4. Makan bersama

1556 Words
Deema berlari dari ruangan Aiden sebab ia malu karena hidungnya mengeluarkan darah. Deema merasakan pusing yang sangat kuat di kepalanya, sehingga ia tidak sanggup lagi untuk berlari dan memilih untuk duduk dipinggir jalan.  Ia belum meminum air mineral sejak pagi, apalagi untuk makan makanan berat. Deema mengusap darahnya yang terus mengalir menggunakan kertas yang ia sobek dari bukunya. Ia tidak memiliki tissue ataupun kain yang bisa ia gunakan untuk mengusap darahnya saat ini.  "Huftt ... Kenapa pusing banget ...." Deema memejamkan matanya, mencoba untuk menetralkan rasa sakit kepala yang sedang ia rasakan. Napasnya memburu, telinganya sudah sedikit berdengung. Deema membuka matanya, melihat jalanan di sini untung sepi karena ini sudah sore hari.  Deema mendekatkan tubuhnya ke pohon yang berada dekat dengannya. "Ya ampun ... Gue harus gimana ...." "Kamu baik-baik saja?" Aiden berjongkok di hadapan Deema sambil memberikan Deema beberapa tissue yang sudah berada di tangan Aiden.  Deema membuka matanya dengan lemah, ia baru tersadar di sini ada Aiden dan mobilnya. Mengapa disaat-saat seperti ini, dirinya harus bertemu dengan Aiden.  "Ayo saya bantu." Aiden mengulurkan tangannya untuk membantu Deema bangun dari duduknya.  "A--apa, Pak? Saya gak butuh," kata Deema yang memilih untuk berusaha bangun sendiri dan mencoba berjalan.  Darah di hidungnya belum juga berhenti mengalir. "Deema ... Hey ...." Deema yang tidak sanggup lagi berjalan, tubuhnya limbung ke belakang, untung saja Aiden dengan sigap menahan tubuh Deema. Aiden bisa merasakan wangi pewangi pakaian dari seragam Deema. Bukan parfum mahal ataupun sebagainya.  "Ayo, ikut masuk ke mobil saya. Saya antar kamu," ucap Aiden yang membantu Deema berjalan menuju mobilnya.  Selesai menempatkan Deema di tempat duduk yang benar dan merasa nyaman. Ia pun masuk kedalam mobilnya. Sebelum mulai melajukan mobilnya, Aiden melihat kearah Deema. Wajah Deema sudah pucat pasi, hidungnya masih sedikit mengeluarkan darah. Aiden bisa melihat jika bibir Deema sangat kering, begitupun dengan kulitnya. Deema seperti seseorang yang tidak terurus.  Aiden mengambil botol minum yang berada di jok belakang, ia pun memberikannya kepada Deema. "Di minum dulu," kata Aiden.  Dengan tangan gemetar, Deema mencoba menerima botol yang diberikan oleh Aiden. Aiden merasa Deema yang tidak sanggup menerima minum itu, ia pun membantu Deema. "Maaf saya lancang ..." ucap Aiden kepada Deema.  Napas Deema masih memburu, ia tidak ingin melihat wajah Aiden kali ini, karena membuat dirinya gagal fokus. Lebih baik ia memejamkan matanya.  "Di pakai sabuk pengamannya," kata Aiden. Namun Aiden tidak mendengar jawaban dari Deema. Dengan memberanikan diri, Aiden mendekatkan tubuhnya untuk bisa mengambil sabuk pengaman yang berada di sisi kiri Deema.  Setelah semuanya dirasa baik-baik saja, Aiden pun menyalakan mobilnya dan mulai melajukan mobilnya untuk mengantarkan murid barunya itu pulang.  Sungguh hari yang sangat aneh. Di hari pertamanya ia mengajar, sudah mendapatkan hal seperti ini.  Langit sudah sangat-sangat gelap karena jam sudah menunjukkan pukul 17:25 ditambah awan mendung yang mengisi langit kali ini.  "Rumah kamu dimana?" Tanya Aiden, tapi Deema tidak menjawab matanya masih terpejam.  Untung saja mereka belum memasuki jalan raya, jadi Aiden bisa menunggu jawaban dari Deema.  Tak lama, gerimis muncul dan hujan besar pun mengguyur kota mereka. Seketika, ketika Deema mendengar suara hujan, matanya terbuka dengan perlahan, matanya menatap lurus kearah kaca mobil yang sedang di basahi oleh hujan. Telinganya fokus mendengar suara hujan walaupun samar-samar karena ia sedang berada di dalam mobil kali ini.  Alam dan langit kini berpihak kepadanya setelah ia sangat menderita hari ini. Deema merasakan perutnya yang sangat-sangat sakit, mungkin karena menahan lapar sudah lama.  "Rumah kamu dimana?" Tanya Aiden kembali.  "Lurus saja, Pak," kata Deema yang menjawab.  Aiden pun mengangguk dan memilih fokus untuk menyetir mobil. Aiden tidak bisa melihat ada perumahan di sini, ataupun rumah-rumah warga. Dimana sebenarnya rumah Deema? "Di daerah sini?" Aiden bisa melihat jika Deema mengangguk. Akhirnya kesepian menyelimuti mereka. Dan tanpa disadari mereka mendengar suara perut Deema yang sangat kencang dan panjang. Seperti belum di isi sejak lima hari lalu. Dengan cepat Deema memegang perutnya untuk menutupi suara perutnya itu. Namanya tubuh sendiri yang membuat, Deema tidak bisa menutupi itu semua.  Aiden dengan jelas mendengar suara perut Deema itu. "Kamu belum makan?" Tanya Aiden.  "Sudah, Pak," jawab Deema seadanya. Mengapa Aiden so mengenal dirinya? Padahal mereka baru saja bertemu hari ini, apalagi Deema baru saja di hukum olehnya.  "Jujur dengan saya," kata Aiden yang membuat jantung Deema sedikit berdebar.  "Kita belum kenal lebih jauh, Pak." "Haha ... Saya hanya kasihan dengan kamu, karena tadi kamu sepertinya sudah mau pingsan. Kamu murid yang saya ajarkan iyakan?" "Bapak gak perlu ngelakuin hal kaya gitu, biar saya mati aja di sana tadi," kata Deema dengan dingin.  Deema bisa melihat jika Aiden membawa mobilnya untuk pergi ke jalan raya, bukan menuju rumahnya. Aiden mau membawa dirinya kemana? "Kalau kamu mati, orang pertama yang di intograsi itu saya. Saya gak mau." "Iya, terserah Bapak," kata Deema yang lebih memilih mendengar air hujan yang sangat menenangkan ini, dari pada harus mendengarkan suara Aiden yang menggangu telinganya.  Memperhatikan barang bawaan yang Deema bawa, Aiden merasa jika Deema ini adalah orang tidak punya. Tapi mengapa gaya bicara Deema sangatlah sombong. Besok, ia harus mencari tahu tentang Deema kepada wali kelasnya.  Aiden menghentikan mobilnya di rumah makan yang terlihat mewah. Ia pun mematikan mesin mobilnya. "Turun," kata Aiden.  Deema sadar jika Aiden membawanya menuju rumah makan. Ia pun enggan turun, karena ia rasa Deema dan Aiden tidak sedekat itu. "Enggak, Pak." "Mau saya bawa mobil ini kedalam sana? Atau kamu, saya gendong ke sana?" Deema membelalakkan matanya karena mendengar tawaran Aiden. "P--pak, yakali memangnya saya apa?" "Yasudah, cepat turun." "T--tapi seragam saya," kata Deema karena melihat ada bercak darah di seragamnya.  Aiden mengambil jaket berwarna cokelat di belakang mobilnya dan memberikannya kepada Deema. "Pakai." Aiden pun dengan cepat turun dari mobil untuk mengambil payung di bagasi belakang mobilnya. Ia pun berjalan kesisi mobilnya untuk memayungi Deema.  Deema bisa melihat jika Aiden sedang menunggunya di luar sambil menggunakan payung. Sungguh, ini pertama kalinya ia dengan laki-laki seperti ini. Dengan Avyan pun, Deema tidak pernah berjalan-jalan, apalagi dengan laki-laki lain.  Aiden membantu Deema untuk membukakan pintu mobil. Mereka pun berjalan menggunakan satu payung yang Aiden punya. Sedekat ini dengan Aiden, membuat Deema bisa mencium parfum mahal Aiden yang sangat wangi itu.  Deema membuka tangannya untuk bisa merasakan tetes hujan. Ia pun tersenyum dengan senang. Hujan sangat menenangkan hatinya.  "Masuk angin nanti main hujan," ingat Aiden seperti seorang ayah.  Deema melirik kearah Aiden dengan sinis. "Bokap saya juga gak peduli mau saya sakit, mati atau pun," balasnya.  "Kamu sekolah buat diajarin gimana cara bersikap." Deema memutar bola matanya malas, mengapa dirinya harus berurusan dengan Aiden seperti ini. Padahal ia sangat anti berdekatan dengan guru yang ada di sekolahnya. Mungkin Aiden belum tau bagaimana kelakuannya di sekolah.  Aiden memesan dua kursi yang berada di ujung tempat ini. "Kamu duduk di ujung sana," tunjuk Aiden.  "Ih, kok di situ, kenapa gak di deket jendela aja?" Kata Deema yang ingin melihat hujan.  "Mau di samping jendela?" Tanya Aiden. Deema pun mengangguk. "Yasudah kamu kesana," katanya.  "Bu, nanti diantar ke kursi lima belas di dekat jendela. Terimakasih," kata Aiden lalu menyusul dimana Deema berada.  Aiden membuka ponselnya untuk mengetikkan sesuatu kepada sang Bunda jika ia pulang telat kali ini ke rumah karena ada urusan mendadak. Padahal, ia ingin menemani Deema untuk makan.  Deema bisa melihat jika Aiden ini adalah orang punya. Ia sedikit iri dengan Aiden yang sudah memiliki mobil, pekerjaan yang bagus dan handphone yang bagus. Apalah daya dirinya yang tidak memiliki apa-apa.  Aiden merasa dirinya tengah diperhatikan, ia pun melirik kearah Deema, sambil mengangkat alisnya. Deema yang kepergok memperhatikan Aiden, dengan cepat ia pun mengalihkan perhatiannya untuk memilih melihat hujan yang turun.  "Berapa hari kamu gak makan?" Tanya Aiden.  Deema kini melihat kearah Aiden. "Tiga atau empat hari, mungkin," kata Deema yang tidak mengutung hari-hari ia tidak makan.  "Kenapa? Kamu gak punya makanan di rumah?" Deema menggeleng. "Bukan urursan Bapak. Saya pun gak minta buat Bapak peduli sama saya." "Bukan maksud saya seperti itu. Gak baik buat anak sekolah seusia kamu menunda-nunda yang namanya makan." Tak lama, pesanan Aiden pun datang. Banyak sekali pesanan yang Aiden pesan. Mereka memang sedang berada di rumah makan, menu yang ada lebih ke menu rumahan. Dan Aiden suka menu-menu seperti ini.  "Makan yang banyak gak perlu gengsi di depan saya," kata Aiden sambil mengambilkan Deema nasi, dan memberikan piring yang sudah terisi banyak nasi itu ke hadapan Deema. "Baca doa sebelum makan. Cepet habiskan sudah itu kita sholat." Deema sangat takjub melihat wajah Aiden yang sepertinya sangat sabar dan perhatian. Deema tidak ingin berharap lebih jika seorang manusia sempurna seperti Aiden, suka kepadanya. Manusia dekil yang tidak memiliki apa-apa.  Tidak, tidak, jangan berpikiran seperti itu, Deema. Ini baru saja, ini baru hari pertama kamu bertemu dengan Aiden. Jangan sampai kalian salah paham satu sama lain.  "Di makan, bukan ngeliatin saya. Saya yang bayar makanannya." "Geer banget sih, Pak. Orang saya baca menu yang ada di belakang Bapak," kata Deema sedikit kesal karena terkejut dengan Aiden yang tiba-tiba berbicara.  "Ketik nomer kamu di sini," kata Aiden sambil memberikan ponselnya di hadapan Deema.  Deema yang tengah mengunyah makanannya itu pun cepat-cepat menelan. Bagaimana ia harus memberitahu kepada Aiden jika ia tidak memiliki ponsel? "Saya gak hafal nomernya," jawab Deema singkat.  "Cuma mau jadi jaminan aja kalau kamu macam-macam." Deema mengerutkan keningnya. "Macam-macam seperti apa, maksud Bapak?" "Seperti ... Kamu bolos atau kabur dari sekolah?" Deema menghembuskan napasnya. Sudahlah ... Hidupnya sudah berat, mengapa Aiden harus menambah beban hidupnya karena hal seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD