Kasih Ibu

1613 Words
Amarah meluap dalam diri Hardy. Ia sudah muak dengan ayahnya. Kenapa pria seperti dia tidak cepat mati saja. Jika toh tetap hidup, kenapa dia tidak pergi saja. Tidak masalah apakah dia ditangkap polisi karena tertangkap mabuk atau judi togel. Tidak jadi persoalan jika hati Sardi tertambat kepada wanita lain. Yang terpenting adalah Sardi enyah dari kehidupannya, ibu serta adiknya. “Ibu tidak apa-apa, Nak.” Suara Indah begitu lemah, untuk berdiri dari posisinya saja serasa tulang-tulangnya mau patah. Begitu sakit yang sangat menyiksa. Ia berdiri perlahan sembari menahan pinggul dengan tulang berderak setiap ia bergerak. Rasanya ingin sekali menangis namun di hadapan kedua anaknya, Indah berusaha tetap memberikan senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Hardy memandang sang ibu, seandainya ia bisa, ia ingin meminta ibunya cerai dari sang ayah. Tidak jadi soal jika memang harus menjadi gelandangan. Jika memang itu bisa membuatnya jauh dari Sardi, maka ia rela. “Ibu benar-benar tidak apa-apa, Har.” Indah merapikan anak rambutnya, menyelipkannya ke belakang telinga. “Kalian pasti lapar. Ayo Ibu buatkan mi.” Indah bersyukur, mi instan selalu dapat diandalkan jika tidak ada beras. Tadi pagi adalah nasi dari beras terakhir yang ia miliki. Indah merangkul pundak Hardy dan Bening, menggiring kedua anaknya ke ruang tengah sekaligus ruang makan. Meminta kedua anaknya duduk, sementara ia segera ke dapur untuk menyiapkan makanan. Bening memandang Indah dengan saksama, sedari ia datang, Bening memerhatikan luka lebam pada sudut bibir, kening dan kedua tangan ibunya. Ia ingin bertanya, tetapi Hardy melarang, membuatnya mengerucutkan bibir karena sebal. Bening mendekatkan dirinya kepada Hardy, menutup satu sudut bibirnya untuk berbisik. “Apa Kakak tahu Ibu kenapa?” Mata bulat Bening belum terlepas dari ibunya. “Jatuh dari kamar mandi.” Hardy asal bicara, dengan anak kecil seperti Bening, tentu Hardy tidak akan menceritakan apa yang ada dalam pikirannya. Bening mengangguk, ia membayangkan betapa keras ibunya terjatuh di kamar mandi. Ia bergidik ngeri, berpikir harus lebih hati-hati agar tidak mengalami hal serupa dengan ibunya. Indah memindahkan mi instan yang sudah dimasak di panci ke dalam mangkok, mengaduknya, mencampurkan bumbu bersama mi-nya. Setelah tercampur rata, Indah membagi mi tersebut ke dalam dua mangkok. Menambahkan masing-masing sepotong telur dadar yang berasal dari satu telur yang dibagi dua. Hati Indah bagai disayat sembilu, ibu mana yang kuasa melihat dua buah hatinya makan dengan separuh porsi mi instan dan separuh telur. Tetes-tetes air mata kembali membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, Indah menghapus air mata. Berusaha tersenyum demi buah hati tercinta. “Ibu, mi-nya sudah matang belum?” Bening mulai protes. Cacing-cacing di perutnya sudah meminta jatah makanan. “Iya, Nak. Ini sudah matang.” Indah buru-buru menghapus air mata. Memasang senyum terindah, ia mengangkat mangkok dan membawanya ke depan anak-anaknya. Wajah ceria Bening luntur seketika, melihat mi yang hanya sepertiga mangkok dan telur yang sangat kecil. Mana mungkin perutnya kenyang jika hanya makan sebanyak ini? “Ibu, aku mau nasi,” protes gadis itu. Hardy menghela napas berat, melihat wajah murung ibu membuatnya mendorong mangkok miliknya ke hadapan Bening. “Ini buatmu. aku tidak lapar.” Perutnya lapar, tapi jika ia tetap makan mi itu, toh perutnya akan lapar lagi bukan? Bening tersenyum, senang melihat dua mangkok mi ada di hadapannya. Tanpa menunggu lama, ia segera menyatukannya dalam satu mangkok lalu melahapnya. Indah mengepalkan kedua tangan, menahan diri untuk tidak menangis histeris. Ia sadar dengan separuh porsi mi tidak akan mengenyangkan perut salah satu anaknya. Tapi apa yang bisa dilakukan? Setidaknya separuh porsi mi sudah bisa membuat perut mereka tidak terlalu lapar. Ia memandang Hardy, kesal dengan sikap putra sulungnya yang selalu saja memanjakan Bening. Padahal Hardy sebentar lagi harus berjualan, berjalan mengelilingi kampung. Darimana tenaganya ada jika ia tidak makan? Selalu saja Hardy mengalah dan Bening selalu semaunya. Indah menjadi kesal dengan sikap Bening. “Kembalikan makanan Kakakmu, Bening!” Suaranya pelan, namun menunjukkan ketegasan. Membuat senyum Bening redup, meski sangat menginginkan mi tersebut. Bening akhirnya mendorong mangkoknya ke hadapan Hardy. “Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak terlalu lapar, sungguh! Biarkan Bening menghabiskan makanannya. Kepalanya harus tumbuh besar biar lebih pintar.” Hardy mencoba berkelakar, namun baik Indah maupun Bening tidak tertawa dengan candaannya. Oh Tuhan, betapa berat cobaan yang kau beri kepada kami. Jerit hati Indah. Seberapa pun Indah ingin membela Hardy maka sebesar itulah Hardy akan membela Bening. Sementara Bening menikmati mi dengan lahap, Indah harus melihat Hardy memandang sang adik dengan wajah diliputi senyuman. Sungguh aku adalah ibu yang sangat beruntung memiliki putra seperti dia. Pujian itu keluar dari hati Indah. Indah membelai kepala Hardy, air mata ingin meleleh namun ia tahan sekuat tenaga. Ia tersenyum, bangga memiliki anak begitu pengertian. “Makan kue dagangan kita saja! Ibu tidak mau kamu sakit.” Tidak mengapa bila Hardy memakan dua ... tidak ... bahkan lima sekalipun. Indah tidak masalah, asalkan perut anaknya bisa kenyang. Hardy tidak menjawab, ia hanya memberi seulas senyum kepada ibunya. Ia tidak ingin ibunya khawatir. Bening memandang mi yang sudah berkurang separuh. Bibirnya mengatup, memikirkan soal Hardy yang pasti akan lapar karena jatah makannya diambil. Meski perut belum kenyang, Bening menyendok mi dan mengulurkannya ke mulut Hardy. “Aku suapin, Kak.” Mata Hardy terbelalak, Bening si manja masih ingat dirinya. Ia ingin sekali memakannya namun Bening jauh lebih penting. Gadis itu harus tumbuh sehat seperti dirinya. “Kamu makan saja, Bening. Aku tidak lapar.” Hardy mengambil segelas air lalu meminumnya. Menahan perut yang menjerit karena lapar. “Hardy. Setelah jualan, uangnya kamu belikan beras ke Mbok Pah ya. Sama telur seperempat kilo.” Indah ingin membuat perut kedua anaknya kekenyangan nanti malam. Hardy hanya bisa mengangguk, hutang kemarin belum dibayar. Jika ia ke Mbok Pah, maka sudah pasti uang itu akan habis untuk membayar hutang. Tapi setelah bayar kan bisa hutang lagi. Hardy yakin Mbok Pah pasti memperbolehkannya berhutang lagi. “Aku jalan sekarang ya, Bu. Ibu sebaiknya istirahat dan menjaga anak manja ini.” Hardy mencubit pipi Bening, membuat Bening berteriak kesakitan. Hardy tertawa senang melihat adiknya menangis, puas sudah berhasil menjahili si bungsu. Indah melotot, ia ingin tertawa tapi Bening pasti lebih marah lagi nantinya. Ia mengacak-acak rambut Hardy lalu bangkit ke dapur untuk mempersiapkan barang dagangan. Bening menghapus airmatanya, ingin sekali marah tapi ia ingin pergi dengan Hardy. Ia tahu jika ia marah maka sudah pasti Hardy tidak akan memperbolehkannya ikut berjualan. “Aku ikut Kakak, ya....” Mata Bening memelas, menangkup dua tangan di hadapan Hardy. “Tidak, Bening. Lebih baik kamu di rumah menemani Ibu. Pijat badannya! Ibu pasti sudah capek membuat makanan dan ....” Dipukuli Ayah. Bening mencebik. Apa susahnya sih. Kalau ada aku kan malah enak, ada yang bantu jualan. Bening berkeras membantuHardy atau Hardy menyebutnya, mengganggu. Indah telah selesai menata kue pastel, kue lumpur, kue lemper dan kue lapis ke dalam kotak makanan berwarna putih transparan dengan pegangan berwarna hijau. Ia juga menyelipkan bungkus plastik serta capit untuk mengambil kue itu. Ia membawa kotak penuh kue tersebut dan meletakkannya ke atas meja makan. Memandang dua anaknya yang masih bersitegang, Indah menghela napas berat. “Ajak saja! Daripada dia menangis terus di rumah.” Indah yakin akan sulit meredam tingkah putrinya. Jika tidak diajak, gadis itu bisa menangis terus sampai Hardy pulang nanti. “Dia lelet, Bu. Sudah gitu suka minta macam-macam. Kemarin saja dia minta beli es. Uangnya habis buat membeli jajan dia.” Jajanan itu tidak terlalu mahal, es yang dibeli hanya seribu rupiah, tapi yang membuat Hardy tidak betah adalah rengekannya. “Aku gak akan minta-minta deh. Ajak aku ya!” Bening tersenyum, mengedip-ngedip genit. Berharap sang kakak mengabulkan keinginannya. “Tuh, Bening sudah janji. Ajak saja Hardy! Kalau dia nakal, jewer saja kupingnya!” Indah mengerling Bening. Dua alis gadis itu terangkat, kaget karena ibunya meminta Hardy menjewer jika ia dianggap nakal. “Ih, Ibu. Kok gitu sih. Kan sakit kupingnya kalau dijewer.” Suara manja Bening memberi warna ceria. Indah dan Hardy terkikik, Bening memang sangat menyebalkan tapi sekaligus menggemaskan. “Sudah sana pergi! Jangan lupa bawa payung! Ibu tidak mau kalian berdua kehujanan di jalan.” Indah berdiri, ia mengambil dua payung yang berada di atas rak piring. Senyum Bening melebar, pasti menyenangkan jika hujan turun dengan lebat. Ia bisa bermain hujan sambil main kejar-kejaran dengan Hardy. Berbeda halnya dengan Hardy, ia melirik Bening. Melihat wajah gadis itu, ia sudah tahu apa yang dipikirkannya. “Kalau kamu main hujan-hujan. Awas kamu!” Ancaman Hardy hanya dijawab dengan anggukan, tetapi Bening tahu Hardy pasti mau diajak main hujan-hujan. Hardy berdiri, ia mengambil keranjang dan membawanya keluar. Indah memberikan kantong plastik berisi dua payung lipat kepada Bening. Meminta gadis itu segera mengikuti langkah Hardy. Bening melambaikan tangan kepada Indah sebelum berjalan cepat mengikuti langkah Hardy. Keluar dari rumah, mereka siap berjalan sambil menjajakan jualan mereka. “KUE-KUE.” Hardy berteriak, menjajakan makanannya. “KUE ENAK. AYO BELI.” Bening tidak mau kalah. “KUE!” Seorang wanita yang menggendong seorang anak balita memanggil mereka. Bening dan Hardy mendekati wanita tersebut. “Kue lumpur lima, kue pastel lima ya.” Wanita itu sedang menenangkan anaknya yang sedang rewel dalam gendongan jariknya. Ia mengamati Hardy saat sedang memasukkan jajanan ke dalam tas keresek. Setelah terkumpul, ia memberikannya kepada ibu tersebut. Wanita itu membayar jajan yang dibelinya lalu segera masuk ke rumah. Hardy memandang uang sebesar lima belas ribu rupiah. Ia berharap jualannya habis nanti, jadi dia berencana akan berjalan sampai ke jalan raya, disana ia bisa menjualnya di tepi jalan saat lampu lalu lintas berubah merah. Cara cepat berjualan daripada harus ke rumah-rumah, pikir Hardy. Terik matahari perlahan meredup, sebuah gumpalan awan mendung mulai menunjukkan taring. Memberi keteduhan tersendiri bagi kedua anak itu. Hardy dan Bening terus menyusuri jalan menuju jalan raya. Namun tiba-tiba tetes hujan mulai berjatuhan. Hardy menarik tangan Bening ke sebuah rumah kosong untuk berteduh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD