tiga

1655 Words
Laki-laki tercipta jauh lebih kuat daripada perempuan secara fisik. Sorry, kali ini aku tidak percaya. Khusus di keadaan saat ini. Percaya atau tidak, dengan kecepatan (terkadang lebih) 80 km/jam, pegangan lelaki sombong di belakangku setara gempa 5 skala richter. Badanku seakan remuk redam. Sekeras apapun aku membentak dan memintanya menjauh, semakin erat pelukan tangannya. Sesering apapun tubuhku mengelak, segencar itu dia merapatkan kedua tangannya di pinggangku. Well, aku menyerah. Memilih fokus pada jalanan yang sudah hampir menggelap. Lampu-lampu kuning kemerahan mulai nyala di beberapa tiang. Kendaraan beroda dua maupun empat juga ikut memeriahkan jalanan dengan lampu terang. Ini semua salah dia. Salah lelaki yang sekarang tak hentinya bergumam di belakang kepalaku. Kalau saja dia tidak mengajakku ribut, sudah bisa dipastikan saat ini kami berada di backstage. Napasku berhembus kasar, setelah berhasil parkir sempurna di basement. Menelengkan kepala, aku melihat Al berjongkok sambil melepas helm. Sesekali dia bersin dan mengumpat pelan. "Gila lo ya. Nyetir kayak iblis." "Iblis nggak usah ngomongin iblis." Aku turun, melepas jaket dan memasukkan kembali ke dalam bagasi. Kemudian, tanganku merebut kasar helm darinya dan kugantungkan di spion kanan. Al sudah berdiri sempurna. Dia mendorong tubuhku menjauh dan mengatur posisi spion kiri. Aku mendengus keras-keras saat tahu apa yang dia lakukan selanjutnya adalah memperhatikan rambutnya yang lumayan kusut. Dengan jemari, ia menyisir sulur-sulur hitam itu. Tanpa menoleh, dia kembali berbicara, "Berapa menit lagi?" "Udah mulai." "Serius lo?!" Aku mengabaikannya dan memilih berjalan ke lift. Masuk begitu saja tanpa mengonfirmasi apakah dia ada bersamaku atau tidak. Ternyata, dengan tergopoh, dia ikut berdiri di sampingku, melepas jaket kulitnya. Percuma saja mau terburu-buru juga, hari ini, Bang Jovi pasti akan menghajarku. Untung saja, secepat kilat anak-anak mengubah konsep di segmen awal dengan menampilkan cuplikan-cuplikan film Al. "Sori." Aku meliriknya dari sudut mata, tanpa menoleh sedikit pun. Di dalam lift hanya ada lima orang, kami berdiri paling depan. Dan, aku memilih mengabaikannya. "Gue bilang sori, denger enggak?" "Nggak guna." "Yaudah. Seengaknya kan gue udah bilang. Sori karena telat bangun. Sori karena nggak bisa ngendarai motor. Sori, karena sekarang ... gue lupa rundown." Secepat kilat, aku menoleh dan memberinya tatapan nyalang. Dia bercanda? Sudah tidak ada lagi waktu untuk briefing sementara sampai di studio dia harus masuk segmen satu. "Tapi selow, matanya jangan melotot gitu. Gue punya ingatan fotografis kok. Secepat kilat nanti, gue bakalan inget lagi." "Kalau bodoh ya bodoh aja. Nggak usah banyak ngeles." "Nice shot!" Dia tertawa. Kami keluar dari lift, berjalan beriringan. "Tapi, gue juga masih nunggu permintaan maaf lo soal---" Dia berhenti ngoceh karena bersin.. "So---" Aku tidak bisa menahan lagi; terbahak karena dia sampai berjongkok, berkali-kali bersin. Namun, hanya bersin yang menghasilkan bunyi seperti suara bayi kucing. "Sial! Semua ini gara-gara lo." Padahal yang mengendarai tanpa helm adalah aku. "Manja banget. Nggak sesuai sama gaya. Naik motor gitu aja langsung demam." Ouch, sebetulnya aku agak kasihan. Lihat mukanya yang sudah merah. Hidungnya lebih parah lagi. Dia menggosok-gosok hidung itu dengan telapak tangan. "Gue punya freshcare, mau?" "Enggak. Panas. Makasih." "Maunya apa? Minyak telon?" Langkahnya terhenti. "Ada? Mana?" Aku melongo. Seriously, dia pakai minyak bayi itu? Padahal tadi, aku mengejek, bukan berniat menawari minyak telon. Aku menyangsikan kalau dia ini pria sungguhan. Seakan baru sadar, Al langsung melengos dan berjalan lebih dulu. Sampai di ruangan make up, kami disambut dengan teriakan bernada lega. Nayla berlari, memeluk tubuhku kencang dan berbisik, "Gue utang budi sama lo. Besok pagi gue bawain sarapan bubur. Oke?" "Gue sanggup beli bubur doang." Dia tertawa, kemudian mendekati Al. Sementara aku menghempaskan tubuh di samping dua cewek cantik. Dia ... ah, mungkinkah ini Chelsea dan Ivana? "Al, muka lo kenapa merah gitu? Lo sakit?" Al menggeleng. "Enggak. Nih tiba-tiba gue pilek nih. Kepala gue pusing banget." "Tapi lo masih kuat, kan? Buat sekadar jawab pertanyaan?" "Kuat kok. Langsung masuk nih?" "Lo udah briefing belum?" "Udahlah. Nanti baca instruksi di studio juga. Langsung nih?" Lelaki berambut tebal itu meletakkan jaketnya di sofa. Ck, bahkan dia tidak menyapa kami semua yang ada di sini. Sungguh idola yang sangat idaman. "Make up bentar, Al!" teriakan Nayla menarik perhatian semua yang ada di ruangan. Di ujung sana, lelaki bertubuh lumayan tinggi itu berbalik, tersenyum sombong. "Udah ganteng. Nggak perlu make up." Oh Tuhanku, bagaimana mungkin perfilman Indonesia dinodai oleh sosok lelaki macam itu? Kulirik dua gadis di samping, kemudian tersenyum lebar. "Ivana dan Chelsea, ya?" Rasanya aneh duduk bersebelahan tapi tidak saling sapa. "Udah briefing belum?" "Udah, Kak. Tadi sama Kak Amy dan Kak Asa. Itu tadi, Al telat atau gimana, Kak?" "Mmm, biasa." Aku meringis. "Agak belagu." "Tapi sesuai kok. Mukanya ganteng." Aku tertawa. "Jadi, kalian berdua salah dua fans-nya juga?" "Siapa sih, Kak, yang nggak nge-fans sama muka cool-nya Atha Alfarezi?" Oh, jadi itu nama lengkapnya. Dua hal yang kontradiksi kalau mengingat bagaimana tabiat lelaki sombong itu. "Kak Al tuh cool, kesannya ala badboy gitu. Tapi kalau udah senyum lebar, beuh, gila." "Badboy?" Enggak banget. Kalau benar dia sungguhan badboy, kasihan sekali para penggemarnya itu. "Enggak ada yang tahu sih. Cuma kalau lihat dari tampilannya aja. Dia kan susah diprediksi, nggak pernah ketangkap kamera jalan sama cewek kan." Dalam hati, aku melanjutkan, mungkin dia sedikit berbelok. *** Jam delapan, kami selesai membereskan studio dibantu OB. Para kru berburu meninggalkan studio agar lekas sampai di rumah masing-masing. Begitupun para bintang tamu dan host sudah terlihat bubar. Aku mengambil ransel dari loker dan kembali masuk ke ruangan backstage untuk mengambil jaketku di sofa. Di sana, masih tersisa Al dan Bang Jovi, sedang berbincang sambil sesekali Al tertawa. Kalau begitu kan terlihat manusianya. "Kay, belum pulang?" "Ini baru mau pulang, Bang. Abang ngapain?" "Lagi ngobrol sama Al. Katanya, lo kayak Rossi kalau bawa motor." Bang Jovi terkekeh. "Dia belum tahu aja, Kay, kalau lo salah satu sopir cadangan BC buat hal-hal mendadak." "Ouch, saya merasa terpuji." Mereka berdua kompak tertawa. "Gue duluan, Bang!" Sesampainya di pintu keluar, suara Bang Jovi menghentikan langkahku. "What?" "Lo ngekos di Kelapa Gading, kan?" Aku mengangguk malas. Sudah berapa tahun kami kerja bareng, masih saja dia tak hafal kosku. "Dari Kelapa Gading ke ... rumah lo mana, Al? Sunter ya?" "Sunter Permai." "Nah. Itu nggak jauh lho, Kay." "So?" "Sekalian anterin aja. Daripada lo sendiri kan." "NO!" Aku bungkam, sementara Bang Jovi memandangi kami bergantian karena jawaban dan nada yang kugunakan dan Al sama. Great, Kay.... Jangan lagi berhubungan dengan lelaki sombong itu. Please, katakan tidak lagi. "Nggak usah, Bang. Gue pesen Go-Car aja." Bagus. "Sekalian, Al. Nungguin Go-Car lama kan. Belum lagi dia nyari-nyari alamat. Kalau Kay kan udah hafal ke rumah lo." Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati semoga dia tidak menyetujui. Please, katakan tidak. Maka aku--- "Oke. Tapi lo janji bawanya pelan-pelan?" "Nggak usah nga---Bang, mau ke mana?" Aku memandang ngeri Bang Jovi yang sudah berdiri tegak dengan ransel hijau tuanya. "Lo balik sekarang?" "Iyalah. Bini gue ngamuk kalau gue nggak balik. Kalau rumah gue dekat Al, gue kok yang anterin, Kay. Kasihan dia lagi pilek gitu. Hati-hati ya!" Aku menunduk lesu. Tuhanku, kenapa harus begini nasib sejak bertemu si iblis sombong bernama ... siapa tadi? Alfa? Kepalaku seketika terangkat, saat mendapati telapak tangan di depan wajahku. Al sudah berdiri dengan tangan terulur. "Apaan?" "Freshcare. Mana?" Dia sungguh tak pernah belajar tata cara bersosialisasi yang baik kah? Aku merogoh ransel dan menyodorkannya kasar. "Berapa kali lipat panasnya dari minyak kayu putih?" "Gue nggak ngitung." Al mendengus. "Gue masih nunggu permintaan maaf lo." "Gue nggak merasa bersalah." "Serius?" Tubuhnya mendekat. Dengan tangannya yang bebas, dia menarik tanganku dan diletakannya di kening miliknya. "Coba, rasain. Panas enggak?" No! Aku menarik tanganku dengan cepat. Membuang wajah ke sembarang arah.  "Gue demam mendadak gara-gara gaya Rossi lo." "Nggak ada yang nyuruh lo telat." "f**k! Panas amat nih minyak!" Umpatannya membuatku menoleh dan dia sedang mengipasi leher dan wajahnya sambil ke sana kemari. "Anjir, lo ngerjain gue ya? Ini namanya api dalam kemasan." Aku tertawa kencang, tetapi seketika diam saat menyadari mukanya sungguh tersiksa. Peluh perlahan keluar dari jidatnya. Dan, Al masih berusaha mengipasi wajah sombong itu menggunakan tangan. Ouch, dia sungguhan. "Sebanyak apa sih lo ngolesinnya?" Aku ikut menyentuh wajahnya. Mengelap peluh menggunakan sapu tangan; satu-satunya bekal setelah make up di dalam ransel. "Ini tuh dikit aja panas, Bego." "Tadi gue tanya, lo nggak jawab." "Ya harusnya lo bisa ngira-ngira sendiri." "Ah, panas!" "Kita ke wastafel deh, dibasuh pakek air. Sekalian balik. Ayok!" Dia menurut, membiarkanku menarik pergelangan tangannya ke luar ruangan. Aku tersenyum pada Maya---salah satu offcie girl di malam hari---sambil tetap berjalan sedikit terburu. Sesampainya di wastafel, dengan cepat aku membasahi sapu tangan marunku lalu menempelkan pada lehernya. "Mana lagi yang panas?" "Sini." Dia nunjuk keningnya. "Terus?" "Sini." Dasar bodoh. Kenapa juga hampir semua bagian dia olesi? "Lo yakin mau naik motor lagi?" "Enggak." "Yaudah, pesen Go-Car." "Nanti gue nungguin sendirian. Ada utusan MulutManis lagi." Aku memutar mata, muak. Selalu itu alasannya. "Lo tuh sekeren apa sih, Al, sampek takut banget? Seberapa banyak orang yang pengin tahu tentang elo emang?" Al tidak menjawab. Kami saling pandang dengan tanganku yang ... great! Sejak kapan tangan kiriku tetap di pergelangan tangannya sementara tanganku yang kanan mengelap dahinya? "Pegang sendiri." Al mengambil alih sapu tanganku, menempelkannya pada leher dan kening. "Gue nggak mau naik motor lagi. Tapi, nggak mungkin juga naik Go-Car." "Kenapa nggak mungkin? Komplek lo jelas kok. Pasti gampanglah GPS bacanya." "Elo inget enggak tadi lo tiba-tiba dateng dan nyolot banget di rumah gue?" "Excuse me?" Dia yang nyolot, bukan aku. Aku hanya melindungi diri. Apalagi berhadapan dengan orang-orang semacam dirinya. "Lo tahu akibat ocehan panjang lo tadi apa?" Dia masih memindah-mindahkan sapu tangan basah itu. Sepanas itu kah? "Kita telat." "Bukan. Yang lebih buruk dari itu." "Gue harus antar lo balik." "Sialan. Nganter gue balik adalah hal buruk?" "Menurut lo aja gimana." "Bukan. Ada yang lebih buruk." "Apaan sih?" Kedua tangannya direntangkan ke samping. Ia memutar tubuh dramatis dan memiringkan kepala ke kanan. Banyak tingkah sekali lelaki ini. "Gue nggak bawa apa-apa. Cuma jaket ini. Doang. Jadi, apa yang bakal lo lakuin buat tanggung jawab, Girl?" Bagus sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD