Mulai (lagi)

489 Words
"Yah, ini udah dua tahun puasa kok anak kita masih betah sendiri aja sih. Anak kita normal kan Yah?" Aku memutar bola mataku ke arah Ibu yang baru saja selesai berbicara, bukan apa-apa hanya aku berhasil tersindir dengan ucapannya itu. "Ya normal lha Bu. Gai, kamu menstruasi kan?" tanya Ayah dengan gelak tawanya dan diikuti oleh Ibu. Aku hanya berdeham, lalu melahap rakus makanan yang berada di piringku. Selain lapar karena telah berpuasa seharian, sepertinya aku juga baper dengan percakapan ibu dan ayahku malam ini. "Gayatri Hutami!" Ibu berkata dengan nada bicara yang meninggi sementara aku masih sibuk dengan piringku. "Harusnya ibu tuh ngelahirin kamu di Solo ya, biar kerasa gitu wanitanya, anggunnya. Ngga kaya gini, makan aja masih butuh pantes jodohnya jauh." Pantes jodohnya jauh. Pantes jodoh nya jauh. Gitu Bu? ↑ Ya Allah, rasanya aku mau nangis aja tapi malu sama nasiku. Akhirnya aku hanya diam, karena kalau ibu sudah mengomel beehh ngga ada yang bisa nandingin deh, sirup marjan kalah pokoknya. "Assalamualaikum." Tiba-tiba omelan ibu yang berbuntut panjang terhenti saat kami menerima ucapan salam yang diterima dari pintu depan. Palingan juga Bang Lian berserta istri dan anak-anak mampir atau yang lebih bagusnya lagi membawakan kami makanan, mungkin? Aku dan Ayah saling bertatapan, memberi kode-kode untuk membuka pintu sampai akhirnya ibuku pahlawanku lah yang membukakan pintu. "Ini, klapertartnya ibu masukin kulkas dulu ya." Tuh kan, maha besar Allah dengan segala firmannya. Habis diomeli ibu eh bisa kue kesukaan. Kalau udah begini, nikmat Tuhan mana yang kau dustai? Hehe. "Gaia habis puasa atau kerja rodi?" Bang Lian yang duduk di sebelahku langsung melempar pertanyaan sambil melihat piringku. "Ada yang lebih menguras tenaga dari itu Bang." kataku yang kembali mengambil potongan ayam kecap itu. "Apaan?" bang Lian bertanya, aku bisa melihat pembicaraan yang sedikit heran itu. "Diomeli ibu salah satunya." Kembali, gelak tawa memenuhi meja makan ini bahkan sesekali aku melihat Mbak Risa mengelap air karena tertawa. Dan aku? Jangan tanya, aku masih sibuk dengan piringku. Sementara ibu yang kembali ke meja makan, dengan sekejap langsung mengembalikan semua tawa yang ada. "Yan, terima kasih tuh adikmu segera-cepat terima, tinggallah sama biar beras di rumah ibu ngga cepat abis gara-gara dimakan dia." Ini beneran deh, kalau aku ngga tahu malu mungkin aku udah benar-benar nangis. Ibuku memang seperti ini orangnya, omongannya suka pedas lebih dari embel-embel setan di cabai sebelum jika ada sangkut pautnya dengan keberlangsungan hidupku. Ibartanya sebelum aku dimaniskan-orang manis aku tahu udah pahit-pahitnya duluan dari Ibu. "Gai, nikah gih." kata Bang Lian. "Ngga, ngga itu kurang greget." lanjutnya sendiri. "Gai, kapan nikah? Nah ini yang benar." Bang Lian berucap sambil memegang tawanya. Aku benar-benar sudah kenyang, makan nasi atau makan hati. Aku bangkit dari duduk. "Pokoknya kalau kalian masih nanyain itu. Gayatri mau puasa besok!" kataku. Ayah, Ibu, Bang Lian dan Mbak Risa tertawa yang membuatku sedikit bingung. Tapi, tunggu, tadi aku bilang apa? Mau puasa besok? Bukankah memang seharusnya begitu sampai lebaran nanti? Ah, bodohnya aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD