6. Pak guru ganteng

1759 Words
Aiden akhirnya membuka pintu ruangannya setelah sedikit perdebatan mereka. Sungguh drama yang sangat tidak penting. Deema pun masuk kedalam ruangan Aiden. Wangi parfum mahal Aiden mengisi ruangan ini. Dengan senang hati, Deema menghirup udara yang ada di sini. Entah mengapa ia sangat suka dengan aroma parfum dari Aiden. "Ukuran sepatu berapa?" Kata Aiden yang sedang berada di ujung ruangannya. "Ke saya, Pak?" Tanya Deema. "Bukan, ke bola basket," jawab Aiden dengan sedikit sewot. Deema menahan tawanya. Mengapa melihat Aiden seperti itu membuat dirinya gemas. Sepertinya umur Aiden tidak terlalu jauh dengannya. "Nomer sepatu saya, tiga sembilan, Pak." Aiden pun menghampiri Deema dengan membawa 2 pasang sepatu. Yang satu berwarna merah hitam dan biru putih. Lalu ia menyimpannya di hadapan Deema. "Coba pakai." Deema pun melihat dua pasang sepatu yang ada di hadapannya lalu ia melihat kearah Aiden yang tengah berdiri di hadapannya sambil melipat tangan di da-da. "Punya siapa ini, Pak?" "Pakai," jawab Aiden. "Kenapa saya harus pakai?" "Hari ini kamu belajar pelajaran sayakan?" Deema mengangguk. "Yauda cepet, udah mau bel." Kata Aiden yang sekarang mengambil catatan nilainya. Deema pun mencoba sepatu yang ada di hadapannya. Sepatu berwarna hitam dan merah itu terasa sangat besar di kakinya. Lalu ia berganti dengan sepatu berwarna putih dan biru, dan ternyata sepatu itu sangat pas di kakinya. Melihat sepatu berwarna seperti ini, ia terpikir dengan peraturan di sekolahnya yang tidak membolehkan siswa memakai sepatu selain berwarna hitam. "Memangnya saya boleh memakai sepatu seperti ini, Pak?" Aiden masih melihat kearah Deema. "Di wajarkan." Deema pun mengangguk dan berdiri. "Saya pergi ke kelas ya, Pak," kata Deema, Aiden pun mengangguk. Deema berjalan keluar ruangan Aiden dengan senyum yang sangat cerah. Ia berjalan menuju kelasnya yang cukup jauh dari ruangan Aiden. Tak sengaja di dalam perjalanan ia bertemu dengan Avyan yang sedang berjalan dengan beberapa orang, dan Deema pun bisa melihat jika Avyan tengah tertawa bersama perempuan tergatal di sekolahnya. "Hai, Deema," panggil Avyan. Deema tidak melirik sama sekali kearah Avyan. Ia terus berjalan tanpa memperdulikan panggilan itu. Deema sebenarnya tidak suka dengan Avyan. Begitupun sebaliknya, Deema rasa Avyan tidak menyukai dirinya. Jika ada waktu yang tepat, ingin sekali Deema memutuskan hubunganya dengan Avyan. Deema merasa ada seseorang yang berlari kearahnya. Itu adalah Avyan. Avyan menarik tangan Deema. "Berhenti." Deema menghentikan langkahnya lalu menatap Avyan dengan datar. "Apa?" "Ngapain Lo terus keluar masuk dari ruangan Aiden?" "Apa urusannya sama Lo?" Kini Deema memberanikan diri untuk menjawab. "Lo pacar Gua." "Serius? Gua," Deema menunjuk dirinya sendiri. "Gue? Gue? pacar Lo?" Avyan mengangguk dengan mantap. "Iya, Lo pacar Gue." Deema menatap Avyan dengan tatapan sangat datar. "Oke kalau gitu, Gua mau putus sama Lo." "Puas!" Deema berjalan sambil menabrak bahu Avyan. "Deema! Deema!" Deema tidak memperdulikan Avyan yang memanggil dirinya. Ia sudah tidak peduli tentang kisah percintaannya. Percuma, Deema tidak suka dengan Avyan. Dan Avyan pun tidak peduli dengannya. Ketika ingin masuk kedalam kelasnya. Ada Celline yang tengah mencatok rambutnya di dekat pintu. Karena di situlah satu-satunya saluran listrik yang tidak terpakai. "Hey, kemana aja Lo? Pagi-pagi muka udah di tekuk kek jemuran," kata Celline. Deema tersenyum kearah Celline dengan terpaksa. "Ada aja," katanya singkat lalu pergi menuju kursinya. "Lola, liat deh, noh si Deema kenapa? Murung banget kek gak dapet job. Hahaha ...." Aya tertawa bersama Lola. "Ngapa dah Lo?" Kini Lola bertanya. "Gue habis mutusin Avyan. Hebatkan?" Katanya yang langsung mengubah ekspresinya dengan senang. "Hah? Lo mutusin Avyan? Apa masalahnya?" Tanya Aya yang sedikit terkejut. "Entah. Pengen aja Gue mutusin dia." Aya dan Lola mengangguk paham. Mereka pun bisa melihat jika Avyan dan Deema memang tidak memiliki kedekatan layaknya seorang pasangan kekasih. "Ada apa? Ada apa?" Tanya Celline heboh. "Tuh, si Deema mutusin si Avyan." "Hah? Serius? Bagus dong, kemarin Gue liat dia boncengan sama cewek lain pake Mogenya." Deema mengangkat alisnya. "Liatkan? Gue gak salah buat ngambil tindakan." "Sebenarnya dari dulu juga Gue memang gak suka sama Avyan. Hanya terpaksa, cuma mau main-main. Hahaha ...." Celline, Aya dan Lola pun ikut tertawa. Suara bel masuk sudah berbunyi itu tandanya semua pelajaran akan segera di mulai. Ketua kelas sudah berteriak di depan, jika mereka harus segera menuju lapangan outdoor karena akan melaksanakan tes. "Yaelah, on time banget deh. Mager banget ya ampun," kata Aya yang berjalan dengan ogah-ogahan. "Iya, mana guru olahraga katanya di ganti. Semoga aja bukan si nenek-nenek itu lagi ngajar," ucap Celline. "Orang guru baru yang jegat Gue waktu itu. Guru olahraga kita sekarang," kata Deema santai yang mengundang perhatian mereka bertiga. "Hah? Serius." "Bapak Ganteng?" "Aaaaa ... Kalau gini mending pelajaran olahraga aja setiap hari." Celline, Aya dan Lola sudah sangat senang mendengar perkataan Deema yang mengatakan bahwa guru olahraga mereka akan di ganti dengan Aiden. Mereka pun berlarian menuju lapangan outdoor, terkecuali Deema yang memilih untuk berjalan. Ia tertawa melihat teman-teman yang tak lakunya itu berlarian karena mendengar ada laki-laki tampan. Apalagi itu adalah guru mereka sendiri, pasti mereka sangat bersemangat untuk olahraga. "Ya ampun ... Indah banget ciptaan tuhan ..." Gumam Aya yang melihat Aiden yang tengah menendang beberapa bola kedalam gawang. "Gue betah deh kalau olahraga gurunya kaya gini. Tiap hari Gue bakalan olahraga," kini Celline yang berbicara. "Aishhh ....mau deh Gue jadi bolanya," dan Lola pun berbicara. Deema menaruh tangannya di pinggang. Sungguh ia tidak paham dengan ketiga temannya yang sangat aneh ini. "Lo-lo pada ngapain diem di sini? Noh, si ketua kelas udah teriak-teriak suruh baris ...." "Woy! Baris dong! Capek nih Gue teriak-teriak!" Kesal ketua kelas bar-bar mereka. Deema bisa melihat jika Celline, Aya dan Lola berebut ingin baris di paling depan. Deema hanya bisa menghembuskan napasnya lelah. Ia pun memilih untuk diam dan baris di bagian paling belakang. Dan ia sudah tidak ingin berhubungan lagi dengan Aiden, setelah olahraga, ia akan mengembalikan sepatunya kepada Aiden dan sandalnya pun tertinggal di ruangan Aiden. "Gue di depan ah," kata Celline, yang berebut dengan Aya. Satu kelas yang berisi 29 orang itu harus terbagi kedalam dua kelompok. Posisi Deema semakin jauh ke belakang karena ia sendiri yang paling belakang. "Oke, sudah rapi semuanya?" Aiden memakai topinya karena di sini panas memang sangat menyengat. "Sudah, Pak," ucap si ketua kelas. "Oke, sebelumnya perkenalkan nama saya Aiden Syed." "Hai Bapak ganteng ..." "Hai Bapak Syed ...." "Hai, calon imam ...." "Imam Gue." "Dih, imam Lo imam mana dah?" "Hai calon suami." "Hai sayang ...." Deema menutup telinganya karena teman-teman sekelasnya sangatlah heboh. Padahal Aiden baru saja memperkenalkan namanya. Biasanya ia yang paling heboh di sini, tapi Deema memilih untuk diam. Aiden tersenyum mendengar panggilan-panggilan dari murid-muridnya. "Tidak perlu seperti itu. Panggil saja saya Aiden." "Saya guru baru olahraga kalian, menggantikan Bu Aini karena beliau pindah keluar kota." "Semoga suka ya, Pak. Ngajar kita. Apalagi suka aku." Dari belakang Deema bisa mendengar jika itu adalah suara Celline. "Bapak betah-betahnya ngajar disini." "Jangan killer ya, Pak." "Bapak, ganteng banget gak ada obat." "Pak, nomer w******p-nya jangan lupa di simpen di grup ya." "Aaaaaa ... Betah deh gue kalau gurunya kaya gini." "Woy! Brisik," kata Deema, dan semua orang bisa mendengar suara Deema. Termasuk Aiden. "Ih, apasi Deema gak asik banget," kesal Aya. "Iya nih, males deh sama Deema. Gak tau yang bening dikit apa." "Oke. Sudah-sudah ya ... Semuanya. Mohon perhatiannya." Seketika mereka pun langsung menutup mulutnya. "Hari ini ada tes ulangan harian, saya tidak memakai ulangan tulis. Saya lebih menekankan siswa untuk praktik." Deema memutar bola matanya malas, ingin rasanya ia kabur dari pelajaran ini, tapi ia tidak ingin ijazahnya tertahan karena nilai dalam mata pelajaran olahraganya kurang. "Untuk pemimpin pemanasan, saya pilih ... Orang yang paling belakang," kata Aiden yang menunjuk Deema. "Deem, pemanasan ke depan," kata Ketua kelas yang sedikit mendorong tubuh Deema untuk keluar dari barisan. "Lah, anjir kok jadi Gue." Deema hanya bisa menggaruk kepalanya sambil berjalan binggung ke depan untuk memimpin teman-temannya pemanasan. "Mana Gue gak bisa gerakan pemanasan lagi." Jika tidak banyak orang di sini, Deema sudah ingin mencakar wajah Aiden yang sangat tampan itu. "Gimana, Pak?" Tanya Deema yang tidak mengerti. Aiden menatap Deema dengan sangat teduh. "Pemanasan dari kepala sampai kaki, bisa?" Tanyanya dengan sangat lembut. "Ah, si Deema modus nih," kesal Aya. "Iya, masa gini-gini doang kagak bisa," kini Lola menggerak-gerakkan tubuhnya tidak jelas. Deema menyimpan jari telunjuknya di bibirnya. "Syuttt! Brisik. Bisa diem gak. Gue mau mulai nih." Deema memulai gerakan pemanasan seingat yang ada di kepalanya. Mulai dari menggerakan kepalanya kiri ke kanan, mengangguk-angguk, menggeleng-geleng, memutar tangan, dan masih banyak lainnya. Dan terakhir Deema mengajak teman-temannya untuk berlari mengelilingi lapangan sebanyak dua putaran. "Huh ... Hah ... Capek banget ...." Aya dan Celline sudah menyandarkan tubuhnya di dekat tembok karena merasakan tubuhnya sangatlah panas dan berkeringat. "Deema ... Haduh ... Kenapa capek-capek sih," kini Lola yang kesal. Demma yang tengah duduk sambil bersandar itu pun melirik kearah teman-temannya yang terus berbicara itu. "Makanya langsing kaya Gue, jadi kuat lari." Peluit sudah kembali di bunyikan. Itu tandanya mereka harus kembali berkumpul. Untuk perempuan akan melaksanakan permainan futsal, satu tim sebanyak 5 orang. "Deema, Lo yang lari, Gue yang kiper," kata Aya. Permainan di mulai dengan tim pertama yaitu Deema, Celline, Aya, Lola dan satu lagi teman kelas mereka. Melawan satu tim perempuan dari kelas mereka juga. Peluit di bunyikan, tanda permainan di mulai. Deema berlari sambil menendang bola dengan serius, Celline dan Lola ikut berlari sambil berteriak. Sesekali Deema pun ikut berteriak karena kesal, takut, terkejut dan sebagainya. Wajar saja, jika perempuan sedang bermain bola, mereka pasti berkerumun atau bergerombol. Aya yang menjaga gawang hanya melipat tangannya didada. Karena kedua tim itu tengah memperebutkan bola di ujung sana. Sesekali para penonton tertawa karena banyak sekali kejadian lucu yang terjadi di lapangan. Baru saja berlari selama 5 menit, Deema sudah merasakan jika anemianya terasa. Kepalanya sangat pusing kali ini, dan ia bisa merasakan jika keringatnya sudah bercucuran. Aiden yang melihat itu, menyuruh seorang laki-laki untuk membawa satu dus minuman di ruangannya. "Cepet ya," kata Aiden yang sedikit khawatir melihat wajah Deema yang pucat. Deema lebih kentara di sini dibanding teman-temannya yang lain, sebab Deema sepertinya sudah lelah. Aiden meniup peluitnya. "Rolling," katanya ia pun menyuruh Deema untuk keluar lapangan dan digantikan oleh murid lainnya. Deema berjalan sedikit sempoyongan dan bersandar di tembok yang sedikit kotor. Tak lama seseorang yang membawa dus minuman pun datang, Aiden dengan cepat mengambil minuman isotonik dan berlari kearah Deema. Tak lupa ia memberitahu muridnya untuk menggantikan dirinya menjadi wasit. "Deema, kamu baik-baik saja?" Tanya Aiden. "Nih di minum dulu, kamu kekurangan minum," lanjut Aiden. Karena merasakan haus yang sangat kuat. Ia pun mengambil botol minum yang diberikan oleh Aiden. Dan meneguknya dengan pelan. Harapannya ingin menghindar dari Aiden, tapi mengapa Aiden terus mendekati dirinya. Sungguh menjengkelkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD