udah pulang belum?" "Udh, kenapa?" tanyaku heran. Dari cara bicara dan suara Mia dia seperti panik. "Anjar...," katanya terbata bata. "Anjar? kenapa?"tanyaku sambil membetulkan posisi duduk. "Dia koma,"kata Mia pelan. "Hah? Koma? kok bisa?dia kecelakaan?" tanyaku. "Enggak. Tadi pagi aku ke rumahnya kan, kita janjian mau jalan bareng, Terus kata mamahnya, Anjar belum bangun dari pagi, pas kita cek. Dia udah begini. Dia belum sadar sampai sekarang, aneh, Nis," kata mia sambil terisak. "Kata dokter apa?"tanyaku. Indra lantas duduk di sampingku dan menatapku heran. Indra menaikkan satu alisnya menatapku, aku jawab 'mia'. Ia pun mengangguk paham. "Dokter bilang, gak ada masalah apa apa, semua normal,"katanya. "Oh, terus kenapa kamu telepon aku?" Tanyaku sambil menyambar kue di meja. "Kamu bisa liatin ga? keadaannya Anjar. kasian, Nis," katanya memelas. "Kenapa aku? Memangnya aku dokter?" "Ayolah, Nis. Besok ya. Kita lihat keadaannya. Oke? ya udah, sampai ketemu besok,"katanya langsung menutup telepon. "Kapan aku bilang oke?" gumamku sambil menatap layar telepon. "Kenapa?" tanya Indra. "Ini si Miaa.. Dia ngabarin kalau Anjar koma,"kataku pelan, agak ragu membahas Anjar di depan Indra. Dia diam sesaat. "Kamu mau jenguk kapan?" tanyanya datar. "Enggak tau. Males,"kataku sambil melingkarkan tanganku ke pinggang Indra. "Besok malem aja sama aku, kita tengok. Gimana?" "Eh, serius?" "Ya iya. Memangnya kenapa?" Aku tersenyum menanggapinya. "Yuk bobok," ajak Indra lalu menarik tanganku ke kamar. "Eheem... manten anyar bobok gasik," ledek kak Rahma. Aku hanya melemparkan senyum ke arahnya sambil mengedipkan sebelah mata. Dia terkekeh sambil geleng geleng kepala. ==========
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD